Sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia mengidentifikasi ciri manusia Indonesia ke dalam sejumlah karakter. Antara lain, munafik, tidak bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik dan lemah karakternya. Barangkali itu hanyalah bentuk sinisme dari seorang Mochtar Lubis.
Namun, jika dilihat dalam kacamata yang obyektif, identifikasi itu bisa jadi ada benarnya juga. Apalagi dalam kondisi saat ini, sinisme Mochtar Lubis itu agaknya tetap relevan. Terlebih dalam konteks kehidupan sosial, politik, dan keagamaan. Pasca Reformasi, kita melihat bangsa kita kian jauh dari identitas aslinya sebagai bangsa Indonesia yang dikenal santun, ramah, dan toleran.
Di ranah sosial, kita melihat sendiri tergerusnya budaya kolektivisme oleh budaya individualisme dan pragmatisme. Budaya gotong royong yang telah menjadi semacam cultural-DNA masyarakat Indonesia perlahan mulai punah. Bahkan, masyarakat pedesaan pun kini terbiasa hidup individualis.
Di ranah politik, kita mengalami defisiti etika yang luar biasa. Baik di kalangan elite maupun masyarakat. Di level elite, politik semata dipahami sebagai perebutan dan bagi-bagi kekuasaan. Sedangkan di level publik, politik ditafsirkan ke dalam aktivitas dukung-mendukung secara fanatik.
Di ranah keagamaan, kondisinya tidak lebih baik. Citra Islam Indonesia yang toleran, inklusif, dan moderat mulai luntur. Kini, wajah Islam Indonesia lebih kerap menampilkan citra konservatif bahkan radikal. Pendek kata, di ranah sosial, politik, dan keagamaan bangsa Indonesia tengah mengalami semacam dekadensi moral.
Dekadensi Moral dan Suburnya Budaya Kekerasan
Fenomena dekadensi moral itu salah satunya mewujud ke dalam meningkatnya praktik kekerasan. Sejak awal era Reformasi hingga saat ini, fenomena kekerasan di ranah sosial, politik, dan agama seolah tidak pernah surut. Di sebagian kelompok masyarakat, kekerasan masih dianggap sebagai mekanisme paling efektif untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, dalam konteks masyarakat yang beradab, penyelesaian masalah dengan cara kekerasan idealnya dieliminasi.
Iklim demokrasi dan kebebasan ruang publik yang dihadiahkan oleh Reformasi nyatanya melahirkan corak masyarakat yang terfragmentasi (fragmented society). Yakni masyarakat yang hidup dalam ruang-ruang yang dibatasi oleh keegoisan (selfishness). Puncaknya, kita hidup dalam suasana yang tidak manusiawi karena tercerabut dari akar budaya luhur kita sendiri.
Di tengah kian masifnya kultur kekerasan itulah, gagasan tentang rehumanisasi manusia Indonesia menjadi penting. Rehumanisasi ialah proses memanusiakan kembali alias mengembalikan aspek kemanusiaan yang sempat terkikis karena arus egoisme sosial, politik, dan agama. Rehumaniasi ini penting untuk mengembalikan manusia Indonesia ke akar budayanya yang humanis dan anti-kekerasan.
Pentingnya Vaksinasi Ideologi dan Rehumanisasi Bangsa
Rehumanisasi ialah proses psikologis dan sosilogis jangka panjang, bukan semata perkara teknis yang instan. Maka dari itu, diperlukan upaya dekonstruksi ideologis yang mampu mengubah cara pandang masyarakat. Di titik inilah, gagasan vaksinasi ideologi yang digaungkan BNPT menjadi urgen dan relevan. Vaksinasi ideologi ala BNPT terbagi ke dalam lima poin pokok.
Yakni transformasi wawasan kebangsaan, revitalisasi nilai-nilai Pancasila, transformasi moderasi beragama, transformasi akar kebudayaan bangsa, dan transformasi pembangunan kesejahteraan. Ada setidaknya tiga hal penting yang patut kita cermati dari agenda vaksinasi ideologi ala BNPT ini.
Pertama, vaksinasi ideologi BNPT yang mewujud ke dalam lima agenda pokok memiliki sifat yang komprehensif alias menyeluruh. Lima poin vaksinasi ideologi itu kiranya telah mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa, mulai dari sosial, budaya, politik, agama hingga ekonomi. Ini artinya, vaksinasi ideologi BNPT ini bersifat holistik, alih-alih parsial.
Kedua, kata kunci dari agenda vaksinasi ideologi ini ialah transformasi yang bermakna perubahan ke arah lebih baik. Ini artinya, vaksinasi ideologi tidak berorientasi untuk mengganti ideologi dan konstitusi bangsa, melainkan justru memperkuatnya dalam berbagai aspek. Transformasi sebagai kata kunci dalam vaksinasi ideologi ini menjadi penting. Mengingat belakangan ini muncul upaya untuk mendekonstruksi (merombak) ideologi bangsa secara total.
Ketiga, secara momentum vaksinasi ideologi ini juga tepat mengingat saat ini kita tengah menghadapi tahun politik yang panas. Dinamika politik nasional acapkali tidak hanya melahirkan friksi di tengah masyarakat. Namun juga menjadi ajang bangkitnya ideologi anti-kebangsaan seperti ekstremisme dan terorisme. Maka, gagasan vaksinasi ideologi di tahun politik merupakan semacam anti-dote alias penawar bagi racun-racun ideologis yang memecah-belah bangsa.
Gagasan tengang vaksinasi idoelogi kiranya bisa mendorong terwujudnya agenda rehumanisasi bangsa. Melalui vaksinasi ideologi, diharapkan bangsa ini mampu kembali ke karakter luhurnya sebagai manusia yang humanis dan anti-kekerasan. Dengan begitu, masyarakat akan bebas dari kultur egoisme juga nalar ekstremisme yang menggerogoti eksistensi bangsa dari dalam.