Terorisme dan Babi

Terorisme dan Babi

- in Narasi
1437
0

Sejak 2001 hingga saat, aksi-aksi brutal terorisme menghantui bangsa ini. Ada dua bentuk perburuan terorisme yang dilakukan guna memberantas aksinya. Pertama, memburu pelakunya. Sudah beberapa orang yang ditangkap dan bahkan dihukum mati. Ditembak di tempat juga sudah ada beberapa. Yang terakhir adalah Santoso. Yang pertama ini biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian khususnya Densus 88 dan sekali-kali dibantu oleh TNI. Dan kedua, memburu ajarannya. Pemburunya terdiri dari tokoh agama dan masyarakat. Tokoh agama biasanya dilakukan dengan seminar-seminar dan pidato-pidato di podium. Sementara masyarakat secara umum melakukannya dengan aktifnya melakukan tindakan pencegahan rekrutmen teroris.

Atas dua cara perburuan di atas, aksi terorisme tetap berlanjut. Walau tidak sedahsyat pertama kali sebagaimana terjadi di Bali namun aksi terorisme gelagat terornya tak dapat dipungkiri hingga saat ini. Terakhir, aksi terorisme dilakukan di gedung polri, tempat dimana para penegak hukum dan penjamin keamanan bangsa ini berada. Ini benar-benar sangat di luar otak wajar manusia. Tanpa disertai ideology membunuh yang dahsyat, bagaimana mungkin seorang perempuan seberani itu masuk ke area dimana setiap orang berhak untuk menembak. Tentu, ideology teroris semakin tak bisa dibiarkan. Setiap orang harus bahu membahu memberantas keberadaan ideology pembunuh ini. Tapi bagaimana caranya?

Bercermin pada kasus haramnya babi. Berbeda dengan hal haramnya, kasus babi ini berbeda. Umat Islam, siapapun dirinya dan sebejat apa pun sikap dan perilakunya tidak akan mengkonsumsi babi. Kalau pun dijebak dan terdesak, ia akan berpikir lebih lama untuk menyantapnya. Hal ini karena pengharaman babi dilakukan dan disebarkan oleh seluruh elemen masyarakat. Hal yang paling diwanti-wanti oleh orang tua misalnya, adalah soal larangan babi ini. Tokoh-tokoh agama juga begitu, di setiap pengajian haramnya babi juga sering diutarakan. Bahkan tidak jarang babi ini dijadikan analogi ketika hendak menjelaskan tentang hal lain. Misaalnya, tentang haramnya makan harta anak yatim laksana makan daging babi. Sehingga larangan itu menyebar dan masuk ke alam bawah sadar setiap umat Islam.

Karena itu, dalam memberantas ideology teroris, tidak cukup dengan sebuah fatwa deradikalisasi atau tindakan densus 88. Perlu peran tokoh agama dan masyarakat khususnya orang tua agar ideology itu benar-benar musnah di bumi tercinta ini. Ada tiga cara yang harus dilakukan oleh semua kalangan dari pemerintah hingga bagian terkecil dari masyarakat bernama keluarga. Pertama, menempatkan ideology radikal sebagai musuh bersama. Tidak ada satu ayat pun dalam al Qur’an yang setuju dengan pembunuhan. Bahkan Allah berfirman dalam al Qur’an bahwa membunuh satu orang sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, memeliharan kehidupan seorang manusia sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia (QS:5;32)

Semua orang tahu bahwa aksi-aksi terorisme adalah aksi membunuh orang-orang yang tidak bersalah di depan hukum. Dalam perang pun, tidak semua orang yang harus dibunuh. Menurut Khai Haikal dalam “Al Jidad Wal Qital Fi Al Siayasah Al Syar’iyyah” menyatakan bahwa warga sipil, anak-anak, perempuan, dan tempat ibadah merupakan beberapa hal yang dilarang dibunuh dan dihancurkan sekalipun dalam kondisi perang. Ini berbeda dengan aksi terorisme yang tidak memandang orang-orang perorang atau tempat. Siapapun bisa dibunuh dan apapun bisa dihancurkan. Tempat ibadah dan orang-orang di dalamnya bisa menjadi sasaran aksi terorisme. Landasan teologis ini bisa dijadikan pedoman bahwa terorisme dan radikalisme layak dan harus dijadikan musuh bersama seluruh manusia khususnya umat Islam.

Kedua, penyampaian secara terus menerus. Memusuhi ideology tidak bisa sekali tempuh. Karena itu membutuhkan kontiniuitas dalam menyampaikannya. Seperti soal haramnya babi, larangan memiliki ideologi radikal harus disampaikan di segala kondisi dan lokasi apapun. Peran keluarga dalam membentengi anak-anaknya dari jerat ideology radikal juga sangat penting. Yakni mewanti-wanti anak-anaknya agar tidak masuk di dalamnya. Dalam ranah keluarga, ideology radikal harus sampai pada taraf yang menjjikkan dan harus dihindari. Analogi-analogi tentang sesat pikir ideology perlu sering disampaikan oleh semua kalangan dari tingkat paling bawaha.

Dan ketiga, ditanamkan sejak usia dini. Pendidikan di usia dini akan lebih mengena pada anak kelak ketika dewasa. Karena itu, ideology ini harus diperangi sejak usia dini. Madrasah dan sekolah yang mengampu pendidikan agama perlu memasukkan nilai-nilai agama berlandaskan moderasi Islam bukan berideologi radikal. Moderasi Islam yang dimaksud disini adalah paham yang bisa menerima segala perbedaan dan mampu beradaptasi dengan kondisi apapun tanpa mengabaikan ajaran-ajaran agama. Perlu diingat bahwa mendapatkan pelajaran agama sejak dini memang wajib bagi setiap umat islam namun memperoleh pejaran agama berbasis ideology radikal menjadi haram di negri yang berbhineka tunggal ika ini. Wallahu a’lam.

Facebook Comments