Puasa dan Dialog Kebatinan

Puasa dan Dialog Kebatinan

- in Narasi
1294
0

Terkadang, kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering-kali kita lakukan, yaitu menempatkan puasa di bulan suci Ramadhan hanya sekadar “penunda” dari segala keburukan-keburukan. Artinya, kita hanya menahan diri untuk tidak berbuat keburukan pada saat atau sedang dalam keadaan berpuasa.

Misalnya, kita sering-kali berkumpul bersama, lalu ketika ada salah satu teman di antara kita yang ingin berbicara keburukan orang lain, tiba-tiba ada salah satu di antara teman kita yang lain mencoba untuk menegurnya, bahwa “Kalau bulan puasa jangan berbicara keburukan orang lain atau ghibah”. Lantas, apakah seusai puasa kita bebas melakukan keburukan berbentuk ghibah atau berbicara keburukan orang lain?

Tentu persepsi di atas, sebetulnya kita telah menempatkan puasa ke dalam wilayah khusus. Di mana secara fungsional, puasa seperti tembok penghalang “sementara” untuk berbuat keburukan. Dalam arti pemahaman, Puasa hanya sebatas kewajiban-kewajiban di dalam ritual keagamaan. Tanpa ada spirit yang meniscayakan makna dan kesadaran yang membias dan membekas.

Di sinilah pentingnya membangun semacam dialog kebatinan. Bagaimana puasa yang kita jalani selama 30 hari di bulan suci Ramadhan itu sejatinya diimbangi dengan sebuah “bahasa komunikatif” kepada diri sendiri. Meniscayakan sublimasi makna yang mendalam lewat perenungan yang mendalam di setiap larangan mau-pun kewajiban secara mandiri yang harus dilakukan selama bulan puasa.

Karena kita harus memahami bahwa puncak spiritualitas puasa sejatinya terletak di dalam dimensi dialog kebatinan. Di mana seseorang ketika mampu melaksanakan puasa tidak hanya sekadar berhenti pada wilayah kewajiban untuk “menahan” segala sesuatu yang dilarang untuk tidak dilakukan sementara waktu dan dalam tempo tertentu. Setelah kewajiban itu terbayarkan. Kita akan terus menjembatani kesadaran etis untuk tidak melakukan keburukan-keburukan sekali-pun di luar puasa.

Maka sangat penting untuk menghadirkan semacam dialog kebatinan di dalam ibadah puasa. Yaitu mampu menghadirkan semacam dialog internal dengan membuat sebuah pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Kenapa di dalam puasa harus menahan diri untuk tidak makan, minum dan perbuatan buruk misalnya?

Dengan membentuk dialog yang semacam ini, akan ada semacam jawaban-jawaban yang berbentuk (pemahaman) dan akan berimbas ke dalam (kesadaran) lalu membentuk sebuah (kebijaksanaan).

Tiga unsur ini akan hadir dalam diri kita sebagai suatu makna yang mendalam yang akan kita dapatkan selama melaksanakan ibadah puasa tersebut. Artinya, tidak hanya sekadar “bangga” dan merasa sukses terhadap pencapaian puasa full selama tiga puluh hari tersebut. Tetapi juga menemukan “mutiara hikmah” yang akan didapat hingga mencapai puncak kemenangan pada hari raya Idul Fitrih yang berarti kembali ke fitrah awal di mana manusia pada dasarnya suci.

Penempatan dialog kebatinan sebagai puncak pencapaian spiritualitas puasa ini pada hakikatnya untuk merapuhkan segala berhala-berhala persepsi dan hasrat kita di dalam melaksanakan puasa hanya berkutik pada kewajiban. Kita hanya betas menghitung puasa kita mampu full tanpa meniscayakan kesadaran akan seberapa banyak pemahaman, kesadaran dan kebijaksanaan yang telah dicapai selama melaksanakan ibadah puasa tersebut.

Dengan seperti ini, puasa tidak hanya sekadar “penunda” selama 30 hari agar tidak melakukan perbuatan buruk. Tetapi puasa akan menjadi semacam pemahaman, kesadaran dan kebijaksanaan yang permanen untuk selalu menolak dan enggan berbuat keburukan. Artinya, kita akan menolak atau bahkan menjauh dari segala keburukan bukan karena ada hukum atau larangan yang tegak. Tetapi murni karena kesadaran diri kita yang memang meniscayakan diri untuk selalu berada dalam kebaikan dan meninggalkan keburukan. Karena tindakan buruk itu sejatinya tidak layak untuk dipertahankan.

Facebook Comments