“Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”
– Imam Syafi’i –
Gelombang kedua merebaknya covid-19 membuat pemerintah melakukan langkah sigap. Setelah melakukan kajian dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali.
Dalam kebijakan tersebut mengatur kegiatan warga agar semakin meningkatkan upaya pencegahan penularan covid-19, utamanya dalam berkumpul-kumpul. Beragam ruang publik yang pada saat normal digunakan untuk kegiatan berkumpul untuk sementara waktu dinon-aktifkan. Dalam pada itu, rumah-rumah ibadah juga tidak ketinggalan menjadi salah satu “sasaran-nya”.
Pemerintah, termasuk Kementerian Agama telah memberikan dasar kuat atas surat pemberhentian sementara aktifitas berkerumun termasuk di tempat ibadah. Kajian fikih di saat darurat sudah banyak disuguhkan. Hifzun nafs (menjaga jiwa) yang menjadi salah satu tujuan pensyariatan (maqasidusy syari’ah) dalam agama Islam juga banyak diterangkan oleh pemerintah ataupun para ulama dan kiai. Pada intinya, betapa dalam kondisi pagebluk semacam ini lebih baik melakukan langkah-langkah prefentif agar tidak terkena penyakit yang mematikan daripada melakukan aktifitas biasa (termasuk dalam agama) merupakan upaya yang terbaik adalah sudah memiliki dasar yang kuat.
Dasar lain yang tidak perlu disampaikan secara tertulis juga betapa setiap hari mayat bergelimpangan di seluruh pelosok Indonesia lantaran terkena penyakit covid-19. Di seluruh daerah juga sudah merata terdapat masyarakat yang terkena penyakit berbahaya ini. Tak ketinggalan, banyak rumah sakit yang penuh dengan pasien sehingga tidak bisa menampung pasien baru lagi. Tak sedikit pula masyarakat yang terkena penyakit covid-19 harus melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing karena tempat yang disediakan pemerintah sudah tidak bisa menampung lagi.
Kondisi memprihatinkan ini bisa terjadi lantaran adanya kerumunan masyarakat dari beragam latar belakang. Ketika ada satu orang terkena covid-19, karena virus ini sangat mudah menular, maka banyak dari “peserta” kerumunan juga akhirnya mengidap penyakit berbahaya ini. Tidak ada alasan lagi yang dapat menyangkal betapa kerumunan menjadi salah satu sebab utama penyebaran covid-19. Sehingga sangat tepat apabila setelah melakukan kajian mendalam, termasuk melibatkan pemangku kebijakan medis dan agama, pemerintah akhirnya melakukan langkah penutupan sementara tempat-tempat berkerumun masyarakat.
Kendati demikian, meski dasar penutupan ini sangat jelas, masih saja ada orang yang melakukan penyangkan demi penyangkalan. Bahkan, narasi-narasi provokatif banyak disiarkan di media maya. Alhasil, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban, mereka teradu domba oleh segelintir orang tak bertanggung jawab ini.
Terhadap fenomena ini, sangat tepat kita merenungkan kata-kata Imam Syafi’i saat menghadapi orang-orang bodoh. Ia berkata, Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”
Kata-kata Imam Syafi’i sangat relevan sampai saat ini. Bagaimana tidak, sekumpulan intelektual sudah cukup dengan satu fakta sebagai jawaban. Namun demikian, satu orang bodoh tidak bisa cukup mendapatkan jawaban dengan seribu fakta yang disuguhkan.
Sehingga dari sini, pemerintah yang melakukan langkah-langkah positif harus tetap optimis, melangkah terus tanpa harus terbebani oleh kelompok yang tidak bertanggungjawab. Teruskan aturan yang sudah sesuai dengan kajian ilmu yang ada.Wallahu a’lam.