Dinamika kebangsaan sangat erat dengan figur dan peran ulama. Pemikiran, keberpihakan, dan ajaran ulama akan berkelindan dengan atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ulama yang menjadi panutan dapat menjalankan peran pada setiap life event, maka umat akan memiliki orientasi kehidupan beragama yang mature, dalam artian tetap mampu menegakkan sikap damai dan penuh toleran. Apabila ulama yang sekaligus menjadi guru bangsa memiliki akhlak yang santun sebagaimana ajaran Nabi Muhammad Saw., maka ulama menjadi influencer positif bagi umat. Namun, apabila ada ulama panutan bersikap radikal dan sering menebar ujaran kebencian, tentulah hal ini akan menimbulkan keresahan.
Kebencian dan ujaran negatif dari seorang tokoh, diprediksi diikuti oleh pengikutnya. Terlebih, bila followers terbiasa bersikap ‘membabi buta’ tanpa pertimbangan akal dan sikap objektif. Sejarah mencatat bahwa ulama adalah penggerak kemerdekaan. Founding fathers bangsa ditopang oleh para ulama yang memiliki kharisma luar biasa, mampu memberikan pengayoman dan rasa damai kepada masyarakat. Idealnya memang, ulama mewarisi akhlak Rasulullah Saw. dalam berdakwah. Dakwah yang santun, namun mampu menembus relung kemanusiaan, begitulah Rasulllah Saw. memberikan teladan.
Rasulullah Saw., jika membenci sesuatu, tidak menyalahkan person atau sebuah kejadian. Sehingga, dakwah Rasulullah Saw., menjadi rahmat bagi semesta alam. Shihab (2006) menjelaskan bahwa sebutan ulama bisa disematkan Al Quran kepada siapapun yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang fenomena sosial dan alam, kandungan kitab suci yang memiliki khasyyah (rasa takut dan kagum) kepada Allah Swt. Selain memiliki pengetahuan ilmu agama yang valid dan bersanad, ulama harus memiliki metode penyampaian dakwah yang damai, santun, dan toleran. Gelar ulama harus dibuktikan dengan kepiawaian menyelesaikan problem kemasyarakatan dengan cara yang benar dan bijaksana. Idealnya, ulama harus menjadi influencer positif yang mampu menyatukan, dan bukan sebaliknya.
Publik pun juga harus jelas memilih ulama yang layak menjadi panutan. Apabila ada yang menebar kebencian, menyulut permusuhan, hendaknya publik mempertimbangkan ulang. Bagaimana pun juga, ulama adalah guru bangsa. Ulama adalah sosok yang digadang menjadi pemersatu, dan bukan pemecah belah umat. Meski para ulama telah banyak wafat, namun ulama-ulama juga bermunculan, mencoba meneruskan iklim Islam rahmatan lil alamin di bumi Indonesia. Oleh karena itu, publik harus terliterasi agama dengan baik. Jangan sampai, hanya taklid buta, sehingga berdampak pada sikap beragama yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw. Dengan terus-menerus belajar ilmu agama bersama ulama (influencer positif), maka diri akan terliterasi dengan baik, sehingga tidak mudah terjebak dalam pola perilaku beragama yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
Fokus pada ulama yang menjadi influencer positif dapat memberikan pemahaman yang positif dalam sikap keseharian, baik dalam konteks bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Kabar baiknya, pengaruh positif dari ulama tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup, kebahagiaan, dan subjektive well being yang optimal. Muaranya, hidup akan terasa lebih tenang dan bahagia. Kita pun akan bisa merasakan nuansa beragama yang bahagia lahir dan batin. Sebaliknya, bila kehidupan beragama kita banyak diliputi ujaran kebencian, hujatan, dan hal-hal negatif lainnya, maka kita akan merasakan toxic yang melumpuhkan perasaan positif dan kebahagiaan.
Sudah saatnya, kita berfokus belajar pada ulama yang mampu berperan sebagai influencer pemersatu bangsa. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan rasa damai, bahagia, dan menemukan bahwa agama merupakan obat dari toxic mental. Kita berharap, di tengah pandemi dan situasi yang semakin tidak menentu, para ulama yang mewarisi akhlak Rasulullah Saw., tampil menjadi panutan masyarakat dan membangun harmonisasi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semoga.