Seolah tidak terasa, tahun baru 2020 sudah kita tapaki. Perayaan malam tahun baru di seluruh penjuru negeri menjadi penanda masuknya kita dalam lembaran baru, sekaligus menutup lembaran lama, yakni tahun 2019. Berbagai acara menyambut tahun baru digelar masyarakat, mulai dari pesta hiburan rakyat, pengajian, sampai sekadar kumpul-kumpul sejawat. Semua tentu dilakukan dengan tujuan agar ke depan kehidupan kita menjadi lebih baik, baik dari sisi kesehatan, karir, maupun keagamaan.
Poin terakhir itu patut diberikan perhatian lebih mengingat dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan bagaimana car pandang dan praktik keagamaan, utamanya kaum muslim dalam banyak hal telah menyumbang residu persoalan sosial. Berbagai temuan riset dan survei menunjukkan bahwa cara pandang dan praktik keagamaan muslim di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini mengarah pada corak konservatisme.
Secara sederhana, konservatisme dapat dipahami sebagai sebuah gejala ketika umat beragama menunjukkan peningkatan dalam kesalehan individualnya dalam menjalankan perintah agama. Gejala itu tampak dalam kian terbukanya masyarakat dalam mengekspresikan simbol-simbol agama di ruang publik. Hal itu tampak dalam kian begairahnya kaum muslim memakai pakaian atau atribut muslim di ruang publik serta naiknya konsumsi produk barang dan jasa yang mengasosiasikan ciri atau karakter islami.
Sekilas tidak ada yang salah dengan fenomena konservatisme agama. Menjadi saleh secara individu, sekaligus mengekspresikan identitas keislamannya di ruang publik tentu hak semua muslim. Namun demikian, dalam perkembangannya, konservatisme agama kerap berujung pada munculnya sikap arogan dan intoleran dalam beragama. Hal ini dilatari oleh menguatnya sentimen klaim kebenaran agama.
Baca Juga :Resolusi Tahun 2020: Menyemarakkan Toleransi dan Anti Radikalisme
Fenomena konservatisme keberagamaan di kalangan kaum muslim yang berujung pada maraknya sikap arogan dan intoleran ini dalam banyak hal telah mengganggu relasi sosial di tengah masyarakat. Sebagaiamana diketahui, Indonesia merupakan negara multikultural dan multireliji. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai entitas agama dan budaya yang masing-masing memiliki hak untuk diperlakukan setara.
Hilangnya Imajinasi Kebangsaan
Konservatisme agama di kalangan muslim itu seolah mencapai titik klimaksnya pada tahun 2017 dan berlanjut hingga tahun 2019 lalu, tepatnya ketika perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sentimen keagamaan yang bertemu dengan politik identitas telah melatari berbagai praktik arogansi dan intoleransi atas nama agama, baik di dunia nyata maupun di dunia nyata. Nyaris saban hari selama perhelatan dua hajatan politik penting itu kita melihat bagaimana ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu berlatar isu agama lalulalang di lini masa media sosial kita.
Pilkada DKI tahun 2017 dan Pilpres 2019 barangkali merupakan dua peristiwa politik paling brutal yang pernah terjadi di era Indonesia pasca-Reformasi. Politisasi agama yang demikian terbuka dan vulgar tidak hanya merusak proses demokratisasi yang susah payah kita bangun selama dua dekade terakhir. Lebih dari itu, politisasi agama juga mengancam keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Secara umum, politisasi agama juga telah mengaburkan imajinasi kebangsaan masyarakat Indonesia. Polarisasi yang tercipta akibat perbedaan politik menyebabkan masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang terus-menerus saling berseteru. Akibatnya, masyarakat lebih sibuk saling mencemooh dan menjatuhkan satu sama lain ketimbang mewujudkan cita-cita kolektif bangsa.
Hingga kini, energi bangsa dihabiskan untuk urusan yang berhubungan dengan kepentingan kelompok, golongan, partai, suku dan agama yang sifatnya parsial, eksklusif dan artifisial. Konsekuensinya, persoalan kebangsaan yang fundamental dan subtansial pun lebih sering diabaikan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah terperangkap ke dalam paradigma selfishness dan egosentrism, dua paradigma yang menganggap diri (self) sebagai pusat segala sesuatu dan wajib diprioritaskan kepentingannya.
