Bulan Desember tahun 2019 ini, tepat sepuluh tahun KH. Abdurrahman Wahid berpulang ke rahmatullah. Bagi warga nahdliyin, terlebih para pengikut Gus Dur (Gusdurian) bulan Desember disebut sebagai “Bulan Gus Dur”. Selain mengadakan haul wafatnya sang Guru Bangsa tersebut, Gusdurian yang tersebar di seluruh penjuru tanah air dan berasal dari berbagai macam kalangan juga menggelar berbagai acara untuk menggali dan menghidupkan warisan pemikiran Gus Dur.
Diakui atau tidak, Gus Dur bukan hanya sebuah nama, melainkan lebih seperti legenda. Dia adalah sosok manusia yang mampu menerobos sekat agama dan politik untuk menyemai nilai-nilai kerukunan dan kemanusiaan. Ia adalah ulama, politisi, budayawan sekaligus penulis prolifik.
Sebagai ulama, ia dikenal dengan corak pemikiran keislamannya yang di satu sisi reformis namun di sisi lain tetap adaptif pada nilai-nilai lokalitas dan tradisionalitas. Di bawah kepemimpinannya, organisasi Islam dengan pengikut paling banyak sedunia yakni Nahdlatul Ulama (NU) mampu bertransformasi menjadi salah satu lokomotif penarik gerbong pemikiran Islam moderat di Indonesia.
Sebagai politisi, ia adalah sosok demokrat sejati yang tidak segan menempuh jalan terjal dan berbahaya demi menegakkan demokrasi. Dalam periodenya yang singkat sebagai presiden ia berani mengambil kebijakan yang tidak populer, melawan arus, kontroversial dan acapkali memantik resistensi publik. Ia bahkan terpaksa harus lengser dari kursi kepresidenan atas berbagai manuvernya yang terlalu akrobatik itu. Namun, belakangan kita mulai sadar bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil Gus Dur sewaktu menjadi presiden itu merupakan warisan (legacy) yang teramat penting bagi arah perjalanan bangsa Indonesia saat ini.
Secara fisik, Gus Dur memang telah tiada, namun warisan pemikiran dan spirit gerakannya tetap abadi sampai sekarang. Sebagai mana sosok manusia besar pada umumnya, ia tidak hanya dikenang secara romantistik oleh masyarakat. Lebih dari itu, ia hidup sebagai sebuah gagasan, cita-cita dan gerakan yang tidak pernah padam dan berusaha dirawat-hidupkan oleh para penerus yang menjadi penikmat pemikiran-pemikirannya.
Baca juga :Refleksi Akhir Tahun: Merawat Kerukunan Bangsa Indonesia
Ajaran-ajaran Gus Dur
Membincangkan Gus Dur ialah membincangkan sosok manusia yang kompleks. Segala penyebutan apalagi pelabelan tentangnya hanyalah akan meringkus gagasan-gagasan besarnya dan mengerdilkan sosoknya. Namun, jika memang harus diringkas, samudera pemikiran Gus Dur dapat dipetakan ke dalam setidaknya dua garis besar, yakni gagasan dalam bidang keagamaan dan kebangsaan.
Di bidang keagamaan, Gus Dur merupakan salah satu intelektual muslim dari kalangan tradisionalis yang paling gigih memperjuangkan terejawantahkannya gagasan pluralisme agama. Di tengah tentangan dan cemoohan kalangan muslim konservatif, Gus Dur tidak lelah mengampanyekan gagasan pluralisme agama, baik melalui tulisan, ceramah, maupun aktivitas nyata dalam ranah gerakan sosial.
Gagasan pluralisme agama memang tidak hanya diusung oleh Gus Dur saja, melainkan oleh banyak kalangan. Namun, Gus Dur memiliki pembeda dengan para pengusung ide pluralisme agama lainnya. Titik pembeda itu ialah sikap Gus Dur yang setia membela kelompok minoritas agama yang tertindas secara langsung. Tidak hanya sekadar berwacana tentang toleransi atau pluralisme agama, Gus Dur selalu tampil ke permukaan ketika kelompok agama minoritas mendapat perlakuan diskriminatif, intoleran bahkan kekerasan.
Komitmen untuk membela kaum minoritas agama yang tertindas ini tampak pada pembelaan Gus Dur terhadap kaum Ahmadiyyah yang dipersekusi lantaran ajaran agamanya dianggap menyimpang. Menariknya, dasar pembelaan Gus Dur terhadap kelompok Ahmadiyyah tidak lantas membuatnya menyetujui konsep teologi Ahmadiyyah. Bagi Gus Dur, membela kelompok minoritas adalah amanat dari konstitusi UUD 1945 yang wajib ditegakkan.
