Kebijakan kontroversial Parlemen Israel dengan mengesahkan Undang-Undang “Negara Bangsa Yahudi” secara ideologis telah keluar dari semangat untuk menolak segala bentuk diskriminasi, rasisme, dan imperialisme. Realitas ini menunjukkan bahwa di era keterbukaan dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia masih juga didapati negara-negara yang masih menggunakan kekuasaan serta otoritasnya untuk menjajah kemerdekaan bangsa lain. Hal ini jelas bertentangan dengan spirit keagaamaan, lebih khususnya point atas kemanusiaan sebagaimana telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dimana secara tegas Bangsa Indonesia telah menolak segala bentuk penjajahan dan tindakan imperialisme yang tidak berperikemanusiaan.
Kita patut bersyukur bahwa semangat kebangsaan bangsa Indonesia diilhami oleh nilai-nilai religiusitas sehingga kita menjadi bangsa dan negara yang mengedepankan penghormatan atas perbedaan, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Al Hujurat, yang menyatakan bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, telah menciptakan warga dunia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang tidak lain maksud dari pencitaan tersebut adalah agar mereka saling mengenal. Adapun konteks mengenal disini bukan sekedar tahu, akan tetapi juga saling memahami dan berempati, sehingga muncul persepektif bahwa perbedaan itu indah, bukan justru sebaliknya justru menimbulkan sikap primordial yang mendorong sikap ke-aku-an dan merasa paling superior dibandingkan orang lain. Dan apa yang dilakukan oleh Israel adalah bentuk kesesatan berpikir karena mereka merasa dirinya adalah bangsa yang paling pintar (superior) dibandingkan negara lain.
Adapun terkait peran agama sebagai spirit pemersatu, ada tesis yang cukup menarik dari seorang Emil Durkheim, dikatakan bahwa agama harus membawa sipirit: Pertama, sebagai kekuatan pemersatu. Kedua, dalam budaya masyarakat primif agama memiliki peran untuk membantu orang berkontak dengan sesama, dan Ketiga, ritual keagamaan yang dikembangkan didalamnya mendorong orang untuk mengikat rasa sepaguyuban (senasib sepenanggungan). Dengan pemahaman ini setidaknya kita bisa melihat lebih jauh bahwa agama merupakan sarana untuk mengikat rasa persaudaraan dengan menghilangkan semua prasangka yang mengarah pada rasisme kesukuan dan kebangsaan.
Kebhinekaan merupakan fitrah kebangsaan kita sehingga ruh tersebutlah yang mendasari setiap perilaku politik, ekonomi, budaya, dan konstitusional negara agar tidak mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada diskrimasi. Sejarah panjang bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan harus menjadi pengingat bahwa kita pernah menjadi salah satu negara di kawasan Asia yang dengan tegas menolak segala bentuk tindakan rasis, dengan menolak adanya kelas-kelas sosial semasa penjajahan.
Spririt keagamaan yang melekat dalam nadi kehidupan bangsa Indonesia telah membangkitkan perlawanan dan mendorong konsensus global untuk menyatakan perlawanan atas segala bentuk penjajahan, terutama adanya diskriminasi dan rasisme agama. Momentum bersejarah inilah yang secara ideologis harus diduplikasi kembali oleh seluruh elemen bangsa, dalam artian menghadirkan spirit keagamaan dalam ruang publik baik pada sektor politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Terlebih lagi di masa-masa tahun politik seperti ini dimana sentimen agama (SARA) menjadi isu sensitif yang mudah sekali menyulut konflik dan mengoyak keharmonisan bersama.
Superioritas dalam bentuk apapun merupakan kesalahan sekaligus ancaman bagi pihak lain, oleh karena itulah perilaku kenegaraan yang berbasis pada moralitas dan transendensi agama harus dikembalikan sebagai pijakan utama, jangan sampai upaya kebebasan dan kemerdekaan berbangsa yang diimpikan oleh setiap negara di dunia diciderai oleh praktek barbarian dengan mengatasnamalan superirotitas kebangsaan atau primordialisme suku, dengan merasa dirinya adalah bangsa pilihan Tuhan.
Mari kita bangun peradaban dunia ini dengan perasaan saling menghormati, dan bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai ideologi pemersatu, pun semoga Pancasila menjadi the third way, bagi perdamaian dunia.