Residu Globalisasi, Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara

Residu Globalisasi, Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara

- in Narasi
1207
1
Residu Globalisasi, Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara

Memasuki Abad ke-20 dunia dihadapkan pada fenomena globalisasi. Secara sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai kondisi ketika kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi telah meruntuhkan sekat-sekat sosiologis dan ideologis antar-negara dan bangsa di dunia.

Di era globalisasi, sebuah gagasan, pemikiran maupun produk budaya dimungkinkan untuk menyebar di seluruh penjuru dunia. Globalisasi menandai berakhirnya batas-batas geografis dan sosiologis antar-bangsa lantaran semua masyarakat di dunia menjadi satu kesatuan wargadunia (world citizens).

Fenomena globalisasi dicirikan oleh setidaknya tiga hal. Pertama, di ranah sosial terjadinya perubahan konsep, paradigma dan cara pandang masyarakat dunia. Hal ini disebabkan oleh terjadinya akulturasi budaya antarbangsa yang terjadi karena terbukanya akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi.

Kedua, dari sisi ekonomi globalisasi dicirikan dengan sistem kapitalisme yang bertumpu pada logika pasar bebas. Ekonomi kapitalisme-pasar bebas ini mengejawantah ke dalam kemunculan pasar saham dan perusahaan-perusahaan multi-nasional (multi-national corporate).

Ketiga, secara politik globalisasi dicirikan dengan kian demokratisnya negara-negara di dunia. Hal ini merupakan imbas dari agenda negara-negara Barat yang gencar mempromosikan sistem demokrasi ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara miskin dan berkembang yang masih bertahan dengan sistem otoritarianisme.

Melemahnya Nasionalisme dan Renggangnya Ikatan Kebangsaan

Namun, di sisi lain globalisasi juga menyisakan banyak residu persoalan. Salah satunya ialah kian lunturya jati diri dan karakter bangsa lantaran tergerus arus budaya global. Hal ini dirasakan oleh banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Kita menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia saat ini cenderung tidak lagi bangga akan identitas keindonesiaannya. Sebagian besar masyarakat Indonesia lebih suka mengindentifikasi diri dengan kebudayaan lain yang diklaim lebih modern atau lebih relijius.

Baca Juga :Laut yang Menyatukan Kita

Lebih parah lagi, arus globalisasi yang deras menerpa Indonesia sejak era tahun 1980-an itu telah membuat bangsa Indonesia abai pada elemen pokok kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bineka Tunggal Ika. Hal ini terjadi di nyaris semua kalangan. Di ranah intelektual, para cendekiawan kita agaknya lebih fasih mengutip pemikiran-pemikiran modern Barat ketimbang menggali tradisi pemikiran para leluhur bangsa.

Di ranah keagamaan pun demikian. Kian banyak para pemuka dan tokoh agama yang berupaya memisahkan antara nilai agama dan nilai keindonesiaan. Sebagian tokoh dan pemuka agama itu menganggap budaya Indonesia bertentangan dengan ajaran agama yang mereka yakini. Nalar dikotomistik yang demikian ini lantas membuat agama dan negara seolah-olah saling berseberangan dalam narasi konfliktual.

Lunturnya jati diri bangsa yang dibarengi dengan melemahnya nasionalisme di sebagian besar masyarakat Indonesia adalah sebuah preseden buruk. Jika dibiarkan berlarut, hal itu akan berdampak langsung pada retaknya benteng ketahanan nasional. Seperti kita tahu, ketahanan nasional merupakan kemampuan sebuah bangsa dalam menjaga eksistensinya dan membendung pengaruh asing yang potensial mengancam keutuhan bangsa.

Lemahnya ketahanan nasional itu tampak jelas dalam beberapa gejala. Dari sisi eksternal, nyaris seluruh aspek kehidupan sosial, politik dan keagamaan masyarakat Indonesia hari ini tidak terlepas dari intervensi atau infiltrasi kepentingan asing. Kita tidak lagi menjadi bangsa yang mandiri dan berdikari seperti pernah dicita-citakan oleh Bapak Revolusi, Ir. Sukarno. Sedangkan dari sisi internal, kita tengah menghadapi berbagai persoalan sosial yang muncul akibat meningkatkan sentimen identitas kesukuan dan keagamaan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Akibatnya, relasi sosial di tengah masyarakat Indonesia pun mulai merenggang dan potensial menjadi konflik sosial. Di lapangan, kita melihat sendiri praktik intoleransi, kekerasan dan radikalisme atas nama agama kian menjadi-jadi dan ironisnya kerap disikapi secara permisif.

Melemahnya nasionalisme dan kerawanan ketahanan nasional merupakan perkara serius yang perlu segera ditangani. Di tengah perang kepentingan global seperti saat ini, ketahanan nasional di bidang ekonomi, sosial dan politik merupakan prasyarat penting bagi eksistensi sebuah negara. Terlebih bagi Indonesia, negara dengan kekayaan alam melimpah yang kerap jadi ajang perang kepentingan sejumlah pihak. Tanpa ketahanan nasional yang kokoh, Indonesia akan dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan asing.

Reinterpretasi Wawasan Nusantara

Untuk itulah, penting kiranya kita mengangkat kembali diskursus wawasan nusantara yang selama ini kadung dianggap usang. Wawasan Nusantara menurut definisi Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) ialah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri sendiri dan lingkungan yang beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan.

Wawasan nusantara dengan demikian merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional yang harus selaras dengan ideologi Pancasila, konsep NKRI, aturan UUD 1945 dan prinsip Bineka Tunggal Ika. Lantas, bagaimana kita mengimplementasikan wawasan nusantara di tengah arus deras globalisasi yang telah melemahkan nasionalisme dan ikatan kebangsaan? Di sinilah pentingnya kita memahami ulang wawasan nusantara agar relevan dengan dinamika zaman.

Dari segi politik, konsep wawasan nusantara harus diterjemahkan ke dalam sebuah kebijakan politik luar negeri yang partisipatif-kritis. Cara pandang kita dalam melihat perkembangan dunia global haruslah rasional, kritis dan partisipatif. Ini artinya, kita harus bersikap terbuka terhadap modernitas dan globalisasi, namun di saat yang sama kita juga perlu bersikap kritis.

Kita tentu membutuhkan peran asing, baik dalam hal pemikiran, modal maupun sumber daya manusia untuk bisa menjalankan roda pembangunan nasional. Namun, itu tidak lantas berarti bahwa kita harus menggadaikan negara kepada pihak asing. Kita harus menjadikan globalisasi sebagai peluang untuk memaksimalkan potensi bangsa, sembari tetap waspada akan ancaman yang ada di baliknya.

Dari segi sosial, konsep wawasan nusantara harus menjadi identitas dan jati diri bangsa Indonesia dalam pergaulan nasional. Kita harus membangun nasionalisme berdasar pada penghargaan terhadap kemanusiaan, bukan nasionalisme sempit yang bersifat chauvinistik. Dengan mengembangkan wawasan nusantara, kita akan mampu tampil di panggung global dengan mengusung semangat kemandirian dan independensi. Namun, di saat yang sama kita juga bisa berkolaborasi dengan negara lain dengan posisi yang setara.

Sedangkan dari segi budaya, wawasan nusantara idealnya diterjemahkan secara dinamis sebagai sebuah cara pandang yang tegas dalam menghadapi arus penetrasi budaya dan ideologi asing yang masuk ke Indonesia. Sebagai bangsa yang moderat, kita tentu harus bersikap terbuka pada perkembangan dunia dengan segala keanekaragaman gagasan. Namun demikian, kita juga diwajibkan untuk tetap merawat dan menjaga dasar dan ideologi negara. Maka, semua ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI idealnya tidak diberikan tempat untuk berkembang biak.

Dengan mengimplementasikan wawasan nusantara ke dalam kebijakan strategis, diharapkan Indonesia akan menjadi negara maju dan disegani dunia internasional. Di tengah arus globalisasi yang deras ini, kita akan mampu bersikap terbuka; ikut serta dalam pergaulan dunia alias tidak mengucilkan diri. Namun, di saat yang sama kita juga tetap bisa mempertahankan jati diri, identitas dan ideologi bangsa yang berdasar pada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bineka Tunggal Ika. Sikap terbuka dan independen ini adalah senjata ampuh kita dalam menghapus residu persoalan yang disisakan oleh fenomena globalisasi.

Facebook Comments