Timbang-timbang Urgensi Pemulangan Hambali

Timbang-timbang Urgensi Pemulangan Hambali

- in Narasi
1
0
Timbang-timbang Urgensi Pemulangan Hambali

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mewacanakan pemulangan sosok yang disebut sebagai ‘otak’ serangan teror bom di Bali 2002 dan J.W. Marriot 2003, Hambali alias Encep Nurjaman.

Alasan Yusril, sebagaimana dilaporkan di banyak media, adalah ihwal kemanusiaan karena statusnya sebagai warga negara Indonesia.

…. Betapapun salah, warna negara kita di luar negeri tetap harus kita berikan perhatian, supaya masyarakat tahu …” tutur Yusril, dikutip dari Metro TV.

Nasib Hambali di Kuba memang diperdebatkan. Masa penahanan Hambali, yang mendekati 20 tahun di penjara Guantanamo, berulangkali dikritik para pegiat HAM terkait “teknik interogasinya”. Sampai saat ini, ia belum menerima kejelasan hukum.

Sebuah badan adhoc yang dibentuk Senat AS, yang dirilis pada 2014, mengungkapkan Hambali dan terduga teroris lainnya— saat ditahan oleh CIA di suatu tempat yang dirahasiakan — mengalami penyiksaan.

Selama sekitar tiga tahun berada di tempat penahanan itu, Hambali dan lainnya akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006. Persidangan mereka digelar oleh Mahkamah Militer AS dan bukan peradilan sipil, yang berungkali dikritik oleh pengacaranya dan para pegiat HAM dunia.

Meskipun baru wacana, rencana ini cukup mengejutkan. Hambali adalah salah seorang pimpinan organisasi teroris paling berpengaruh di Asia Tenggara, Jamaah Islamiyah. Hambali ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand, 14 Agustus 2003, ketika dalam pelarian.

“The Bin Laden of Southeast Asia”

Dr. Ahmad El-Muhammady peneliti International Institute of Islamic Thought and Civilization bahkan menyebut Hambali sebagai “Bin Laden dari Asia Tenggara”. Predikat itu beralasan. Selain Bom Bali 2002, menurut As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Hambali berada ‘di belakang’, bom Kedutaan besar Australia (9 September 2004), bom Bali 2 (1 Oktober 2005) dan terakhir bom Marriot-Ritz Carlton (17 Juli 2009).

Beberapa selenting komentar di media sosial mengatakan bahwa wacana ini adalah pengalihan isu. Tapi abaikan desas-desus itu. Baik pengalihan isu atau rencana riil, ide untuk memulangkan Hambali terkesan “ganjil”

Jamaah Islamiyah memang kini sudah bubar. Aksi teror terbuka juga nihil. Tetapi apakah ideologi Hambali juga sudah lenyap?

Pertama, Hambali adalah ideolog murni. Berbeda dengan Ali Imran, salah satu pelaku Bom Bali, yang merupakan murid alias prajurit. Berbeda juga dengan Nurshadrina Khaira Dhania, perempuan kecil yang membujuk keluarganya pindah ke Suriah pada 2015. Dhania adalah korban propaganda.

Hambali adalah pentolan Jamaah Islamiyah yang juga dekat dengan Al-Qaeda. Keterhubungan itu membuat Hambali diberi kepercayaan untuk menyebarkan fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden. Fatwa berbahasa Arab itu dibawa Hambali dan disebarkan kepada para pimpinan JI di Malaysia dan Indonesia (BBC, 2021).

Kerusuhan Ambon dan Poso adalah salah-satu medan jihad pertama Jamaah Islamiyah yang notabene merupakan manifestasi dari fatwa Bin Laden itu. Dalam konflik Ambon, Hambali bahkan pernah datang ke wilayah itu dan berujung kepada pembangunan kamp latihan militer dan bantuan logistik dan pendanaan.

Nasir Abbas, mantan anggota NII, mengakui kemahiran Hambali sebagai teman dekatnya. Pada tahun 2000, Hambali merencanakan serangan kepada 30 gereja di lokasi berbeda di Indonesia. Hambali menguasi semua skill set itu, dari komunikasi yang rapi, perencanaan strategi yang matang, hingga proses eksekusi yang detail.

Menurutnya, peluang Hambali tobat sangat kecil. Usama bin Laden membolehkan membunuh perempuan dan anak di Amerika Serikat. Nasir Abbas yang kritis terhadap fiqih jihad menggarisbawahi bahwa Islam melarang membunuh warga sipil di medan pertempuran.

Kata Nasir, Hambali tidak melihat fiqih. Hambali melihat sosok Usama bin Laden an sich yang disebutnya mujahid besar yang dianggap tidak mungkin salah.

Saya melihat sosok Usama bin Laden adalah manusia biasa yang bisa saja salah. Di situlah titik perbedaan saya dan Hambali,” tutur Nasir dikutip dari BBC.

Apakah kesempatan kedua penting untuk narapidana teroris?

Jelas, penting. Hanya saja, dalam pendekatan deradikalisasi, napiter itu harus berkomitmen untuk menanggalkan ideologi terorisme dan menjadi mitra Pemerintah untuk melawan ekstremisme dan kekerasan sebagai credible voice.