Titik pembeda lainnya ialah Gus Dur memperjuangkan pluralisme agama sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial. Menurutnya, kerukunan antar umat beragama harus tegak di atas terwujudnya kondisi sosial yang berkeadilan. Dalam keyakinan Gus Dur, tanpa tegaknya keadilan sosial, kerukunan hanyalah hal yang semu belaka. Maka menjadi wajar jika nyaris seluruh hidup Gus Dur diwakafkan untuk mewujudkan kerukunan antar-agama dan menegakkan keadilan sosial.
Di ranah kebangsaan, warisan pemikiran Gus Dur yang patut diteladani ialah komitmennya untuk mewujudkan ikatan persaudaraan yang berlandaskan pada komitmen keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Gagasan ini terinspirasi dari ajaran NU tentang trilogi ukhuwah, yakni ukhuwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia). Ukhuwah islamiyyah mewajibkan sesama muslim untuk hidup rukun dan damai, meski berbeda-beda mazhab dan aliran. Dengan ukhuwah islamiyyah, umat muslim diharapkan bisa menyumbang peran pada terciptanya kehidupan sosial yang harmonis.
Ukhuwah wathaniyah diperlukan sebagai fondasi untuk memperkokoh ikatan kebangsaan. Sebuah bangsa niscaya terdiri atas elemen dan kelompok yang berbeda agama, suku, bahasa, budaya dan identitas lainnya. Namun demikian, hal itu tidak lantas dijadikan alasan untuk terpecah belah. Sebaliknya, keanekaragaman itu hendaknya mampu dikelola sebagai modal membangun bangsa.
Sedangkan ukhuwah basyariah yang merupakan tingkatan paling tinggi adalah pengakuan bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang setara lantaran berasal dari nenek-moyang yang sama, yakni Adam dan Hawa. Manusia bisa saja berbeda agama, berbeda bangsa, namun pada dasarnya semua manusia disatukan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang sama.
Merawat Warisan Gus Dur
Di tengah kondisi keberagamaan dan kebangsaan yang tengah menghadapi berbagai problem akut ini, sosok Gus Dur kerap dirindukan banyak kalangan. Kita rindu akan sosoknya yang tidak pernah ragu membela kemanusiaan, apa pun risikonya. Ia telah menunjukkan satunya kata dan perbuatan dalam mewujudkan relasi keagamaan dan kebangsaan yang adil, toleran dan humanis. Maka, ketika sosoknya tidak mungkin lagi kita hidupkan, merawat dan mengembangkan gagasan serta gerakan yang telah ia wariskan adalah kewajiban bagi para generasi penerus.
Gagasan dan gerakan yang telah Gus Dur semai semasa hidupnya tampak relevan sekali dalam konteks Indonesia kontemporer yang didera masalah dari berbagai sisi. Seperti kita lihat belakangan ini, ikatan kebangsaan kita mulai merenggang akibat polarisasi politik yang disisakan oleh Pemilihan Presiden 2019 lalu. Di akar rumput, perpecahan itu nyata adanya dan mengancam eksistensi bangsa dan negara.
Di saat yang sama, praktik intoleransi bahkan kekerasan atas nama agama juga masih terus terjadi bahkan menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Anasir-anasir kelompok radikal keagamaan kian terbuka menunjukkan eksistensinya di ruang publik. Agenda untuk mengganti dasar dan bentuk negara pun tidak lagi disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya, nyaris seluruh kelompok dan lapisan masyarakat Indonesia hari ini terindikasi terpapar paham radikal keagamaan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kekhawatiran akan runtuhnya bangsa ini bisa jadi bukan isapan jempol belaka. Untuk itulah, kita perlu melanjutkan gagasan dan gerakan Gus Dur dalam merawat kerukunan umat dan persatuan bangsa.
Arkian, kita tentu berharap momen “Bulan Gus Dur” dan haul satu dekade wafatnya Gus Dur ini tidak berhenti sebagai selebrasi dan romantisisme belaka. Namun, lebih dari itu kita berharap momen ini mampu menjadi semacam gerakan untuk membentuk kesadaran di tengah masyarakat ihwal pentingnya membina kerukunan antar-umat beragama, memperkokoh ikatan bangsa dan mengejawantahkan nilai kemanusiaan sebagaimana pernah diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya.