Selain politik uang, ancaman menguatnya wacana seksional dan identitas seperti ujaran kebencian, sikap sektarianisme, informasi hoax, fitnah hingga pemutar-balikan fakta patut diwaspadai. Sebab, kampanye berbasis SARA dan upaya adu domba antar anak bangsa akan lebih berbahaya, karena dampak yang ditimbulkan tentu sangat besar dan panjang. Bahkan bisa meninggalkan luka psikologis yang belum tentu sembuh, meski kontestasi politik telah berakhir.
Apalagi saat ini hadirnya media sosial tentu sangat berpengaruh. Dikarenakan media sosial memiliki kontur yang terbukti menjadi penggerak utama dalam menghasilkan beragam opini, wacana dan kesadaran tentang kebijakan yang transformatif. Kondisi inilah yang kemudian turut berpengaruh pada pembentukan sistem pengetahuan politik dan pemerintahan dalam nalar warganet. Termasuk penyalahgunaan wewenang untuk membangun fanatisme kebencian yang turut serta menerabas batas-batas demokrasi substansial.
Sejatinya pemilu 2019 harus dapat menjadi sarana pendidikan politik terutama edukasi politik digital. Apalagi selama ini pendidikan politik hanya menyasar pada wilayah luar jaringan (offline) semata. Padahal pendidikan politik sudah saatnya juga menyasar pada ranah dalam jaringan (online). Pasalnya, politik digital sangat rawan dari kegaduhan yang berpotensi menyulut perpecahan antar anak bangsa.
Dalam historiografi politik, proses pendidikan politik selama ini hanya menyentuh agar rakyat bisa digiring kebilik-bilik suara guna memberikan dukungan penuh pada partai tertentu, sedangkan kebebasan berpolitik rakyat tetap terpasung. Artinya, kegagalan pendidikan politik inilah yang menjadi awal berbagai masalah dalam kehidupan berpolitik. Apalagi proses pendidikan politik selama ini hanya diberikan sebatas pada kajian fakta dan bukan konsep dasar.
Padahal model pembelajaran politik bisa dilanjutkan dengan implementasi politik pada sektor dimana kekuasaan dapat dimengerti oleh rakyat secara rasional, baik dalam jaringan maupun luar jaringan. Realitas tersebut semakin mengalami disorientasi ketika bangsa ini memasuki era digital. Publik kemudian tampak sangat gagap terhadap apa itu pendidikan politik secara digital.
Dampaknya ketika publik berhadapan dengan permasalahan politik praktis, yang terjadi adalah menjamurnya sikap caci maki dan saling tebar kebencian antar pendukung. Dengan kata lain, fakta ini membuktikan bahwa pendidikan politik digital di Indonesia sampai saat ini masih dianggap gagal karena belum tersentuh secara maksimal. Sebagai contoh saja, dalam tahapan kontestasi politik 2019, kita bisa melihat kegaduhan politik digital terutama di media sosial lebih disesaki oleh hoaks, ujaran kebencian dan politik kebohongan tanpa lagi memperdulikan nasib rakyat.
Oleh sebab itu ada urgensi pendidikan politik digital, terutama bagaimana cara berkampanye politik yang kreatif dan bijak dimedia sosial. Termasuk bagaimana menjadi buzzer politik yang bisa memberikan pencerahan dan edukasi politik kepada warganet serta generasi milenial. Dengan demikian ada tiga sasaran utama dari urgensi pendidikan politik digital.
Pertama sebagai sarana transformasi pengetahuan politik digital. Pengetahuan ini mengacu pada bentuk konsep, informasi dan pertimbangan faktual, mengenai sistem pemerintahan dan politik. Kedua, merupakan keterampilan intelektual terkait kepiawaian dalam mengambarkan, menginterpretasikan dan menilai fenomena politik digital terutama di media sosial. Kepiawaian ini untuk membatasi terjadinya fanatisme yang berlebihan dari satu kesatuan politik. Ketiga, sarana untuk membangun aktivisme digital. Partisipasi digital ini dapat menjadi bekal warganet untuk memaksimalkan interaksi antar warganet dalam menyusun keputusaan politik dan fenomena yang terjadi.
Fakta ini kian mengonfirmasi bahwa ada kebutuhan yang mendesak terutama pendidikan politik digital bagi upaya menggugah kesadaran politik generasi milenial. Sebab menurut Mohammad Hatta (1980), bila rakyat tak memiliki kesadaran politik, maka rasa tanggung jawabnya akan amat kurang. Artinya, pemerintah dan rakyat harus sama-sama memiliki kepentingan yang sama, sebab pendidikan politik digital harus datang dari kedua belah pihak. Pada satu sisi pemerintah harus dapat memudahkan jalannya pendidikan politik digital dengan mempertinggi kecerdasan umum. Sedangkan dari sisi warganet, pendidikan politik digital sebagai bentuk tanggung jawab utama partai politik dan politisi dalam melakukan transfer kesadaran berpolitik terutama untuk menarik atensi generasi milenial.
Pada akhirnya, harus kita pahami bersama bahwa dalam setiap masa kampanye kontestasi elektoral 2019, tentu akan ada pihak ketiga yang berusaha mengadu adu domba. Salah satunya buzzer politik yang sengaja membuat kampanye politik digital kian banal. Oleh karena itu, akan lebih baik para relawan digital, buzzer politik, influencer dan follower bisa berkampanye dengan kreatif dan santun. Tentunya berkampanye dengan mengedepankan kontestasi adu program dan gagasan antar kandidat. Sehingga pemahaman politik digital terutama terkait kampanye politik di media sosial yang terdistorsi, dapat segera direduksi dari peta kognitif warganet. Dengan begitu, upaya provokasi dan adu domba pihak ketiga tentu bisa diminimalisir. Jika sudah demikian, kontestasi ini akan terlembaga menjadi sebuah bagian pendidikan politik digital yang lebih substansial.