Tidak ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan PERDAMAIAN di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar. (QS. An-Nisa’:114)
Aisyah binti Abi Bakar membaca keras-keras ayat tersebut di atas di pelataran Masjidil Haram ketika banyak umat Islam hendak pulang ke Madinah seusai musim haji. Jiwa Ibu orang-orang beriman (ummu al-mukminin) itu gundah dan sedih karena banyaknya berita dusta, kabar yang tidak berdasarkan fakta, dan juga fitnah bertebaran di tengah umat. Betapa tidak, saat-saat itu banyak umat Islam saling menaruh curiga terhadap sesama kaum muslim yang lain, yang puncaknya terjadi peristiwa pembunuhan Khalifah Ketiga, Ustman bin Affan oleh pemberontak yang datang dari beberapa kota di sekitar Madinah.
Lantaran fitnah yang tak berkesudahan dan kabar bohong yang dihembuskan oleh kalangan yang tak bertanggung jawab, membuat banyak kaum muslimin mendatangi kota Madinah lalu bergabung dengan beberapa orang penduduk Madinah yang terhasut oleh fitnah dan kabar dusta itu mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan.
Sebagai Amirul Mukminin, pemimpin sekaligus panglima tertinggi umat Islam, bisa saja Khalifah Utsman mengerahkan angkatan bersenjata untuk mencegah kerusuhan dan mengamankan kota Madinah. Tetapi, sebagaimana sejarah mencatat, Khalifah yang sangat lembut hatinya itu tak menghendaki terjadinya pertumpahan darah di Madinatur Rasul, kota Madinah yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang junjungan, Rasulullah SAW. Dan akibatnya sungguh menggetarkan relung hati Aisyah RA, yaitu para demonstran itu yang mengepung rumah khalifah Ustman bin Affan nekad merangsek memasuk rumah sang Khalifah dan mendapati beliau sedang membaca Al-Quran.
Dan sungguh inilah yang membuat ibunda kaum beriman itu merasa seolah terjerembab ke dalam lubang kesedihan yang paling dalam, ternyata para pemberontak yang beragama Islam itu tidak menghormati sang Khalifah dan tidak menghargai kota yang disucikan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW itu. Tanpa belas kasih, salah seorang dari mereka tidak memperdulikan Al-Quran yang sedang dibaca oleh Sang Khalifah. Ia langsung menusukkan pedang ke tubuh rentah Khalifah Ustman bin Affan. Sang Khalifah bersimbah darah, lalu tersungkur sembari memeluk erat mushaf Al-Quran di dadanya.
Di samping Hajar Aswad, di masjidil haram, Aisyah RA, sang bunda kaum beriman itu menuturkan khutbah dengan suara yang semakin meninggi, sebagaimana peristiwa itu direkam dengan baik oleh Imam Al-Thabari dalam Tarikh-nya: “Kita harus bangkit bergerak menegakkan kedamaian dan memperdamaikan mereka seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Kami perintahkan kalian untuk menegakkan kedamaian dan membela kebenaran. Kami peringatkan dan kami larang kalian dari kejahatan dan kemungkaran. Kami perintahkan kalian untuk mengubah kemungkaran.” (Tarikh al-Thabari, jilid 3, hal 479).
Namun, apalah daya. Sejarah memang tidak berpihak kepada Aisyah sang istri terkasih Rasulullah SAW itu. Fitnah, berita dusta, dan skenario licik yang dilancarkan oleh para penentang perdamaian lebih berkuasa. Karena fitnah dan kabar bohong yang merebak dan tak terkonfirmasi kebenarannya menyebabkan Aisyah dan beberapa sahabat lainnya tergiring pada pertikaian sesama umat Islam sendiri. Kehendak untuk mendamaikan sesama kaum muslimin yang terhasud fitnah dan kabar dusta itu berujung perang Jamal pada Jumadil Akhir, tahun 36 Hijriyah.
Kini, di bumi pertiwi dan juga belahan dunia lainnya, di era keterbukaan informasi ini, pada konteks yang berbeda, gelagat dan suasana kurang lebih hampir serupa. “Dinding-dinding” di media sosial banyak dipenuhi Hoax, kabar dusta yang tidak bertanggung jawab. Ujaran kebencian yang ditulis oleh jemari yang gemar mencaci penuh sesak di dunia maya. Perbedaan disikapi dengan membuat meme-meme dan status yang menuduh “sesat” bagi yang berbeda pandangan. Bahkan takfiri, pernyataan mengkafirkan saudaranya sendiri jamak dilakukan.
Kalangan yang berpandangan radikal dan cenderung ekstrim memanfaatkan media sosial di dunia maya untuk menebar kebencian, mengajak orang untuk memusuhi kelompok yang berbeda keyakinan, mengklaim diri paling benar, dan menakut-nakuti orang lain dengan teror. Tiba-tiba saja kita terhenyak, masyarakat Indonesia yang dikenal memiliki karakter santun kini terjangkiti penyakit intoleransi, tak mau menghargai perbedaan, maunya menang dan merasa benar sendiri, bahkan mudah mengharamkan tradisi yang berkembang di tengah umat.
Tentu saja, menyikapi itu semua, kita tidak boleh kalah. Umat tidak boleh terus menerus terpapar berita Hoax lalu menerima kabar dusta sebagai kebenaran. Apalagi kebenaran yang mengatasnamakan agama. Terlalu kerdil jiwa dan pikiran umat jika mengabaikan perdamaian dengan menjual agama dengan harga murah.
Sebagaimana dilansir oleh Al-Quran, Surat An-Nisa’, ayat 114 tersebut, bahwa salah satu bentuk kebaikan yang utama adalah mengajak umat untuk memilih jalan damai. Bahkan, upaya menegakkan kedamaian dianggap sebagai kebaikan yang lebih utama melebihi keutamaan puasa, shalat, dan shadaqah. Rasulullah SAW pernah bersabdah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’, “Maukah kalian kuberitahu tentang sesuatu yang lebih utama dari pada puasa, shalat, dan shadaqah? Para sahabat menjawab; ‘Tentu, Ya Rasulullah.’ Beliau lantas bersabda; ‘Mendamaikan antara manusia yang bersengketa.” Rasulullah SAW juga bersabda: “Kerusakan (yang ditimbulkan ) oleh orang-orang yang merusak perdamaian adalah laksana al-Haliqah, yaitu pencukur (maksudnya mencukur agama, alias menghabiskan segala sesuatu).” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Karena pentingnya upaya menumbuhkan kedamaian di tengah umat itu, perkataan yang kendati tidak berdasarkan fakta, namun demi terwujudnya kedamaian, diberikan rukhshah (keringanan dosa). Hal tersebut disebut Hilah, yaitu sebuah siasat demi kebaikan.
Ummu Kultsum binti Uqbah, salah seorang sahabat perempuan yang pernah ikut berbaiat kepada Rasulullah SAW. Mengatakan: “Aku belum pernah mendengar suatu perkataan manusia yang diberi rukhshah (keringanan), kecuali dalam tiga hal; dalam peperangan, mendamaikan antara manusia, dan perkataan seorang suami kepada isterinya, serta perkataan seorang isteri kepada suaminya.” (HR. Jamaah)
Sungguh indah jika umat mau menangkap cahaya intisari agama. Sungguh menakjubkan jika umat berkehendak untuk memilih jalan damai sebagai jalur keberagamaan yang benar, jalan agama yang rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana pondasi risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Bukankah Rasulullah SAW pernah menyabdakan; “Bukanlah disebut pendusta, orang mendamaikan antara manusia, lalu ia menyebarkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR.Ahmad)?