Pujangga asal Mesir, Syeikh Musthafa al-Ghulayaini, menyatakan: “Inna fi yadd al-syubban amr al-ummah wa fi aqdamihim hayataha / Sungguh, di tangan para pemudalah urusan umat ini. Dan di bawah kaki pemudalah hidup mereka.” Sebab, syubban al-yaum rijal al-ghadd / the young today is the leader tomorrow. Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari yang menentukan arah bangsa.
Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, pernah menyatakan dengan lantang: “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Ungkapan-ungkapan di atas, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya, menunjukkan peran penting pemuda (sebut saja mereka yang berusia di bawah 40 tahun) dalam proses pembangunan bangsa. Tak heran, di berbagai belahan dunia, gerakan perubahan masyarakat yang serius dipelopori oleh kalangan mudanya. Termasuk gerakan keagamaan tentu saja.
Muhammad Saw misalnya, dalam konteks Islam, diutus li utammima makarim al-akhlak (untuk menyempurnakan moralitas) juga saat usianya menginjak 40 tahun. Dalam rentang kerasulannya yang hanya 23 tahun, ia berhasil menegakkan berbagai perubahan di masyarakat, utamanya perubahan cara pandang yang memanusiakan manusia dari tradisi yang membinatangkan manusia.
Nabi Yusuf, ketika didaulat menjadi Bendahara Negara Mesir, juga masih berusia muda. Nabi Musa mendapat mandat untuk melawan kepongahan Firaun juga kala usianya masih muda; dan begitu seterusnya, perubahan dilakukan oleh generasi mudanya.
Islam sendiri mengapresiasi pemuda dengan baik dan menempatkannya dalam posisi tersendiri. al-Quran, antara lain, menyebut pemuda dengan fatan. Misalnya dalam konteks pemuda Ibrahim, yang gagah berani melawan kezaliman Raja Namrudz. Dalam Qs. al-Anbiya: 60, Allah Swt berfirman: “Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim’.”
Dalam Hadisnya, Rasulullah Saw acapkali menyebut pemuda dengan syubban atau syabbun. al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Rasulullah Saw menyatakan, di antara tujuh kelompok yang kelak mendapat naungan Allah SWT pada hari tanpa naungan selain naungan-Nya, adalah syabbun nasya’a fi ‘ibadah Allah (pemuda yang tumbuh dalam pengabdian pada Allah SWT).
Dalam Hadis lain yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi, Rasulullah Saw juga menyatakan: “Tidak akan beranjak kaki Anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang lima hal: Tentang umurnya di mana dia habiskan, tentang masa mudanya di mana dia usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan ke mana dia keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya”.
Semua itu menggambarkan dengan sahih betapa posisi pemuda itu sangat penting dan menentukan arah perubahan masyarakatnya. Karena itu, di berbagai belahan dunia, pemuda senantiasa menempati posisi yang urgen, termasuk di Indonesia. Lihat saja, berbagai gerakan perubahan dipelopori kalangan mudanya. Misalnya, gerakan Nasional Boedi Oetomo di bidang pendidikan yang muncul pada 20 Mei 1908. Termasuk juga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, juga dipelopori kalangan muda.
Sumpah Pemuda, barangkali diantara gerakan kebangsaan di kalangan pemuda yang patut disorot serius, utamanya terkait kesetiaan pada “Bhinneka Tunggal Ika”. Tiga butir sumpah ini begitu nyata menunjukkan keberpihakan kalangan muda pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lihat saja point-point Teks Sumpah Pemuda yang dibacakan saat penutupan Kongres Pemuda di Waltervreden (kini Jakarta), yang digelar pada 27-28 Oktober 1928; yakni: 1) Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia. 2) Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. 3) Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Dalam teks Sumpah Pemuda ini, tercermin dengan nyata komitmen para pemuda untuk menjadikan NKRI sebagai negara kesatuan yang terdiri atas berbagai keragaman: baik bahasa, suku, budaya dan sebagainya. Kesadaran kebangsaan ini menjadikan militansi dan kecintaan mereka pada negeri ini begitu kuat dan kokoh, hingga rela hati memberikan segala-galanya.
Jika tantangan pemuda zaman old adalah penjajahan fisik, maka tantangan pemuda zaman now adalah kelompok-kelompok tertentu yang ingin memecah belah kesatuan bangsa ini, termasuk juga kelompok-kelompok ekstremisme berbasis agama. Pertanyaannya: apa yang harus dilakukan oleh pemuda zaman ini?
Pertama, kembali pada sejarah pergerakan pemuda bangsa ini. Bangsa ini mampu berdiri tegak menyongsong kedaulatannya karena peran penting para pemudanya. Mereka rela berdarah-darah untuk membela bangsa ini. Jangan lupakan sejarah itu! Dan semestinya, sejarah itu menjadi spirit yang mendarah daging bagi generasi muda saat ini, guna mengisi kemerdekaan yang susah payah telah direbut. Para pemuda tidak boleh terlena oleh “kenyaman” yang didapatkan paskakemerdekaan.
Kedua, pendalaman berbagai pengetahuan, baik keagamaan, sosial, politik, budaya dan selainnya. Bangsa ini terdiri dari kebhinnekaan yang mengagumkan, baik suku, bahasa, budaya, maupun agama, yang wajib dijaga dengan berbagai kearifannya. Dengan pengetahuan yang mendalam, niscaya kesadaran pada urgensi kebersamaan sebagai bangsa akan menjadi pondasi penting menjalani kehidupan berbangsa ini.
Ketiga, mempertebal komitmen kebangsaan. Penting dimaklum oleh generasi muda saat ini, bahwa negara serpihan surga ini layaknya gadis cantik yang menjadi rebutan banyak kalangan, baik kalangan yang berbasis agama maupun non-agama. PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD) terus-menerus dalam ancaman perongrongnya. Melihat situasi ini, sudah semestinya jika generasi mudanya memiliki sikap militan dan komitmen yang tinggi untuk membela bangsanya, baik pembelaan melalui pemikiran, tindakan, harta benda bahkan jiwa.