ISIS telah runtuh. Kabar ini baik sekaligus mengkhawatirkan. Kabar baik lantaran iklim perdamaian di Suriah dan Irak muncul titik cerahnya. Di sisi lain muncul kekhawatiran, eks militant ISIS kembali dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Institusi bisa runtuh, tapi tidak dengan ideologi. Hal ini menunjukkan susahnya memunahkan ideologi. Banyak contohnya. Runtuhnya Dinasti Ottoman di Turki, tetapi Islam tetap tumbuh. Bubarnya Uni Soviet tetapi sosialisme tetap tidak punah. Dan, terakhir boleh jadi termasuk ISIS.
Hari-hari ini muncul polemik seputar keinginan pulang WNI eks-ISIS. Hal ini tentu memberikan reaksi dilematis bagi Indonesia. Nalar kemanusiaa mengusik untuk menerima mereka kembali dengan catatan benar-benar bertaubat dan mengakui NKRI. Namun logika keamanan nasional cenderung berat menerimanya, lantaran sulitnya mendapatkan jaminan dan justru menimbulkan kekhawatiran. Belum ditambah secara legal, status WNI para eks-ISIS masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Dilema ini mesti menjadi bahan kajian secara cermat oleh pemerintah dalam merespon wacana kepulangan WNI eks-ISIS tersebut.
Dinamika Pasca-ISIS
Kelompok ISIS memiliki militan dalam jumlah yang tidak sedikit dari dan di Asia Tenggara, termasuk sejumlah pendukung di Indonesia, Afrika Barat, Semenanjung Sinai Mesir, Yaman, Somalia, dan Sahel.
Baca Juga : Antara Fenomena Kerajaan dan Radikalisme
Penelitian Soufan Center (2017), memperkirakan bahwa sekitar 5.600 petempur ISIS telah kembalike kampung halaman mereka di 33 negara di seluruh dunia. Antara lain yang terbesar adalah sekitar 900 orang kembali ke Turki. Sekitar 1.200 orang telah kembali ke Uni Eropa, terdiri dari 425 orang ke Inggris, dan sekitar 300 pulang ke Jerman dan 300 lainnya kembali ke Perancis.
Ratusan petempur asing lainnya sudah ditangkap dan masih ditahan oleh SDF di kawasan Suriah timur laut yang dikuasai Kurdi. Amerika Serikat menyerukan negara-negara lainnya untuk membawa pulang warga negara mereka yang bergabung dengan ISIS, untuk diadili.
Byman (2019) memaparkan bahwa daya tarik Negara Islam dan ideologi al Qaeda tetap kuat, dan sejumlah kecil pengikut di Barat akan berusaha mengangkat pedang mereka lagi. Tetapi saat ini ancamannya kurang mengancam dibandingkan pada tahun 2014.
Saat ini ada sekitar 600 orang WNI eks-ISIS yang berada di kamp pengungsian di Suriah. Mereka meminta dipulangkan oleh pemerintah Indonesia. Awalnya Menteri Agama memberi sinyal menerima. Namun langsung diralat dan juga ditolak oleh Presiden dan Wakil Presiden sendiri.
Menjawab Dilema
Wacana kepulangan atau pemulangan WNI eks-ISIS mesti dicermati serius. Nurrohman (2019) menguraikan adanya 3 hal yang menyebabkan dilema. Pertama, dari perspektif hukum terkait statusnya sebagai WNI. Jika mengacu pada Undang-undang Kewarganegaraan Tahun 2006 Pasal 23, huruf (d) dan (f) disebutkan bahwa status WNI bisa gugur karena masuk dinas militer asing tanpa izin terlebih dahulu pada presiden dan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Kedua, wacana pemulangan mantan anggota ISIS juga harus mempertimbangkan faktor keamanan. Pemulangan eks anggota ISIS akan berpengaruh pada meningkatnya tingkat kerawanan serangan teror di Tanah Air. Ketiga, perlu memerhatikan aspek kemanusiaan dan hak asasi manusia. Perspektif humanis penting dipertimbangkan sebagai bagian dari wacana pemulangan mantan anggota ISIS ke Indonesia.
Persyaratan ketat, bertahap dan garansi dari warga eks-ISIS menjadi kunci menjawab dilema ini. Loyalitas harga mati terhadap Pancasila dan NKRI mesti diujikan. Jika perlu, maka pemulangannya diawali dengan tahap karantina. Karantina dapat dilakukan pada pulau terpencil dan terisolasi. Doktrinasi wawasan kebangsaan dan moderasi agama menjadi bahan karantina hingga tuntas.
Dari sisi teologis, mereka mesti dijamin melakukan taubatan nasuha. Taubatan Nasuha dalam bahasa Indonesia berarti taubat yang semurni-murninya, dan merupakan salah satu bentuk taubat yang dianjurkan untuk penganut agama Islam. Ajaran ISIS yang sebelumnya dianut jelas-jelas melenceng dan sesat dari Islam.
Taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat tersebut memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dalam taubatnya. Dia mencurahkan segala daya dan kekuatannya untuk menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur).
Dalam kitabTafsir Jalalain Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya. Terlaksananya semua proses dan substansi taubat menjadi kunci pembuka pintu ampunan dari Allah SWT. Jika Alloh saja masih memberikan ampunan, maka manusia tidak ada daya menyangkalnya.
Hal yang sulit adalah mempercayai janji dan garansi warga eks-ISIS. Untuk itu perlu regulasi pendukung dalam rangka membatasi hak dan ruang gerak mereka tidak seperti WNI normal lainnya. Ancaman hukuman paling berat mesti diberikan jika terjadi pelanggaran sekecil apapun.
Penugasan berat juga wajib diberikan kepada warga eks-ISIS. Misalnya melalui tahapan wajib militer, meminta data seluruh jaringan ISIS dan simpatisannya di Indonesia serta diminta berperang menumpas atau membersihkannya Langkah-langkah di atas membutuuhkan tahapan. Untuk itu tidak bisa serta merta memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Apapun hasil keputusannya, semua mesti konsisten mematuhi dan menghormatinya.