Wawasan Nusantara Sebagai Imajinasi Kolektif Bangsa

Wawasan Nusantara Sebagai Imajinasi Kolektif Bangsa

- in Narasi
550
0
Wawasan Nusantara Sebagai Imajinasi Kolektif Bangsa

Sejarawan populer Yuval Noah Harari dalam bukunya yang paling banyak dibaca sekaligus dikutip “Sapiens” menyebut bahwa manusia membangun ikatan sosial dengan dua motode yakni gosip dan fiksi. Gosip ialah perbincangan tentang hal-hal faktual di sekitar kita, terutama yang terkait dengan kebutuhan riil seperti makanan, rasa senang dan rasa aman. Gosip, menurut Harari mampu mengikat maksimal 150 orang dalam sebuah ikatan sosial yang solid.

Jika jumlahnya lebih dari 150 orang, gosip tidak lagi sanggup mengikat manusia dalam ikatan sosial yang solid. Di sinilah fiksi lantas berperan. Manusia dimungkinkan memiliki kesetiaan pada kelompok yang terdiri atas ribuan, jutaan bahkan milyaran orang karena mereka membangun kepercayaan pada fiksi yang sama. Fiksi ini dapat berupa ideologi, gagasan kebangsaan atau agama.

Jauh sebelum Harari, sosiologi Ernest Renant pernah menyusun satu teori tentang ikatan kebangsaan. Menurut Renant, ikatan kebangsaan yang kuat harus dilandasi tidak hanya oleh perasaan senasib dan sepenanggungan, namun juga imajinasi kolektif yang mampu menyatukan berbagai entitas yang ada dalam bangsa tersebut. Bangsa yang memiliki cita-cita bersama akan kehidupan yang lebih baik niscaya akan memiliki ikatan yang lebih solid. Sebaliknya, bangsa yang tidak memiliki atau kehilangan cita-cita kolektifnya, besar kemungkinan akan menemui kehancuran.

Apa yang disampaikan oleh Harari maupun Renant pada dasarnya adalah sebuah pesan penting. Yakni bahwa ikatan sosial yang melibatkan ribuan atau jutaan orang membutuhkan sebuah perekat yang tidak tampak alias imajiner namun mampu membangkitkan semangat rasa saling memiliki (sense of belonging) antar-sesama anak bangsa. Sebuah bangsa membutuhkan kesamaan ideologi, gagasan dan cita-cita bersama sebagai alat pemersatu sekaligus penuntun jalan menuju masa depan.

Baca Juga :Mendamaikan Pancasila dan Syariat Agama

Rumus yang sama tentunya juga berlaku bagi bangsa Indonesia; bangsa yang besar, kaya akan tradisi, budaya dan agama yang beranekaragam. Di satu sisi, keanekaragaman budaya dan agama itu tentu merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun, di sisa lain perbedaan agama dan budaya itu juga potensial memicu perpecahan sesama anak bangsa.

Krisis Identitas Kebangsaan

Ironisnya, unsur kedua itulah yang saat ini tampaknya lebih dominan. Sebagai bangsa yang besar dan kaya akan tradisi, budaya dan agama, Indonesia hari ini tengah ada dalam krisis identitas. Dari luar, bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan terkait globalisasi, serta infiltrasi ideologi asing yang merongrong eksistensi bangsa. Sementara dari dalam, kita mengalami semacam krisis orientasi. Kita kehilangan imajinasi kolektif yang mampu menyatukan kita dalam satu tujuan dan cita-cita bersama.

Hilangnya imajinasi kolektif itu tampak jelas dalam gejala-gejala sosial-politik yang dalam beberapa tahun ini mengemuka di ruang publik kita. Di ranah sosial, hilangnya imajinasi kolektif itu termanifestasikan ke dalam fenomena renggangnya ikatan sosial seiring dengan menguatnya individualisme. Rasa saling memiliki antar sesama anak bangsa perlahan mulai memudar tergantikan dengan sentimen individualisme yang mengental.

Di ranah politik pun demikian adanya. Panggung politik nasional hari ini sepenuhnya berisi praktik politik kekuasaan yang hanya berorientasi pada kekusaan. Segala cara dilakukan para elite politik demi meraih tujuannya, yakni kekuasaan. Politik identitas yang mengeksploitasi sentimen identitas keagamaan dan kesukuan diumbar habis-habisan. Konsekuensinya, seperti kita saksikan saat ini, publik terpolarisasi akibat perbedaan pilihan politik.

Sedangkan di ranah keagamaan, kondisinya juga tidak lebih baik. Agama yang sesungguhnya berisi ajaran tentang kasih sayang, perdamaian dan kemanusiaan hari-hari belakangan ini jutru lebih sering tampil dengan wajah garang, intoleran dan tidak ramah pada perbedaan. Agama yang idealnya bisa menjadi pemersatu bangsa dalam banyak kesempatan justru memicu munculnya gesekan dan konflik sosial.

