Pergantian tahun tinggal menunggu hitungan hari. Tahun 2019 akan segera berlalu, dan tahun 2020 akan segera datang. Jika dipahami sebagai siklus masa, pergantian tahun tentu tidak lebih dari sebuah fenomena biasa. Namun, jika kita pahami dari perspektif yang lebih luas dan dalam, pergantian tahun menyimpan pesan dan makna yang lebih dari sekadar perayaan seremonial belaka. Bergantinya tahun adalah momentum untuk merefleksikan apa yang sudah dan belum dicapai selama setahun belakangan dan rencana serta tujuan apa yang ingin dicapai selama setahun mendatang.
Bagi bangsa Indonesia, tahun 2019 bisa dibilang sebagai tahun yang berat. Berbagai peristiwa sosial-politik terjadi di negeri ini. Salah satu yang paling besar tentunya ialah penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2019 yang diwarnai oleh terjadinya polarisasi politik akibat perbedaan pilihan di tengah masyarakat. Ironisnya, polarisasi politik itu juga berdampak pada meningkatnya praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Situasi sosial, politik dan agama di Indonesia selama kurun waktu satu tahun terakhir bisa dibilang sangat mengkhawatirkan.
Nyaris saban hari kita menyaksikan ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu lalu lalang di ruang publik kita. Agama yang idealnya bisa menjadi sumber dan inspirasi cinta kasih juga lebih sering justru menjadi pemicu terjadinya perpecahan. Di saat yang sama, radikalisme tumbuh subur di berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Dari luar, kondisi Indonesia memang tampak baik-baik saja. Namun jika dilihat dari dalam, bangsa dan negara ini rapuh dan setiap saat bisa saja runtuh, baik oleh konflik antar-sesama anak bangsa maupun serangan dari luar.
Mengatakan Indonesia rapuh dari dalam tentu bukan sebuah bentuk pesimisme atau upaya menakut-nakuti. Ini adalah bagian dari apa yang disebut sebagai sense of crisis. Sense of crisis ialah sikap waspada semua elemen bangsa akan potensi konflik dan kekacauan yang setiap saat bisa terjadi. Sebagai bangsa yang besar kita harus senantiasa menumbuhkan sense of crisis, dengan tujuan agar bisa menghalau potensi konflik dan kekacauan itu sejak dini.
Tantangan Berat 2020
Ibarat petarung, kita memasuki arena tahun 2020 dengan kondisi babak belur. Padahal, tahun 2020 adalah tahun yang berat, tidak hanya bagi Indonesia namun juga negara-negara di seluruh dunia. Dari sisi ekonomi, kita akan menghadapi gelombang resesi global sebagai dampak perlambatan ekonomi dunia yang salah satunya disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Baca juga :Refleksi Akhir Tahun: Merawat Kerukunan Bangsa Indonesia
Dari sisi politik, kita akan tetap menghadapi derasnya gelombang kebangkitan politik ultra-konservatif yang berkelindan dengan fenomena post-truth. Pendek kata, panggung politik kita akan tetap riuh dengan kegaduhan nir-subtansi yang didominasi oleh perang ujaran kebencian, fitnah dan sebaran berita palsu. Politik identitas berbasis agama dan ras juga dipastikan masih akan menjadi senjata andalan bagi para elite politik pemburu kuasa. Terlebih lagi, di tahun 2020 kita akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di sejumlah daerah di Indonesia.
Sementara dari sisi agama, kita tampaknya tidak bisa berharap terlalu banyak. Fenomena konservatisme dan radikalisme agama kemungkinan besar akan tetap eksis, bahkan bisa jadi lebih mengkhawatirkan ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah memang tampak serius menyikapi fenomena ekstremisme agama. Namun, upaya menghapus hal itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tanpa partisipasi aktif publik, agenda melawan ekstremisme agama niscaya akan berujung pada kegagalan.
Pendek kata, tahun 2020 adalah tahun krisis bagi bangsa Indonesia dan umat manusia pada umumnya. Meski demikian, tantangan berat di bidang ekonomi, politik dan agama itu tentu harus kita hadapi dengan sikap optimistik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, kaya akan sumber daya alam dan dikenal tangguh melawan badai krisis.
Melampaui Zona Nyaman
Dalam khazanah ilmu manajemen, situasi krisis justru dianggap sebagai momentum untuk melakukan perubahan. Krisis tidak selamanya harus dipahami sebagai sebuah hambatan, alih-alih sebuah peluang untuk melakukan dan meraih sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Ilmu manajemen mengistilahkannya sebagai burning platform, yakni situasi penuh kepanikan layaknya sebuah peristiwa kebakaran di sebuah anjungan pengeboran minyak bumi. Setiap orang yang berada di lokasi pasti tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya.
Situasi krisis juga menjadi semacam pengingat bahwa kita tidak selamanya berada di wilayah nyaman (comfort zone). Wilayah nyaman itulah yang justru menjadi jebakan yang membuat manusia enggan berinovasi, melakukan hal baru yang visioner dan intuitif. Seperti halnya masyarakat Indonesia. Selama ini kita kadung bangga dengan bermacam label yang disematkan oleh dunia Internasional. Misalnya sebagai negara demokratis terbesar di dunia, negara muslim terbesar yang berkarakter moderat dan lain sebagainya. Padahal, dari dalam sebenarnya kita menghadapi ancaman yang luar biasa.
Pada titik inilah pentingnya masyarakat Indonesia menumbuhkan sense of crisis guna membangkitkan optimisme berbangsa. Kita perlu merajut kembali ikatan kebangsaan yang sempat terkoyak akibat polarisasi politik. Caranya tentu dengan menjalin kembali komunikasi antar eksponen bangsa, mulai dari elite politik, elite agama sampai masyarakat di level akar rumput. Selain itu kita perlu mereformasi nalar politik kita agar ke depan panggung politik tidak lagi didominasi oleh politik identitas, ujaran kebencian dan fitnah serta hoax.
Momentum Pilkada Serentak 2020 idealnya menjadi momentum untuk mengembangkan corak politik kebangsaan yang berlandaskan pada kehendak untuk membangun bangsa, bukan kehendak untuk semata berkuasa. Politik kebangsaan harus menjadi ruh bagi demokrasi kita yang belakangan ini kian bobrok oleh gaya politik machiavelian yang menghalalkan segala cara.
Tidak kalah penting dari itu ialah umat beragama di Indonesia harus terus-menerus mengembangkan corak keberagamaan yang moderat, toleran dan setia pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Ekstremisme keberagamaan harus dilawan tidak hanya melalui pendekatan hukum melainkan juga dengan wacana tandingan (counter discourse). Umat beragama perlu membangun narasi keberagamaan yang moderat guna menghadapi arus besar konservatisme dan ekstremisme agama yang beberapa tahun ini mengancam eksistensi bangsa dan negara.
Dengan menumbuhkan sense of crisis dan optimisme berbangsa itulah, kita berharap bangsa ini mampu lepas dari deraan berbagai krisis mulai dari ekonomi, politik hingga agama. Tantangan global ke depan jelas kian tidak mudah. Persaingan berebut dominasi di panggung politik dan ekonomi dunia dipastikan akan tambah sengit. Bangsa yang lemah dan merasa mudah puas sudah barang tentu akan mudah tergilas, lalu dilupakan zaman. Sebaliknya, bangsa yang memiliki kewaspadaan, dan bersikap optimis lah yang akan tampil sebagai pemain utama dalam peradaban.