Wacana revisi UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) telah memantik polemik publik. Sikap pro-kontra pun mengiringi wacana revisi UU ITE yang pertama kali dilontarkan Presiden Joko Widodo tersebut. Kita tahu bahwa selama ini UU ITE memang kerap menimbulkan kontroversi di masyarakat. Implementasi UU ITE kerapkali dianggap sebagai bagian dari pembungkaman kebebasan berpendapat yang mengancam demokrasi. Namun, harus diakui pula bahwa UU ITE masih sangat diperlukan untuk membentengi ruang publik digital kita dari serbuan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah.
Seperti kita tahu, salah satu tantangan terberat ruang publik dunia maya kita hari ini ialah derasnya penetrasi konten dan narasi negatif yang diproduksi dan didistribusikan secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu. Tujuannya ialah memperkeruh suasana dan mendelegitimasi proses demokratisasi secara perlahan. Hari ini kita hidup di abad informasi digital; sebuah era ketika keberlimpahan informasi di dunia maya merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan. Ditemukannya internet dan melejitnya popularitas media sosial telah merevolusi nyaris seluruh lini kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam konteks sosial-politik.
Kehadiran media sosial telah membuka ruang publik baru dimana setiap individu bisa berkomunikasi dan berinteraksi via daring; dimana saja dan kapan saja. Revolusi digital yang kita rasakan selama kurang lebih dua dekade belakangan nampaknya juga berpengaruh pada proses demokratisasi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mengacu pada pemikiran Jurgen Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere setidaknya terdapat tiga kelompok yang saling berebut dominasi dalam ruang publik, yakni kelompok borjuis-kapitalis, kelompok intelektual dan kelompok masyarakat sipil (umum). Ketiganya saling melancarkan strategi untuk menjadi “penguasa” ruang publik dan saling menghegemoni satu sama lain. Kontestasi ketiga kelompok itu menurut Habermas merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
Analisa Habermas itu kiranya relevan dengan situasi ruang publik digital kita hari ini, dimana terjadi kontestasi antara kaum borjuis pemilik modal finansial, kaum intelelektual yang berpunya modal sosial serta masyarakat umum. Ironisnya, kontestasi ketiga kelompok tersebut acapkali masih diwarnai oleh corak komunikasi yang mengedepankan arogansi. Akibatnya, ruang publik digital kita menjadi tidak sehat. Kaum borjuis dengan modal finansialnya kerap menghegemoni ruang publik digital dengan isu dan narasi yang hanya mendukung kepentingannya. Demikian pula, kaum intelektual atau aktivis kerap kali terjebak dalam kritik yang bercorak destruktif, alih-alih konstruktif. Parahnya lagi, masyarakat awam pun kerap dengan mudahnya termakan hasutan, hoaks, dan provokasi yang menjurus perpecahan.
Dalam konteks ini, kontroversi seputar penerapan UU ITE sebenarnya hanyalah bagian kecil dari problem besar dalam ruang publik digital kita. UU ITE seolah ada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, ia dibutuhkan sebagai piranti hukum untuk melawan fenomena hoaks dan ujaran kebencian. Namun, di sisi lain ia kerap dijadikan sebagai alat kaum borjuis untuk menggebuk kaum intelektual-aktivis atau masyarakat umum yang kritis dan mengganggu kepentingan mereka. Situasi yang runyam inilah kita hadapi saat ini. Maka, wacana revisi UU ITE idealnya kita pahami dalam bingkai agenda membangun eksosoistem ruang publik daring yang demokratis.
Lantas, bagaimana caranya? Hal pertama yang perlu dilakukan ialah memberikan interpretasi yang jelas atas pasal-pasal dalam UU ITE yang selama disinyalir sebagai pasal karet dan multitafsir. Keberadaan pasal karet yang multitafsir, utamanya terkait pencemaran nama baik dan penghinaan ini potensial menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk membungkam kebebasan berpendapat kelompok lainnya. Menyusun interpretasi yang jelas dan baku ihwal pasal karet dan pasal multitafsir dalam UU ITE jauh lebih relevan dengan problem yang saat ini mengemuka di lapangan.
Langkah kedua ialah membangun sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk membangun ekosistem ruang publik daring yang demokratis. Meminjam analisis Habermas, ruang publik diklasifikasikan ke dalam dua corak, yakni corak minimalis (minimalism of public sphere) dan corak maksimalis (maximalism of public sphere). Ruang publik minimalis ialah ruang publik yang dangkal, tidak demokratis dan hanya dikuasai oleh satu pihak saja (kaum borjuis, intelektual atau masyarakat umum). Sedangkan ruang publik maksimalis ialah ruang publik yang demokratis dimana semua pihak memiliki otoritas yang sejajar dan menjalin relasi dengan mengedepankan sikap kesalingpemahaman (mutual understanding).
Mewujudkan ekosistem ruang publik daring yang demokratis pada dasarnya ialah menciptakan ruang publik maksimalis, yang mampu menampung aspirasi seluruh elemen masyarakat, baik kaum borjuis, intelektual-aktivis maupun masyarakat umum. Di dalam ekosistem ruang publik yang demokratis, semua isu atau wacana sosial, politik, hukum, ekonomi, agama, budaya dan lain sebagainya bebas dikontestasikan secara terbuka, namun bebas dari prasangka dan kebencian.
Jika kontestasi wacana itu menimbulkan gesekan atau ketegangan, maka penyelesaiannya cukup melalui mekanisme komunikasi publik, dan tidak perlu menempuh jalur hukum. Gesekan atau ketegangan yang lahir dari proses pertukaran ide dan gagasan dalam ekosistem ruang publik daring idealnya dipahami sebagai dinamika yang niscaya. Jangan sampai, kontestasi ide dan gagasan itu menimbulkan ketersinggungan yang berujung pada pemidanaan apalagi kriminalisasi. Dengan terciptanya ruang publik daring yang demokratis, maka banjir hoaks dan ujaran kebencian kiranya bisa ditekan ke angka paling minimal. Demikian pula, budaya saling lapor karena sentimen ketersinggungan kiranya juga akan hilang dengan sendirinya.