Refleksi HUT RI; Mewujudkan Kemerdekaan Intelektual di Tengah Arus Ideologi Transnasional

Refleksi HUT RI; Mewujudkan Kemerdekaan Intelektual di Tengah Arus Ideologi Transnasional

- in Narasi
56
0
Refleksi HUT RI; Mewujudkan Kemerdekaan Intelektual di Tengah Arus Ideologi Transnasional

Apa arti kemerdekaan? Apakah kemerdekaan diartikan sebatas lepas dari cengkeraman penjajahan? Pertanyaan itulah yang menjadi isu panas ketika Indonesia pertama kali mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebagian kalangan saat itu menganggap kemerdekaan Indonesia masih sekadar formalitas, lantaran semua obyek vital dan sumber ekonomi masih dikuasai penjajah.

Dalam perdebatan itulah muncul slogan populer dari Datuk Tan Malaka, yakni “Merdeka 100 persen” yang berseri seruan untuk kemerdekaan diri dari penjajah dalam semua ranah kehidupan, mulai politik, sosial, ekonomi, sampai mental dan intelektual.

Ya, Tan Malaka memandang penting kemerdekaan mental dan intelektual. Itu artinya kita harus beranjak dari struktur mental dan intelektual yang dikonstruksi oleh kepentingan kolonial agar bisa membangun mental dan intelektual yang independen dan sesuai dengan karakter bangsa. Lama hidup dibawah kolonialisme tentunya membuat bangsa ini terpapar oleh konstruksi berpikir ala kolonial.

Menjadi bangsa terjajah lantas membuat bangsa hidup dalam alam pikir yang inferior, minder, rendah diri, dan sebagainya. Maka, gagasan kemerdekaan mental dan intelektual adalah penting untuk membangun pola pikir dan sikap bangsa yang berdaulat atas nasibnya sendiri dan memiliki martabat di tengah pergaulan global.

Medsos dan Kebebasan Intelektual yang Semu

Tujuh dekade lebih Indonesia merdeka, tepatnya tahun ini usia kemerdekaan menginjak 78 tahun. Meski demikian, isu tentang kemerdekaan intelektual kiranya masih relevan dan urgen diperbincangkan. Dalam tujuh dekade belakangan, kita patut mengakui bahwa kita berhasil membangun ruang publik yang bebas dan terbuka. Hari ini, sistem demokrasi yang kita bangun telah mendorong munculnya ruang untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Namun demikian, dalam banyak hal ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi itu acapkali tidak menjamin tumbuhnya kemerdekaan intelektual. Ruang publik yang bebas dan terbuka, apalagi pasca booming media sosial justru kerap memberangus kemerdekaan intelektual itu sendiri.

Seperti kita lihat sendiri, bagaimana medsos belakangan ini telah menjadi ajang adu kebencian yang dibalut hoaks dan semburan caci maki. Debat di medsos tentang isu sosial, politik, dan agama acap berakhir menjadi debat kusir tanpa makna dan faedah. Kita gagal memproduksi wacana sayu pemikiran yang konstruktif untuk bangsa.

Lebih spesifik dalam konteks wacana keagamaan, debat umat Islam di media sosial cenderung didominasi oleh fanatisme dan taklid buta pada aliran, mazhab, atau figur yang diidolakan. Debat keagamaan di media sosial acap tidak menyentuh aspek subtansial dari agama itu sendiri, yakni bagaimana agama berkontribusi positif pada kehidupan umatnya. Melainkan lebih didominasi oleh isu remeh remeh seputar masalah bidah ibadah, atau malah soal kontroversi makam dan nasab.

Alhasil, mesin ijtihad yang seharusnya menggerakkan intelektualisme Islam itu menjadi macet. Hari ini, nyaris tidak ada perdebatan bermutu tentang isu keagamaan seperti terjadi di era 70-80an dimana para intelektual Islam saling melahirkan karya ilmiah, baik itu buku, artikel jurnal atau sekadar opini di kolom koran, untuk mendukung argumentasinya. Kini tradisi itu kian memudar. Debat lebih banyak dilakukan di media sosial secara acak.

Membangun Kemerdekaan Intelektual Mulsim

Situasi ini bukan tanpa menimbulkan persoalan. Matinya iklim intelektualisme dan macetnya ijtihad di kultur Islam Indonesia membuka celah masuknya infiltrasi ideologi asing. Terutama ideologi transnasionalisme yang berkarakter konservatif radikal.

Kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir, Al Qaeda, bahkan ISIS memanfaatkan matinya nalar kritis dan rasionalitas umat dalam memahami Islam untuk memasarkan gagasanya tentang Daulah atau khilafah Islamiyyah.

Umat yang buta sejarah dan gagap peta politik lantas begitu saja mudahnya kepincut propaganda kelompok ekstrem tersebut. Itulah mengapa gerakan terorisme itu tumbuh subur di kalangan yang ghirah beragamanya tinggi namun literasi keagamaannya lemah.

Di titik inilah pentingnya kita membangun kemerdekaan intelektual. Kemerdekaan intelektual tidak semata diartikan sebagai kebebasan berpendapat dimana setiap individu bebas berkata apa saja di ruang publik.

Kemerdekaan intelektual hakikatnya adalah mengembangkan kultur berpikir rasional dan kritis serta membangun kembali budaya ijtihad terutama dalam konteks beragama. Kemerdekaan intellerual artinya umat bebas dari nalar taklid buta dalam beragama yang mendasarkan perilaku keagamaannya semata pada pendapat tokoh yang diidolakan. Padahal, tokoh tersebut sebenarnya tidak otoritatif dalam keilmuan agama.

Arkian, peringatan HUT RI ke 79 ini kiranya mampu menerbitkan kesadaran terutama di kalangan muslim untuk membebaskan diri dari kejumudan berpikir, nalar tekstualisme dan metode taklid buta yang membuat kita mudah diasu domba dan diprovokasi untuk saling membenci. Kemerdekaan intelektual adalah upaya menegakkan kedaulatan akal dan nalar kritis dalam memahami ajaran agama dan membaca peta wacana serta gerakan keagamaan.

Kemerdekaan intelektual akan menuntun kita keluar dari jebakan konservatisme keagamaan yang menjadi akar radikalisme terorisme. Menjadi muslim yang merdeka secara intelektual berarti kita harus mempelajari agama dengan metode kontekstual, berguru pada sosok dengan sanad keilmuan yang mumpuni, dan senantiasa adaptif pada isu-isu modernitas seperti demokrasi, HAM, keadilan gender, dan sebagainya. Dengan begitu kita tidak akan terjajah oleh ideologi transnasional radikal.

Facebook Comments