Pada tahun 2024 ini, Republik Indonesia merayakan 79 tahun kemerdekaannya. Sebuah pencapaian monumental yang tidak hanya menandakan usia sebuah negara yang telah lama berdiri, tetapi juga refleksi dari perjalanan bangsa yang sarat dengan perjuangan, perubahan, dan adaptasi. Di tengah hiruk-pikuk globalisasi yang kian mempertegas batas antarbangsa, Indonesia dengan segala kekayaannya—dari Sabang hingga Merauke—terus berusaha untuk meneguhkan persatuan yang melampaui sekadar konsep administratif menjadi suatu realitas sosial yang hakiki. Dalam konteks ini, perjalanan Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan bukan hanya sebatas mengibarkan bendera Merah Putih, melainkan juga tentang upaya terus menerus untuk melampaui primordialitas yang ada dan meneguhkan persatuan.
Sejak masa kolonialisme, Indonesia merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh berbagai suku, budaya, dan agama yang berbeda. Meskipun berada di bawah payung kekuasaan kolonial yang sama, rakyat di berbagai daerah di Nusantara hidup dengan identitas masing-masing yang kerap kali bersifat eksklusif. Persatuan di bawah kekuasaan kolonial bukanlah persatuan yang didasarkan pada kesadaran kolektif sebagai bangsa yang satu, melainkan lebih sebagai penyeragaman paksa yang berakar pada dominasi dan penindasan. Maka, kemerdekaan pada tahun 1945 menjadi sebuah titik balik yang penting, di mana bangsa Indonesia memulai perjalanan panjang untuk mendefinisikan kembali konsep persatuan yang tidak didasarkan pada kesamaan identitas primordial, tetapi pada kesadaran bersama sebagai sebuah bangsa.
Setelah proklamasi, tantangan pertama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah bagaimana merajut persatuan di antara berbagai suku, agama, dan kelompok etnis yang ada. Keberagaman ini, meski menjadi kekayaan budaya, juga membawa potensi konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Berbagai insiden sejarah, seperti pemberontakan di beberapa daerah, merupakan contoh nyata bagaimana primordialitas bisa menjadi ancaman bagi persatuan bangsa. Namun, di balik berbagai tantangan ini, bangsa Indonesia berhasil melampaui berbagai perbedaan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila, dengan kelima sila yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, menjadi pondasi yang kuat bagi terciptanya persatuan dan kesatuan yang hakiki.
Penting untuk dicatat bahwa perjalanan bangsa Indonesia dalam meneguhkan persatuan bukanlah proses yang linier dan bebas hambatan. Setiap periode sejarah menghadirkan tantangan tersendiri yang menguji kekuatan persatuan bangsa. Pada masa Orde Lama, ketika bangsa Indonesia baru merdeka, tantangan utamanya adalah bagaimana membangun negara yang stabil di tengah gejolak politik yang melanda dunia pasca Perang Dunia II. Pada masa ini, pemerintah berusaha keras untuk membangun identitas nasional yang kuat melalui berbagai kebijakan yang berorientasi pada nasionalisme. Meski begitu, konflik-konflik lokal yang berbasis pada perbedaan suku, agama, dan ideologi tetap muncul sebagai tantangan serius.
Memasuki masa Orde Baru, pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto berusaha memperkokoh persatuan bangsa melalui kebijakan sentralisasi yang ketat. Dengan slogan “Persatuan dan Kesatuan,” pemerintah Orde Baru berupaya menekan segala bentuk perbedaan yang dianggap dapat mengancam stabilitas negara. Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya berhasil dalam meneguhkan persatuan yang sejati. Sebaliknya, kebijakan yang terlalu sentralistis dan represif justru memicu sentimen primordial di beberapa daerah yang merasa terpinggirkan dan tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an menjadi momentum bagi perubahan besar dalam cara pandang bangsa terhadap konsep persatuan. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 membawa angin segar bagi demokrasi dan desentralisasi, di mana daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri. Meskipun demikian, reformasi ini juga membuka ruang bagi munculnya kembali sentimen primordial di beberapa daerah yang merasa memiliki identitas yang berbeda dengan pusat kekuasaan. Terlepas dari tantangan ini, reformasi telah membuka jalan bagi terbentuknya persatuan, di mana keberagaman diakui sebagai bagian integral dari identitas nasional.
Saat ini, di era globalisasi yang ditandai dengan semakin intensifnya arus informasi dan interaksi antarbangsa, Indonesia dihadapkan pada tantangan baru dalam meneguhkan persatuan. Globalisasi membawa pengaruh besar dalam mengubah cara hidup masyarakat, yang sering kali berujung pada pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya. Di satu sisi, globalisasi dapat memperkaya budaya lokal dengan adanya pertukaran budaya antarbangsa, namun di sisi lain, ia juga dapat mengikis identitas nasional apabila tidak diimbangi dengan upaya yang kuat untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai lokal. Dalam konteks ini, meneguhkan persatuan menjadi semakin kompleks karena tidak hanya berhadapan dengan perbedaan internal, tetapi juga dengan pengaruh eksternal yang dapat mengancam kohesi sosial.
Di tengah dinamika ini, Indonesia terus berusaha untuk melampaui primordialitas dengan meneguhkan kembali semangat persatuan yang dilandasi oleh Pancasila. Salah satu langkah penting dalam upaya ini adalah melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga sebagai wahana untuk membentuk karakter bangsa yang kuat. Dalam kurikulum pendidikan, pengajaran tentang Pancasila, sejarah perjuangan bangsa, dan pentingnya persatuan harus terus diperkuat. Selain itu, penting juga untuk menanamkan sikap kritis dan toleransi terhadap perbedaan, agar generasi muda Indonesia mampu menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas nasional dan nasionalisme kebangsaannya.
Dalam konteks peringatan 79 tahun kemerdekaan Indonesia, penting bagi kita semua untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan bukan hanya tentang kebebasan dari penjajahan, tetapi juga tentang kebebasan untuk membangun sebuah bangsa yang bersatu dalam keberagaman. Melampaui primordialitas dan meneguhkan persatuan adalah dua hal yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan prasyarat untuk mencapai cita-cita bangsa yang adil dan makmur. Dalam perjalanan sejarah yang panjang ini, bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa persatuan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi harus terus diperjuangkan dan diperbaharui sesuai dengan dinamika zaman.
Akhirnya, marilah kita jadikan momentum peringatan 79 tahun kemerdekaan Indonesia ini sebagai ajang untuk memperkokoh kembali tekad dan semangat kita dalam meneguhkan persatuan bangsa. Dengan semangat gotong royong, saling menghormati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, kita dapat melampaui segala bentuk primordialitas yang dapat mengancam persatuan. Hanya dengan persatuan yang kokoh, Indonesia dapat terus melangkah maju menghadapi tantangan global dan mewujudkan cita-cita luhur para pendiri bangsa.