Tiga pekan terakhir barangkali ialah masa-masa paling berat selama satu setengah tahun kita menghadapi pandemi. Jumlah penderita Covid-19 setiap harinya bertambah hingga mencapai angka 30 ribu orang. Di banyak daerah, rumah sakit mengalami over capacity. Belum lagi ditambah pasokan oksigen yang tersendat akibat melonjaknya permintaan.
Dengan keprihatinan mendalam, kita menyaksikan sendiri bagaimana angka kematian naik drastis. Bangsa Indonesia tengah berduka. Muhammadiyah menganjurkan warganya mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai wujud kedukaan sekaligus simpati. Sedangkan Nahdlatul Ulama menyeru pada jamaahnya untuk memperbanyak Sholawat Nariyah dan doa.
Di masa darurat dan penuh keprihatinan seperti saat ini, segala upaya harus kita coba, baik lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah, upaya itu ialah menaati protokol kesehatan dan menjaga imunitas. Sedangkan upaya batiniah itu ialah dengan memperbanyak ibadah, dan melangitkan doa-doa. Kita perlu mengetuk pintu langit agar Allah mengangkat wabah ini dan menyelematkan kita semua.
Dari sisi kebijakan pemerintah, kita patut mengapresiasi langkah pemerintah mengeluarkan aturan PPKM Darurat mencakup Pulau Jawa dan Bali. Keputusan yang tentu tidak mudah karena melibatkan hitung-hitungan ekonomi dan ongkos sosial yang mahal. Kebijakan PPKM Darurat membuktikan betapa pemerintah berkomitmen menyelamatkan jiwa dan kesehatan masyarakat.
Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa upaya penyelamatan ekonomi nasional dalam konteks pandemi ini sangat tergantung pada penyelamatan jiwa masyarakat. Sayangnya, masih saja ada pihak-pihak yang membantah pemerintah dan seolah mencari-cari masalah baru. salah satunya ialah pihak-pihak yang menolak penutupan masjid (tempat ibadah) di masa PPKM Darurat. Berbagai narasi miring digaungkan. Tujuannya satu, memojokkan pemerintah dan menggagalkan skenario penanganan pandemi. Ironisnya lagi, upaya itu dilakukan dengan memakai argumen keagamaan.
Pentingnya Adaptasi Agama
Di masa PPKM Darurat yang “hanya” sekira tiga pekan ini, seluruh aspek kehidupan masyarakat wajib menyesuaikan diri. Tentu dalam proses adaptasi itu ada pengorbanan yang harus dilakukan. Namun, pengorbanan akibat adaptasi itu tentu sebanding dengan hasilnya. Dalam teori evolusi-nya Charles Darwin, makhluk hidup yang bisa bertahan menghadapi perubahan zaman bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Jika pandemi ini dipahami sebagai fase perubahan zaman, maka hanya yang bisa menyesuaikan dirilah yang memiliki kesempatan untuk bertahan. Sebaliknya, yang tidak bisa menyesuaikan diri akan kalah oleh kondisi zaman. Maka, manusia, bisnis, atau bahkan agama yang mau survive dan bertahan melewati pandemi harus pintar-pintar menyesuaikan diri. Jika tidak, maka kemungkinan besar kita akan digilas pandemi.
Dalam konteks inilah, penting kiranya kita mengetengahkan teori “fiqih prioritas” yang diajukan oleh Syekh Yusuf al Qardlawi, seorang intelektual Islam asal Mesir. Di dalam kitabnya Fiqh al Awlawiyat, Yusuf Qardlawi menyebutkan bahwa dalam beragama dan kehidupan sosial, kita hendaknya lebih mengedepankan kepentingan publik ketimbang kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Syekh Qardlawi menjelaskan bahwa kewajiban kolektif (fardlu kifayah) idealnya lebih diutamakan ketimbang kewajiban individual (fardlu ain).
Gagasan tentang fiqih prioritas ini kiranya relevan diterapkan dalam konteks pandemi, utamanya di masa pemberlakukan PPKM Darurat. Aturan PPKM Darurat didesain pemerintah bukan untuk menyengsarakan masyarakat. Justru sebaliknya, PPKM Darurat dikerangkakan untuk menyelamatkan jiwa manusia dari kondisi wabah yang kian mengkhawatirkan.
Demikian pula halnya dengan penutupan tempat ibadah. Kebijakan itu bukan dimaksudkan untuk menghalangi umat beragama dalam menjalankan peribadatannya. Melainkan untuk melindungi umat dari ancaman virus Corona. Situasi memang dilematis. Di satu sisi, secara keagamaan ibadah merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda apalagi ditinggalkan.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada ancaman wabah yang kita tahu mengancam jiwa manusia. Jika mengacu pada gagasan fiqih prioritas ala Syekh al Qardlawi, upaya menjaga keselamatan jiwa jauh lebih utama dan penting dilakukan ketimbang kepentingan untuk menjalankan ibadah.
Lebih spesifik, jika ditinjau dari perspektif fiqih prioritas, kebijakan menutup tempat ibadah di masa PPKM Darurat ini sudah memenuhi unsur maqasyid al syariah, yakni menjaga keselamatan jiwa. Di atas itu semua, kita perlu membangun kesadaran bahwa tanggung jawab penanganan pandemi ini tidak semata berada di pundak pemerintah.
Tanpa partisipasi aktif masyarakat, kebijakan seketat apa pun tidak akan berpengaruh. Mengutip headline harian Radar Jogja (Senin, 5/7/2021) sebagai wargnegara yang baik di masa PKKM Darurat ini kita cukup menarapkan 1 M, yakni “MANUTO!” alis patuh pada aturan pemerintah. Tak perlu banyak alasan, apalagi membawa alibi keagamaan.