Paradigma selfishness dan egosentrism ini cenderung melahirkan masyarakat yang agresif dan destruktif terhadap kelompok liyan. Corak masyarakat yang agresif dan destruktif itu lantas tidak menyisakan ruang bagi berkembangnya imajinasi kebangsaan dan keagamaan yang bersifat rekonstruktif. Imajinasi yang berkembang, lebih sering bercorak destruktif dan membahayakan bagi eksistensi bangsa dan negara.
Membangun Imajinasi Rekonstruktif
Sejarah banyak mengajarkan pada kita bagaimana imajinasi kolektif bangsa yang bersifat rekonstruktif mampu membangkitkan energi bangsa untuk meraih kemajuan dan kejayaannya. Di masa lalu, bangsa Indonesia memiliki impian dan cita-cita untuk merdeka dari kolonialisme. Impian itu yang menyatukan seluruh elemen bangsa ke dalam satu barisan sekaligus meluruhkan sekat-sekat perbedaan agama, budaya dan ideologi.
Kini setelah bangsa ini merdeka lebih dari tujuh dekade, spirit kolektivisime itu justru luntur tergeser oleh menguatnya sentimen keagamaan yang berkelindan dengan kepentingan politik praktis. Maka, inilah saatnya kita merekonstruksi kembali imajinasi kebangsaan dan keagamaan kita agar relevan dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Dan, momentum pergantian tahun kiranya menjadi saat yang tepat untuk memulai sebuah proyek rekonstuksi tersebut.
Setidaknya ada dua alasan mengapa tahun 2020 ini tepat untuk dijadikan awal bagi agenda rekonstruksi keagamaan dan kebangsaan. Pertama, kita baru saja menyelenggarakan Pilpres 2019 dengan nisbi aman. Presiden, wakil presiden, berikut jajaran menteri serta pimpinan lembaga pemerintah lainnya baru saja dilantik. Kondisi ini idealnya bisa dijadikan starting point untuk memulai agenda panjang rekonstruksi keagamaan dan kebangsaan.
Kedua, pada tahun ini kita akan menggelar Pilkada Langsung dan Serentak di setidaknya 270 daerah di Indonesia. Pilkada 2020 bisa dibilang sebagai sebuah ujian bagi bangsa Indonesia. Apakah kita akan tetap mempraktikkan politik identitas, ataukah kita mampu beranjak ke praktik politik yang lebih demokratis dan bermartabat. Pilkada 2020 juga bisa disebut sebagai batu loncatan menuju Pilpres 2024.
Di bidang keagamaan, masyarakat Indonesia perlu terus-menerus mengembangkan cara pandang dan praktik keagamaan yang moderat, toleran dan inklusif. Moderat dalam artian tidak fanatik terhadap ajaran agama sendiri yang berujung pada sikap merendahkan agama lain. Toleran dalam artian mampu bersikap adil pada kelompok agama lain dengan memberikannya ruang yang setara. Sedangkan inklusif dalam artian, kita sebagai umat beragama tidak menutup diri untuk melakukan komunikasi, dialog dan kerjasama dengan kelompok agama lain.
Corak keagamaan yang moderat, toleran dan inklusif akan menjadi pemecah bagi kebekuan relasi antar-agama di Indonesia selama ini. Dengan mempraktikkan moderatisme, toleransi dan inklusifisme kita juga dipastikan akan dengan mudah menghadang arus konservatisme-radikalisme yang selama ini kadung menggejala di tengah masyarakat.
Di ranah kebangsaan, masyarakat perlu membongkar kembali nalar sektarianisme yang mengkondisikan masyarakat ke dalam kotak-kotak kecil yang tidak saling terhubung. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Sungguh sayang jika modal sosial itu disia-siakan karena egosentrism dan selfishness yang sebenarnya hanya dilatari oleh kepentingan politik sesaat. Oleh karena itu, kita perlu membangun (kembali) imajinasi konstruktif bangsa agar kita bisa lukar dari jebakan primordialisme, sektarianisme dan chauvinisme. Imajinasi kolektif bangsa itulah yang akan menuntun kita menemukan peluang, strategi, scenario dan langkah-langkah untuk mencapai kejayaan di masa depan.