Pemilihan Umum 2024 telah usia digelar dengan nisbi lancar, aman, dan kondusif. Sebagian besar masyarakat secara antusias memberikan hak suaranya. Rekapitulasi perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang masih berjalan.
Namun, dari hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, kita sudah bisa mengetahui siapa pemenang Pemilu dan Pilpres kali ini. Ironisnya, di tengah situasi “cooling down” pasca Pemilu dan Pilpres 2024 ini, media sosial justru diramaikan oleh beragam narasi provokatif.
Antara lain narasi yang menyebut adanya kecurangan secara terstruktur, masif, dan sistematis pada Pemilu dan Pilpres 2024. Narasi itu pun mengerucut pada propaganda boikot atau menolak hasil Pemilu dan Pilpres 2024 karena dianggap tidak sah. Beragam narasi itu tidak lain merupakan upaya delegitimasi terhadap hasil Pemilu.
Delegitimasi Pemilu adalah upaya membangun opini publik bahwa penyelenggaraan Pemilu diwarnai praktik kotor dan harus ditolak. Delegitimasi hasil Pemilu ini tidak hanya diembuskan oleh kelompok yang kalah dalam Pemilu atau Pilpres. Yang lebih berbahaya dari itu adalah ketika delegitimasi hasil Pemilu justru digaungkan oleh kelompok radikal-ekstrem.
Tiga Bahaya Delegitimasi Pemilu
Upaya delegitimasi Pemilu terutama yang datang dari kalangan radikal-ekstrem jelas tidak bisa dianggap sepele. Tersebab, narasi itu bisa berimplikasi pada sejumlah hal. Antara lain, pertama hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Ketidakpercayaan publik pada dua lembaga itu tentu berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pemilu.
Kedua, delegitimasi hasil Pemilu berdampak pada kecurigaan bahkan kebencian masyarakat terhadap pemimpin dan pemerintahan yang sah. Hal ini jelas berbahaya karena berpotensi memantik sentimen pembangkangan sosial.
Ketiga, delegitimasi hasil Pemilu berpotensi menimbulkan kekosongan pemerintahan, karena para anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden yang terpilih tidak bisa segera dilantik. Kekosongan pemerintahan adalah sebuah kondisi yang kritis bagi sebuah negara, karena rawan diwarnai oleh kerusuhan. Bayangkan saya, sebuah negara sebesar Indonesia harus mengalami kekosongan pemerintahan, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi?
Untuk mencegah semua itu terjadi, kita perlu menolak dan melawan segala narasi delegitimasi hasil Pemilu dan Pilpres. Semua faksi politik yang bertarung di Pemilu dan Pilpres 2024 idealnya taat konstitusi.
Dalam artian, mereka harus menunggu hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU yang secara resmi akan diumumkan paling lambat 35 hari sejak hari pencoblosan. Di masa itu, para elite politik maupun simpatisan capres-cawapres idealnya tidak mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan provokatif.
Selanjutnya semua pihak, mulai dari elite politik, tokoh agama, dan masyarakat harus menerima hasil akhir perhitungan suara Pemilu oleh KPU. Hasil akhir Pemilu dan Pilpres mustahil memuaskan semua pihak.
Ancaman Kekerasan dan Disintegrasi Pasca Pemilu
Demokrasi selalu menyisakan dua kemungkinan; menang atau kalah. Yang memang tidak boleh sombong apalagi arogan. Demikian pula, yang kalah tidak harus berkecil hati apalagi frustasi. Kalah dan menang dalam demokrasi adalah keniscayaan yang harus diterima dengan legawa dan lapang dada.
Ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar kemenangan elektoral. Yakni keutuhan integrasi bangsa. Persatuan bangsa yang dibangun di atas nilai persaudaraan dan kemanusiaan jauh lebih mahal nilainya ketimbang isu politik elektoral yang sarat kepentingan sesaat.
Presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif bisa diganti melalui mekanisme lima tahunan. Namun, relasi kebangsaan kita bukanlah isu musiman yang bisa dibongkar pasang. Sekali ikatan persaudaraan kebangsaan itu rapuh, maka risiko besar tengah mengancam.
Masa-masa pasca Pemilu biasanya menjadi fase paling rawan bagi bangsa dan negara. Di masa itu akan banyak narasi propaganda dan provokasi yang bertujuan memecah belah masyarakat dan mengadu-domba rakyat sipil dan pemerintah.
Propaganda dan provokasi yang masif disebar di media sosial bisa menyulut sentimen kekerasan jalanan. Kita tentu masih ingat demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 di depan kantor pusat Bawaslu yang ditunggangi kelompok perusuh.
Eskalasi kekerasan berpotensi meluas dan mengancam integrasi bangsa. Arkian, masa pasca Pemilu ini menjadi fase krusial untuk kita meneguhkan prinsip persaudaraan dan kemanusiaan. Sekali lagi, kita berharap semua pihak menerima hasil Pemilu.
Tidak ada Pemilu yang sempurna di dunia ini. Setiap proses demokrasi pasti diwarnai kontroversi dan polemik. Hajatan politik seperti Pemilu dan Pilpres yang diadakan setiap lima tahun sekali adalah bagian dari konsolidasi demokrasi agar sistem itu kian sempurna.