Mencegah Terorisme secara Semesta

Mencegah Terorisme secara Semesta

- in Editorial
1287
0

Tidak diragukan lagi terorisme terus menjadi ancaman serius bagi setiap negara termasuk Indonesia. Ancaman terorisme dapat berujud dalam bentuk ancaman manifest melalui aksi kekerasan yang dipentaskan di depan publik. Selain itu, satu bentuk lainnya yang harus diwaspadai adalah ancaman laten dalam wujud paham, ideologi, dan keyakinan yang menyebar dan menyerang pola pikir masyarakat.

Secara umum, ancaman nyata terorisme dalam bentuk aksi, aktor, dan jaringannya telah mampu diminimalisasi melalui berbagai kebijakan negara. Pendekatan penegakan hukum telah mengamputasi atau setidaknya mempersempit ruang gerak aktor dan jaringan di Indonesia untuk bermanuver lebih jauh. Praktis di Indonesia, tidak ada jaringan besar yang terhubung secara sistimatis, melainkan sel-sel kecil yang hidup tanpa satu komando yang tidak terarah dan sporadis walaupun tetap membahayakan.

Tidak demikian dengan ancaman laten terorisme dalam wujud ideologi dan paham. Dalam optik ini, kita akan melihat bahwa sejatinya aksi terorisme adalah sarana untuk menghantarkan pesan dan cita-cita politik dari kelompok terorisme. Wujud aksi terorisme adalah panggung yang mengandung pesan dan cita-cita poltiik yang hendak disampaikan ke depan publik dalam rangka mempengaruhi kebijakan negara. Aksi terorisme adalah alat meneror masyarakat, sementara ideologi terorisme adalah virus kekerasan yang ingin mencuci otak masyarakat yang keduanya berujung pada upaya mencapai tujuan politik tertentu.

Kapan terorisme akan berakhir? Terorisme akan terus menjadi api dalam sekam negeri ini sampai cita-cita poltiik mereka tercapai. Agenda dan tujuan politik kelompok teror tidak hanya menimbulkan ketakutan dan kepanikan, karena itu hanyalah sarana bukan tujuan akhir. Kepanikan, ketakutan, instabilitas keamanan, dan kondisi chaos adalah pra kondisi yang menghantarkan pada rapuhnya kedaulatan negara yang diinginkan. Artinya, pada titik ini terorisme tidak hanya persoalan keamanan, tetapi juga persoalan yang menyangkut kedaulatan negara.

Kita telah melihat bahwa munculnya ISIS pada pertengah tahun 2014, walaupun akhir-akhir mulai redup, ternyata menyilaukan berbagai sel-sel kecil di tanah air untuk melakukan fusi gerakan. Apa yang menyilaukan mereka adalah tidak lain impian negara khilafah yang dalam ilusi mereka sudah dijanjikan. Ketidakberdayaan modal sosial, kultural, jaringan dan pendanaan untuk menancapkan khilafah di Indonesia menyadarkan mereka untuk bergabung di daerah konflik yang mereka klaim sebagai tanah suci baru. Ratusan orang berbondong-bondong dengan semangat keagamaan bahkan mengajak keluarganya untuk mengadu nasib di negeri penuh konflik.

Fenomena ISIS dan ancaman terorisme laten di Indonesia semakin menyadarkan bahwa perangkat hukum di Indonesia belum mampu membendung fenomena terorisme yang berkembang begitu cepat. Terorisme pun telah bergeser dari sekedar ancaman terhadap keamanan, tetapi juga bagi kedaulatan negara. Dalam kekosongan perangkat hukum tersebut, banyak sel-sel bergerak tanpa upaya pencegahan yang maksimal. Dalam konteks itulah, upaya merevisi UU terorisme lama perlu didorong untuk menambal kekosongan dan celah yang sering dimanfaatkan kelompok terorisme yang seolah tidak mampu disentuh secara hukum oleh negara.

Dalam lanskap paradigma dan definisi yang lebih sempurna kita mulai meyakini bahwa terorisme adalah eskpresi kekerasan yang didorong oleh ideologi untuk menuntut cita-cita politik tertentu. Ancaman terorisme tidak hanya menyasar pada aspek keamanan masyarakat, tetapi juga merambah penyerangan ideologi masyarakat dan pada kedaulatan negara. Dewasa ini, kita telah menyaksikan bahwa virus itu telah menyebar secara masif di ruang maya. Apakah ada korelasi positif propaganda di dunia maya dengan dunia nyata? Lahirnya fenonema baru lone wolf dalam aksi terorisme akibat radikalisasi di dunia maya menjadi tantangan baru dalam dimensi ancaman terorisme.

Dalam spektrum ancaman terorisme yang kompleks tersebut, kita membutuhkan tidak sekedar aspek penegakan hukum pada saat, pra dan pasca kejadian. Kita juga membutuhkan kewaspadaan pada pra kondisi yang mendorong lahirnya terorisme di tengah masyarakat. Pra kondisi tersebut adalah sebaran virus ideologi, keyakinan, paham yang bertebaran di tengah masyarakat baik dalam ruang nyata (offline) maupun ruang maya (online) yang mendorong lahirnya aksi kekerasan.

Konsep pencegahan semesta merupakan upaya membangun partisipasi seluruh elemen masyarakat untuk mewaspadai ancaman terorisme dalam berbagai bentuk dan dimensi yang manifest maupun laten. Keterlibatan seluruh komponen bangsa menjadi kunci utama dalam mempersempit ruang gerak, mengamputasi jaringan, dan menangkal pengaruh paham dan ideologi terorisme di tengah masyarakat.

Pencegahan semesta merupakan kolaborasi sinergis antara penanggulangan terorisme berbasis kebijakan negara dan pencegahan terorisme berbasis komunitas. Sinergi lintas kementerian, keterlibatan ormas, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, para akademisi, dan generasi muda merupakan anasir-anasir utama dalam membangun pencegahan terorisme secara semesta.

Akhirnya, kita tidak hanya butuh satu kesepakatan bahwa terorisme adalah musuh bersama, tetapi butuh tindakan bersama untuk menangkal dan mencegah berbagai upaya pra kondisi yang mendorong lahirnya terorisme. Kita tidak sekedar butuh menindak pelaku terorisme, tetapi mencegah agar ideologi dan paham kekerasan tidak mempunyai tempat berpijak di negeri ini. Peran sekecil apapun yang dapat kita lakukan dalam mencegah terorisme adalah sumbangsih besar untuk menjamin keamanan masyarakat dan kedaulatan negara.

# BersamaCegahTerorisme!

Facebook Comments