Utamakan Musyawarah Mufakat agar Indonesia Kuat

Utamakan Musyawarah Mufakat agar Indonesia Kuat

- in Narasi
3001
1
Utamakan Musyawarah Mufakat agar Indonesia Kuat

Belakangan kita melihat bagaimana orang-orang gampang saling menyalahkan, menyudutkan, dan bahkan saling mencaci karena perbedaan pendapat. Kehidupan yang semakin dinamis dan persoalan yang kian kompleks, dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang membuat segala ungkapan dan tanggapan gampang terlontar ke publik, telah membentuk satu era baru yang hingar-bingar, bebas, dan rentan menimbulkan pertikaian.

Hari ini kita bisa menyaksikan bagaimana sebagian orang menjadi begitu fanatik terhadap seorang tokoh, suatu kelompok, atau suatu pendapat secara berlebihan sehingga dengan keras kepala terus membelanya dan tak segan menyerang dan memaki orang lain yang sekadar mengkritiknya. Hari ini, perbedaan pendapat dan pemikiran bukan dijadikan ajang bermusyawarah dan bermufakat mencari kebaikan bersama, melainkan dijadikan jalan untuk menyerang, memojokkan, bahkan menendang orang lain yang berbeda.

Prinsip-prinsip musyawarah mufakat yang sebenarnya menjadi salah satu fondasi tegaknya bangsa ini mulai luntur. Bangunan bangsa Indonesia yang kuat, harmonis, dan damai, yang dibangun dari nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, belakangan merapuh. Orang lebih mengedepankan egoismenya ketimbang kebesaran hati untuk berdialog demi mencapai kesepakatan bersama. Kesadaran untuk menyelesaikan suatu persoalan secara musyawarah, dengan berdialog, semakin menipis.

Padahal, nilai-nilai musyawarah mufakat merupakan budaya bangsa kita yang menjadi bagian dari tradisi warisan leluhur. Banyak daerah di Tanah Air memiliki pelbagai istilah atau petuah terkait pentingnya mengedepankan prinsip musyawarah. Di dalam kosakata Jawa, ada istilah “rembug” yang bisa dikatakan semakna dengan musyawarah. Mengutip keterangan Rachmad Krisyantono (2017: 355), orang Jawa mengenal istilah, “yen ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug kanthi ati sing sareh”, yang artinya menyelesaikan permasalahan melalui rembugan atau musyawarah, namun dengan kepala dingin, hati tenang dan pikiran yang jernih.

Adapun dalam budaya minang, lanjut Krisyantono, dikenal istilah, “elok dipakai jo mufakat, buruak dibuang jo rundingan” (yang baik dicapai dengan mufakat, yang buruk dibawa berunding) dan “duduak surang besampik-sampik, duduak besamo belapang-lapang” (duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang). Dari beberapa contoh tersebut, kita melihat bahwa masyarakat kita telah memegang prinsip musyawarah sejak lama. Sejak lama, masyarakat kita punya formula untuk tetap menjaga keharmonisan hidup bersama meski terjadi perselisihan.

Dari kata-kata tersebut, kita tahu bahwa ketika terjadi perselisihan, yang mesti dikedepankan adalah kebesaran hati untuk duduk bersama dan berdialog untuk menemukan kesepakatan. Di samping itu, dalam proses musyawarah, di mana masing-masing pihak yang bertikai berhadapan, harus tetap berada dalam situasi yang damai, sejuk, dengan kepala dingin dan pikiran jernih. Musyawarah yang sebenarnya dilakukan dengan memegang teguh etika komunikasi dan menghargai hak sesama untuk berpendapat.

Kemudian, ketika kesepakatan sudah diputuskan, semua pihak mesti menaati keputusan tersebut. Meski, misalnya, tidak sesuai harapan. Kesadaran dan kebesaran hati menerima setiap keputusan bersama inilah yang saat ini mulai terkikis. Kebijaksanaan untuk mengedepankan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi telah menipis. Padahal, prinsip musyawarah mufakat memang terkadang membutuhkan kebesaran hati dari berbagai pihak untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan bersama yang lebih besar.

Utamakan

Prinsip musyawarah mufakat merupakan tradisi leluhur yang perlu terus dipegang demi menjaga bangsa ini. Sebab, kita tahu, bangsa ini majemuk, di mana masyarakatnya terdiri dari pelbagai macam suku, agama, ras, dan sebagainya, di mana masing-masing memiliki identitas, ciri, karakter, dengan keinginan dan kepentingan berbeda-beda. Tak jarang, perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan gesekan dan konflik. Di sinilah pentingnya prinsip musyawarah mufakat terlihat. Yakni sebagai jalan menyelesaikan pertentangan tersebut secara damai.

Melihat pentingnya prinsip musyawarah mufakat tersebut, kita semakin sadar untuk terus merawat nilai-nilainya dalam kehidupan, terutama ketika terjadi suatu perselisihan. Tentu, prinsip musyawarah mufakat di samping diterapkan dalam sistem demokrasi kenegaraan oleh pemerintah, juga mesti dipraktikkan oleh masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, kita tahu musyawarah mufakat merupakan salah satu poin penting yang terkandung dalam dasar negara kita, yakni dalam sila keempat Pancasila. Itu artinya, prinsip musyawarah mufakat mesti menjadi nilai yang tertanam dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia.

Kita bisa mengutamakan prinsip musyawarah dimulai dari lingkungan masing-masing. Sebagai orang tua, misalnya, kita bisa menanamkannya pada anak-anak dengan selalu membiasakan untuk berdiskusi dan berdialog setiap kali hendak memutuskan sesuatu. Ketika orang tua mengajak anak berdialog, anak akan merasa dihargai dan didengarkan kemauan dan pendapatnya. Jadi, anak belajar tentang bagaimana menyikapi perbedaan secara bijak sejak dini: lewat musyawarah. Begitu juga ketika terjadi pertengkaran atau perselisihan antar individu atau antar kelompok warga yang terjadi di lingkungan kita, maka prinsip musyawarah mesti diutamakan.

Sikap egois, angkuh, keras kepala, pemarah, bahkan anarkis adalah sikap-sikap yang bertolakbelakang dengan prinsip musyawarah mufakat. Jika terus berkembang di masyarakat, sikap-sikap negatif tersebut bisa meretakkan bangunan keharmonisan bangsa. Sebaliknya, sikap-sikap seperti ramah, toleran, dan menghargai hak dan perbedaan, yang merupakan bagian dari spirit musyawarah mufakat, merupakan tiang-tiang penyangga yang akan mengokohkan bangunan bangsa Indonesia selama-lamanya.

Facebook Comments