Semua persoalan sosial, politik dan agama itu mirip seperti bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan meluluhlantakkan eksistensi bangsa Indonesia. Dan, sebelum hal itu terjadi kita perlu mengambil langkah preventif. Salah satunya dengan merajut kembali imajinasi kolektif yang diharapkan mampu mempersatukan kembali entitas bangsa Indonesia yang mulai tercerai-berai. Jika kita merujuk pada gagasan-gagasan konstutisional, maka konsep tentang wawasan nusantara kiranya relevan dijadikan sebagai imajinasi kolektif bangsa.

Spirit Perubahan Sosial

Wawasan nusantara ialah sebuah paradigma atawa cara pandang untuk melihat individu dan lingkungan sosial dengan berdasar pada Pancasila, 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika. Wawasan nusantara dalam hal ini mencakup urusan ideologi bangsa, wilayah teritorial, sistem politik, mekanisme ekonomi hingga relasi sosial. Ini artinya, semua elemen bangsa harus bersama-sama menjaga keutuhan Indonesia, baik dalam hal wilayah teritorial, ideologi sampai keutuhan bangsa dalam konteks sosio-budaya. Ironisnya, dalam beberapa tahun belakangan energi bangsa justru dihabiskan untuk menghadapi persoalan yang berkutat pada kepentingan kelompok, golondan, partai, suku, daerah dan agama yang cenderung bersifat parsial, sempit, eksklusif dan artifisial. Alhasil, urusan-urusan yang bersifat fundamental dan subtansial justru lebih sering terabaikan.

Energi politik kita habis untuk mengurusi politik kekuasaan yang berorientasi pada capaiaan-capaian pragmatistik. Energi sosial kita juga tandas untuk mengurusi hal-hal artifisial dan cenderung bernuansa ego-sektoral atau kelompok. Sementara energi keagamaan kita habis untuk saling mengunggulkan klaim kebenarannya masing-masing. Maka, tidak mengherankan apabila bangsa Indonesia terperangkap ke dalam egosentrisme, yang mendewakan diri sendiri dan menafikan keberadaan liyan.

Sebelum kondisi bangsa kita benar-benar parah dan tidak bisa diselamatkan, kita perlu menginisasi perubahan sosial secara radikal. Kita patut mengubah kecenderungan destruksi yang selama ini kita pelihara menjadi semangat untuk melakukan rekonstruksi sosial. Kita perlu mencari peluang-peluang masa depan dengan memikirkan kembali visi, skenario dan langkah-langkah untuk mencapainya. Disinilah letak pentingya wawasan nusantara sebagai imajinasi kolektif bangsa.

Semua elemen banga tentu bebas memiliki cita-cita dan imajinasi tentang masa depannya. Namun, semua itu harus ada dalam bingkai besar wawasan nusantara yang bertumpu pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika. Sebagai bangsa yang besar, kita perlu menghimpun imajinasi kolektif berdasar wawasan nusantara itu sebagai modal sosial untuk membangun bangsa. Imajinasi kolektif itulah yang akan menyatukan kita ke dalam satu ikatan kebangsaan yang solid dan tidak termakan oleh usia.

Kini dunia memasuki apa yang disebut sebagai era kompetisi sekaligus kolaborasi. Di satu sisi, negara-negara di dunia dituntut untuk mampu bersaing menjadi yang terbaik di semua sektor. Namun, di sisi lain, negara-negara di dunia juga diharuskan mampu bersinergi dan bekerjasama menghadapi berbagai tantangan global.

Dalam situasi yang demikian ini, menang atau kalahnya sebuah negara dalam percaturan global ditentukan salah satunya oleh kemampuan memprediksi masa depan sekaligus menyusun visi untuk menghadapi proyeksi masa depan tersebut. Negara-negara Barat (Eropa dan Amerika) telah terlebih dahulu mengecap manisnya kemajuan peradaban. Kini, negara-negara berkembang mulai menapaki jalan menuju kejayaan. Misalnya China dan India yang telah masuk ke dalam jajaran negara paling berpengaruh di dunia. Kini tinggal momentum Indonesia untuk menapaki jalan yang telah negara-negara tersebut lalui.

Kita patut optimis, imajinasi kolektif yang bertumpu pada konsep wawasan nusantara mampu mengantarkan kita pada kemajuan peradaban. Sepanjang dilakukan dengan hati terbuka dan kemauan terbuka, maka visi ke depan untuk Indonesia maju akan dengan mudah ditetapkan. Dengan segenap potensi yang ada, kita berusaha membangun generasi bantu Indonesia yang lebih baik. Generasi yang mampu mandiri, penuh percaya diri dan mampu membawa Indonesia lebih sejahtera dan lebih ramah bagi seluruh entitas yang bermukim di dalamnya. Semoga!

Facebook Comments