Pergesekan antar ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terjadi di Pemalang, serta konflik senjata yang terjadi antara Thailand dan Kamboja, telah membuka tabir kelam akan adanya propagasi kekerasan yang disebarkan melalui media sosial. Media sosial menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan narasi kekerasan, seringkali dibalut dengan istilah-istilah agama seperti “jihad,” “syahid,” atau “perang membela ulama,” yang seakan memberikan justifikasi terhadap tindakan brutal tersebut. Jika fenomena ini terus dibiarkan berkembang, kita tidak hanya akan menyaksikan tragedi kemanusiaan yang terus berulang, tetapi juga akan menciptakan siklus kebencian yang semakin membakar semangat untuk mempertahankan kebenaran semu setiap kelompok yang terlibat.
Fenomena kekerasan ini tidak dapat dipandang secara terpisah dari fanatisme buta yang dimiliki oleh sebagian kelompok yang merasa memiliki kebenaran tunggal. Keyakinan semacam ini membentuk pemahaman yang keliru tentang perang dan kekerasan, seolah-olah hal tersebut merupakan sebuah ajang untuk membuktikan kesetiaan terhadap ideologi dan tujuan kelompok mereka.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki sejarah panjang tentang pentingnya menjaga keharmonisan dalam keragaman. Semangat persatuan yang diusung oleh para pendiri negara ini, tercermin dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam menghadapi konflik dan perbedaan, bangsa Indonesia diajarkan untuk mengedepankan musyawarah dan mufakat sebagai solusi utama, yang tidak hanya berlandaskan pada ego kelompok, tetapi juga pada kebijaksanaan dalam menghargai perbedaan dan merawat kebersamaan.
Dalam menghadapi ancaman perpecahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari konsep kearifan yang ada dalam ajaran agama, terutama dalam prinsip tabayyun yang diamanatkan oleh Al-Qur’an. Dalam surat al-Hujurat ayat 6, yang mengandung pesan yang sesuai dengan kondisi saat ini, di mana media sosial sering kali menjadi ladang subur bagi penyebaran informasi yang tidak akurat dan bahkan menyesatkan. Perintah untuk melakukan tabayyun mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan atau mempercayai suatu informasi tanpa penyelidikan yang benar.
Pentingnya tabayyun dalam dunia digital dan media sosial saat ini sangat krusial. Di era digital, penyebaran informasi bisa terjadi dengan sangat cepat dan mudah. Namun, tidak semua informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seperti yang terjadi di Pemalang, atau permasalahan internasional seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja, seringkali berita yang beredar disertai dengan narasi yang provokatif dan bisa memicu tindakan kekerasan. Tabayyun mengajak kita untuk lebih bijak dalam menyaring informasi, mengecek kebenarannya, dan memahami konteksnya sebelum ikut terprovokasi.
Selain mengedepankan prinsip tabayyun, Indonesia memiliki warisan budaya yang sangat berharga dalam meredam konflik, yaitu musyawarah dan mufakat. Musyawarah bukan hanya sekadar diskusi atau debat, melainkan suatu upaya untuk menemukan jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan tidak perlu selalu didasarkan pada kekerasan atau paksaan, tetapi dapat dicapai melalui dialog yang saling menghormati dan mengedepankan kebersamaan.
Penting untuk dicatat bahwa karakter fasik dalam dunia digital juga harus diperbarui. Dulu, kata fasik dalam bahasa Arab merujuk pada seseorang yang keluar dari jalan kebenaran atau berbuat dosa besar. Namun, di era digital ini, karakter fasik bisa merujuk pada individu atau kelompok yang menyebarkan informasi yang menyesatkan, memprovokasi kebencian, atau memicu kekerasan. Mereka yang terlibat dalam penyebaran berita palsu atau ujaran kebencian, walaupun tidak melakukan kekerasan secara langsung, sesungguhnya sudah ikut merusak tatanan sosial dan memicu ketegangan antar kelompok.
Peran tabayyun diangap penting, karena dapat mengingatkan kita untuk tidak mudah percaya atau terjebak dalam narasi-narasi yang hanya menguntungkan salah satu pihak atau kelompok. Perintah untuk tabayyun adalah salah satu cara untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi sebelum kita ikut menyebarkannya. Karakter fasik bisa didefinisikan bukan hanya dari perbuatan buruk, tetapi juga dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh informasi yang mereka sebarkan, yang dapat merusak keharmonisan sosial.
Bangsa Indonesia, dengan segala keragamannya, harus terus menjaga persatuan dan keharmonisan. Dalam menghadapi benturan antar ormas atau konflik internasional, kita harus bisa mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah, mufakat, dan tabayyun. Kearifan dalam tabayyun ini menjadi kunci untuk menghindari konflik lebih lanjut dan untuk mengedepankan solusi yang damai dan penuh kebijaksanaan. Dalam dunia yang semakin terhubung, kita tidak boleh terjebak dalam fanatisme yang semu. Sebaliknya, kita harus mendorong dialog yang sehat, menghargai perbedaan, dan berkomitmen untuk membangun bangsa ini dengan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih damai, toleran, dan sejahtera.