Sedangkan Hambali? Ia berada di penjara Guantanamo, Kuba. Teritori yang sangat jauh dari Indonesia dengan akses restriksi yang luar biasa. Bagaimana stakeholder penanggulangan teror di Indonesia tahu bahwa Hambali sudah selesai dengan ideologinya.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa kewarganegaraan Hambali kini dipertanyakan. Apakah ia masih memegang paspor Indonesia atau tidak. Kementerian Luar Negeri Indonesia, melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa Hambali memegang paspor non-Indonesia. Artinya, status kewarganegaraannya merujuk ke paspor tersebut (BBC, 2021).

Jika keterangan ini benar, maka urgensi pemulangan semakin dipertanyakan.

Kemanusiaan yang Salah Kamar

Kedua, ada isu yang lebih mendesak daripada memulangkan Hambali, yaitu repatriasi atau pemulangan kurang lebih 300 WNI di kamp-kamp ISIS yang komposisinya adalah perempuan dan anak (BNPT, 2024).

Kebijakan repatriasi ini justru sangat bisa dilakukan berdasarkan peraturan yang memuat hal tersebut yaitu Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Nomor 90 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Penanganan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri yang Terasosiasi dengan Foreign Terrorist Fighters.

Dari sudut pandang keamanan, semakin lama individu-individu ini berada di kamp, semakin besar risiko mereka tetap teradikalisasi atau berada di bawah pengaruh jaringan ekstremis.

Banyak perempuan dan anak-anak yang awalnya bergabung dengan ISIS kini berisiko semakin dieksploitasi. Terlebih, mereka berada di luar pengawasan otoritas Indonesia. Mereka yang notabene korban propaganda dapat menjadi ladang subur untuk semakin ekstrem di masa depan, sehingga penting bagi pemerintah untuk bertindak cepat.

Perempuan dan anak-anak di kamp ini adalah korban konflik, pengungsian, dan eksploitasi. Komunitas internasional, termasuk Indonesia, memiliki tanggung jawab moral untuk mengatasi penderitaan mereka dan memfasilitasi kepulangan mereka dengan aman.

Agenda ini juga didukung oleh komitmen internasional. Menurut resolusi Dewan Keamanan PBB (S/RES/2396) yang diadopsi pada tahun 2017, negara-negara diimbau untuk memastikan pemulangan yang aman dan sukarela bagi warga negara mereka, terutama perempuan dan anak-anak, yang terkait dengan organisasi teroris seperti ISIS.

Resolusi ini menekankan pentingnya menghormati standar hak asasi manusia internasional sambil menangani kekhawatiran keamanan yang ditimbulkan oleh individu yang dipulangkan.

Negara-negara didorong untuk bekerja sama, berbagi praktik terbaik, memfasilitasi pemulangan warga negara mereka, dan memastikan bahwa mereka yang kembali mendapatkan dukungan rehabilitasi dan reintegrasi yang memadai.

Sedikit saran untuk Pak Prabowo, jika memulangkan Hambali bertujuan untuk menggaet atensi publik dengan kedok kemanusiaan, Pak Prabowo bisa bertindak lebih elegan lagi dengan mempertimbangkan kepulangan banyak perempuan dan anak di Suriah itu.

Soal kemanusiaan, rezim Pak Prabowo juga akan mendapat pujian ketika bisa memastikan keamanan kepulangan itu, sekaligus memberikan program reintegrasi dan rehabilitasi yang baik seusai mereka tiba di tanah air.

Negara-negara seperti Kanada, Inggris, dan Prancis sudah mengambil pendekatan yang beragam terhadap pemulangan, dengan fokus pada program rehabilitasi dan reintegrasi. Nah Indonesia bisa mengambil pendekatan yang lebih strategis, dengan menggunakan misalnya dengan pendekatan komunitas keagamaan dan kearifan lokal. Selain sebagai proses deradikalisasi, pendekatan itu sekaligus dapat menegaskan bahwa predikat Indonesia sebagai negara paling relijius itu bukan omong kosong.

Kesempatan kedua bagi perempuan dan anak yang pernah terlibat dalam jaringan teroris internasional (foreign terrorist fighter) rasanya lebih masuk akal ketimbang hanya meloloskan seorang Hambali yang masih belum jelas status kewarganegaraannya, pemikirannya, terlebih ideologinya.

Hambali bukan sekadar narapidana biasa. Jika pemerintah tetap mewacanakan pemulangan Hambali, terdapat berbagai risiko yang perlu dikaji secara kritis. Ia misalnya bisa mereaktivasi jaringan teroris lama, ia bisa menggantikan sosok Abu Bakar Ba’asyir sebagai simbol militansi “jihad”, atau sebaliknya ia bisa menjadi “Ali Imron” baru, sebagai garda terdepan penanggulangan teror.

Walakhir, semuanya terserah kepada penguasa akan mengambil jalur yang mana.

Atau jangan-jangan ini memang pengalihan isu, pencitraan, atau mencari perhatian?

Wallahu a’lam bissawab.

Facebook Comments