Waspada Jihad Palsu!

Waspada Jihad Palsu!

- in Keagamaan
3309
0

Tak bisa dipungkiri, jihad merupakan salah satu ajaran resmi agama Islam. Mengingkari ajaran jihad dipastikan merusak keimanan dan keislaman seseorang. Tak bisa diingkari pula, jihad dengan makna perang adalah hal yang sharih (jelas) terpampang dalam Alquran dan hadits Nabi. Meskipun juga diketahui jihad dalam makna yang lebih luas dalam arti bersungguh-sungguh melakukan perbuatan baik eksis pula dalam kitab suci.

Jihad fii sabilillah dalam makna perang melawan musuh demi kejayaan Islam membutuhkan pengorbanan yang luar biasa mahal. Sejumlah ayat Alquran dengan jelas meminta pengorbanan harta dan jiwa dalam perintah jihad. Alquran menyebut orang-orang yang enggan berjihad saat dibutuhkan sebagai orang munafik dan tidak memiliki kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. At Taubah: 86 & 88). Karena itulah tak mengherankan jika Allah berjanji membalas dengan balasan terbaik bagi mereka yang bersedia berjihad.

Rasulullah Muhammad saw mendambakan hidup dalam totalitas jihad. Beliau disebutkan pernah menyampaikan angannya bahwa ia ingin hidup dan berperang di jalan Allah hingga terbunuh, dan jika terbunuh ia berharap dihidupkan lagi untuk kembali berperang, begitu seterusnya (HR. Muslim). Sekali lagi itu menandakan bahwa jihad adalah mulia dimana setiap Muslim harus berada di jalan jihad sepanjang hidupnya.

Karena jihad adalah ajaran mulia dan tinggi di sisi Tuhan, dan mengorbankan hal paling mendasar dari kehidupan manusia: nyawa dan harta, maka perintah ini Allah sampaikan secara hati-hati dan serius. Keseriusan Islam dalam hal ini tampak pada sejumlah aturan yang mengikat pada implementasi jihad. Maksudnya adalah agar ‘kaum jihadis’ mengindahkan tuntunan moral etik agama meskipun dalam keadaan perang, bukan justru membenarkan tindakan ekstrim –seperti membunuh- atas nama jihad.

Ironisnya, ajaran Jihad fii sabilillah justru mengalami banyak distorsi dalam beberapa dekade terakhir. Distorsi itu terjadi bukan saja pada penyempitan makna dengan menganggap perang melawan musuh sebagai satu-satunya definisi jihad, melainkan pada implementasi lapangannya. Nampaknya jihad kini mulai dirusak oleh tampilan-tampilan kotor para pelakunya sehingga tujuan kemuliaan dalam berjihad terabaikan.

Mereka kira membunuh masyarakat sipil yang tidak ikut berperang adalah bagian dari jihad. Mereka kira memperkosa wanita dan memperlakukan mereka sebagai budak seks dibenarkan dalam keadaan jihad. Mereka kira membunuh musuh dengan cara kejam, seperti menyembelih dan menyiksa mayat yang jelas sudah mati dengan rentetan peluru, dibenarkan dalam hukum perang jihad. Padahal tidak!

Dalam Surat Al-Anfaal ayat 39, Alquran mengintruksikan jihad untuk tujuan menghilangkan fitnah. Fitnah dalam definisi Alquran bukanlah berita bohong sebagaimana dipahami dalam bahasa Indonesia, melainkan kekacauan dan kekejaman kemanusiaan yang ditimbulkan oleh musuh. Pada konteks turunnya, ayat ini adalah respon terhadap musuh kafir Mekah yang menyerang kedamaian umat Islam di Madinah. Para musuh itu gemar menyiksa, menteror, dan mengusir orang-orang Islam dari tempat tinggalnya.

Jika demikian, dari ayat ini bisa ditarik kesimpulan bahwa jihad sesungguhnya adalah wasiilah (cara) untuk mencapai ghoyah (tujuan). Ghoyah dalam konteks jihad adalah pengentasan kekejaman kemanusiaan dan kerusakan sosial yang timbulkan oleh musuh, bukan justru menimbulkan kekacauan baru dan kerusakan dimana-mana. Wasiilah dan ghoyah harus sesuai dengan tuntunan syariah Islam, sehingga pahala besar jihad tetap didapat.

Para ulama Islam di setiap zaman bersepakat (ijma’) mendahulukan mencegah kekacauan ketimbang mendatangkan kemaslahatan (dar’u al mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih), meski kemaslahatan itu dalam bentuk perintah wajib. Alquran misalnya mencontohkan pelarangan khamr (barang memabukkan) dengan pertimbangan kerusakan yang disebabkan olehnya, meskipun diakui di sisi lain khmar punya manfaat (QS. Al Baqarah: 219).

Bagaimana dengan jihad yang dikumandangkan oleh kelompok jihadis ISIS dan kroni Al Qaeda lainnya di timur tengah sana? Tentu saja siapapun dengan mudah menemukan mafsadat dan fitnah (kerusakan dan kekacauan) yang mereka timbulkan jauh lebih tampak dan nyata dibanding manfaatnya. Pertimbangan antara mafsadat dan maslahat itupun hanya boleh dilakukan jika aksi mereka dikategorikan sebagai jihad. Sementara pada kenyataannya aksi kelompok turunan Al Qaeda seperti ISIS ini justru dinilai secara ijma’ (menyeluruh) oleh ulama Islam sebagai teror dan bughat (makar). Jika demikian tentu saja secara syar’i tidak ada alasan satupun yang membenarkan bergabung dalam jihad konyol ala mereka!

Bagaimana mungkin jihad konyol dalam bentuk teror yang belakangan terjadi di berbagai belahan dunia dapat disebut sebagai jihad. Dari berbagai sudut bisa disaksikan dengan jelas bahwa aksi-aksi kekejaman mereka melibatkan warga sipil (perempuan, orang tua renta, bahkan anak-anak yang tidak bersenjata). Mereka melakukan dengan memberondong peluru ke segala arah, membom ke semua tempat, tanpa diketahui mana sipil mana bukan sipil. Dalam pandangan Alquran mereka bisa disebut sebagai orang-orang yang ‘melampaui batas’ dalam berjihad sebagaimana dimaksud dalam Surat Al Baqarah ayat 190 dan banyak hadits Nabi (Al Bukhari No. 2528, Abu Dawud No. 2614 dan 2672, Imam Ahmad No. 488, dan sebagainya).

Itu baru dari satu sisi pelibatan sipil dalam perang, belum lagi perusakan rumah ibadah dan bangunan yang dilakukan para jihadis palsu itu. Apakah masih layak mereka disebut sedang berjihad? Tentu jawabnya adalah mengikuti ijma’ ulama, mereka tidak berjihad. Kalau begitu, kita saja yang berjihad, yaitu dengan cara mencegah perluasan paham jihad konyol ala mereka dan meluruskan pemahaman agama kaum muslim soal terminologi jihad. Insya Allah!

Facebook Comments