Siapa Menyembah Pancasila?

Siapa Menyembah Pancasila?

- in Narasi
1354
0

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Ini mengacu pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945. Juga setelah melalui berbagai rumusan dan perdebatan.

Dan dalam perkembangannya, 1 Oktober senantiasa diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, karena ia dinilai mampu “menyelamatkan” situasi horor peristiwa G 30 S PKI, 1965.

Dilihat dari waktu kelahirannya, Pancasila telah berusia 72 tahun. Kini telah diterima secara luas oleh banyak komponen bangsa, termasuk oleh berbagai ormas keagamaan, setelah melewati perdebatan panjang nan sengit itu.

Nyatanya, sesuai sejarahnya yang berliku, di usia yang semestinya kian matang, masih saja ada segelintir kelompok di negeri ini yang tidak berkenan menerimanya dan bahkan menilai Pancasila sebagai “taghut”, barang haram yang menyimpang dari ajaran agama. Mereka, tanpa perlu menyebut identitasnya, lalu ramai-ramai menolaknya karena dinilai sebagai barang haram yang najis.

Di sisi lain, diantara ormas keagamaan yang konsisten menerima Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara adalah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi keagamaan tradisional kaum sarungan yang berdiri pada 1926, 19 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, ini telah mendukungnya bahkan sejak awal-awal dirumuskannya Pancasila.

Penegasan dukungan pada Pancasila ini, lebih nyata lagi disampaikan pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo Jawa Timur, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983. Ada tiga Sub Komisi Khitthah saat itu, yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer, Drs. Zamroni dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur sendiri memimpin Sub. Komisi Deklarasi, yang mengkaji Hubungan Pancasila dengan Islam. Hasilnya berupa lima butir deklarasi, yakni:

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Lima butir deklarasi ini jelas menunjukkan keberpihakan NU pada Pancasila, sebagai falsafah berbangsa dan bernegara. Bahkan, sila pertama dinilai sebagai penjabaran dari tauhid dalam Islam sendiri. Bahkan penerimaan pada Pancasila dinilai sebagai pengejawentahan pengamalan syariah Islam itu sendiri. Namun demikian, tentu saja Pancasila tidak bisa menggantikan agama. Ia semata ikatan komitmen hidup bersama sebagai bangsa di atas berbagai keragaman yang ada.

Tak heran, karena penerimaan dan komitmen pembelaannya pada Pancasila yang begitu tinggi, NU acapkali dinilai sebagai organisasi keagamaan yang menjadi hamba taghut. Dalam pandangan Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Quran: I/344), misalnya, taghut dimaknai sebagai segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya, tidak berpedoman pada akidah dan syariat Allah. Masuk dalam kategori taghut adalah setiap manhaj – tatanan/sistem – yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah.

Sebab menerima PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang 1945), NU juga dinilai telah rusak akidahnya dan sekaligus bertindak syirik pada Allah Swt. Apresiasi apapun selain pada manhaj Allah Swt adalah bentuk syirik pada-Nya, yang dinilai tidak bisa dibenarkan.

Sungguh mengherankan, jika penerimaan pada Pancasila serta-merta diidentikkan dengan penghambaan pada taghut, apalagi hingga dinilai sebagai tindakan syirik (penyekutuan pada Allah Swt). Penerimaan pada Pancasila tak lebih sebagai komitmen hidup bersama di atas keragaman warga negara. Dan sesungguhnya, penerimaan pada Pancasila juga menjadi bentuk perwujudan keislaman yang sejati dalam konteks keislaman di negeri ini.

Jika umat Islam di Indonesia menerima Pancasila sebagai komitmen hidup bersama, lalu apa bedanya dengan umat Islam di Madinah yang menerima Piagam Madinah juga sebagai acuan bersama meniti hidup sebagai warga-bangsa Madinah? Tidak ada bedanya, karena isinya sama-sama acuan hidup bersama sebagai satu kesatuan, yang terdiri di atas keragaman.

Uniknya, jika penerimaan umat Islam di Madinah pada Piagam Madinah (bukan Piagam Islam), tidak dinilai sebagai penghambaan pada taghut, nyatanya mengapa peneriman umat Islam pada Pancasila di negeri ini dinilai sebagai penghambaan pada taghut? Sebagai bagian dari “kecintaan pada tanah air bagian dari iman”, penerimaan pada Pancasila sesungguhnya menjadi hal yang biasa dan tak perlu perumitkan.

Dengan demikian jelas, tidak ada penyemabahan pada Pancasila oleh umat Islam di negeri ini. Dugaan atau pengidentikkan penerimaan pada Pancasila dengan penghambaan atau penyembahan padanya, adalah pandangan yang sangat sempit nyata merasa benar sendiri. Ini tentu saja cara pandang yang tidak linear dan menyisakan banyak masalah; dan justru membuat kisruh kehidupan berbangsa yang nyaman ini. Mereka inilah yang semestinya di-reset cara pandang keagamaan dan kebangsaannya.

Facebook Comments