Tahun baru identik dengan harapan dan keinginan-keinginan yang hendak dicapai. Di tahun sebelumnya ada yang hendak ditinggalkan dan ada yang ingin dilanjutkan. Tentu saja setiap orang memiliki alasan tersendiri dalam menentukan keinginan dan harapan-harapan itu. Begitu juga, sebagai warga suatu bangsa tentu ada juga yang hendak kita lanjutkan atas nama rakyat dan ada yang ingin dicapai dan dilanjutkan di tahun beerikutnya. Selain warga negara, ada pula orang yang hendak mencapai keinginannya dari perspektif agama sekaligus ada yang hendak ditindak lanjuti di tahun selanjutnya.
Jika melihat geliat berbagai peristiwa di tahun 2017, tentu ada getir dan pahit selama berada di tahun itu. Walau kegembiraan kadang-kadang datang menjelma. Aksi terorisme dan upaya merebut ideologi negara masih mewarnai perjalanan 2017. Kasus demi kasus memang sudah ditangani dengan baik. Namun geliatnya selalu terasa yang membuat bulu kuduk merinding. Bayang-bayang kematian akibat aksi terorisme selalu mengancam. Tidak kalah ngerinya adalah stigma-stigma negatif yang dialamatkan kepada orang yang berbeda.
Tahun 2017 juga melahirkan geratan gempa politik berbasis agama sekaligus tsunami massa yang menghawatirkan beberapa pihak. Kondisi ini menambah angka trauma bagi beberapa orang khususnya rakyat bawah setelah didera ancaman terorisme sejak 2002. Kehawatiran itu bukan tanpa alasana. Di negara-negara Timur Tengah, peperangan terjadi berawal dari gema politik religius ini. Setiap kelompok saling klaim sebagai yang terbenar hingga lahir perang saudara. Akankah Indonesia seperti itu, sebuah pertanyaan yang menyelipkan ketakutan.
Karena itu, tidak salah kiranya jika kegetiran di atas harus ditinggalkan. Tahun baru harus dibuka dengan lembaran yang berbeda. Agama yang selama tahun 2017 dijadikan tameng untuk meloloskan niat membunuh orang lain harus diletakkan di laci kenangan kemudian dikunci. Syariat Islam yang gembar gemborkan sebagai solusi segala hal namun malah melahirkan kekacauan dan pertumbahan darah tidak boleh tidak harus ditutup rapat-rapat. Karena negara Indonesia bukanlah negara agama. Oleh sebab itu, semua hal yang pahit dan melahirkan trauma dan kekaucauan harus ditinggalkan. Lalu harus membawa apa di tahun baru?
Syariat Baru
Apa yang saya sebut sebagai “syariat baru” sebenarnya bukanlah yang benar-benar baru tapi sudah ada sejak lama namun tidak diwujudkan dalaam tindakan nyata. Karena itu, kita mesti berikrar untuk mewujudkannya di tahun 2018 ini. Apa saja? Penerimaan Pancasila sebagai Negara. Kita mesti mengakhiri perdebatan soal bentuk kepemimpinan Indonesia dan aturan-aturan hukumnya. Pendiri bangsa ini sudah sepakat untuk menerima Pancasila dan Undang-Undang 1945 sebagai dasar pokok dalam berbangsa dan bernegara. Mereka menyadari, sekalipun dirinya muslim, tidak ada sendi-sendi Islam yang bertolak belakang dengan Pancasila. Sistem khilafah atau imamah yang termaktub dalam kitab-kitab kalsik tidak lebih dari hasil ijtihad ulama kala itu untuk menentukan pola kepemimpinan dalam Islam bukan sebuah syariat yang wajib diikuti. Sebagai ijtihad, maka kedudukannya sama dengan penerimaan ulama Indonesia terhadap Pancasila sebagai dasar Negara.
Selain itu, kita mesti bertekad untuk menyampaikan yang haqq dan benar. Tahun 2017 bisa dikatakan tahun fitnah. Tidak sedikit informasi keliru bahkan mengada-ada yang sengaja disebarkan oleh beberapa oknum umta Islam hanya demi kepentingan politisnya. Bahkan penyebaran fitnah itu menjadi jual beli lintas parpol. Ini mesti diakhiri. Islam telah melarang penyebaran fitnah. Al Qur’an secara terang-terangan menyampaikan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Karena satu fitnah saja bisa mengakibatkan ribuan orang meninggal. Ucapan bahwa Indonesia negara thagut yang tidak berlandaskan Islam merupakan fitnah keji yang telah membuat orang mati terbunuh. Fitnah juga membuat seseorang tidak mengerti mana lawan dan mana kawan. Kondisi seperti ini dalam Islam disebut ‘al harj’, yakni suatu kondisi dimana fitnah tidak bisa dikendalikan dalam suatu masyarakat sehingga kawan bisa dibunuh karena dianggap lawan.
Fitnah yang tak kalah dahsyatnya adalah deklarasi perang dalam kondisi damai (yuhill al qital mahalla al salam). Entah berapa tahun hingga saat ini, fitnah bahwa Islam sedang diperangi dan selalu dianiaya oleh agama lain beredar di masyarakat. Sehingga masyarakat muslim dilanda kehawatiran yang mendalam. Sementara sebagian yang lain bersiap-siap untuk melakukan peperangan. Akibatnya lahir perang saudara. Umat Islam mati dibunuh oleh saudaranya sendiri. Rakyat Indonesia terbunuh oleh sesamanya. Di tahun 2018, fitnah seperti di atas atau sejenisnya mesti diakhiri. Kita harus kembali kepada nilai-nilai keindonesiaan dan keislaman yang mewajibkan seluruh warga dan umatnya untuk berkata jujur.
Tidak kalah penting dari dua hal di atas, terakhir adalah mempererat persaudaraan berbasis kenegaraan (ukhuwwah washathiyyah). Kemelut SARA yang terjadi di 2017 harus diakhiri. Karena negara ini dibangun atas dasar keberagaman. Di Indonesia, Suku, ras, dan agama tidak tunggal adanya. Masing-masing saling memberikan nilai terbaik bagi bangsa ini. Perjuangan kemerdekaan pun ditempuh atas jasa para pahlawan dari berbagari ras, suku, dan agama. Karenanya, tidak boleh ada monopoli dan dominasi kepada salah satu pihak atas dasar apapun, semayoritas apapun keberadaannya. Semoga 2018 menjadi tahun kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara. Amin.