Keberadaan rumah ibadah tidak hanya sebagai sarana aktifitas keagamaan, tetapi juga medium mempersatukan umat. Karena misi mempersatukan itulah, rumah ibadah harus dijadikan sarana menyebarkan narasi kesejukan dan perdamaian, bukan narasi kebencian dan perpecahan.
Setidaknya ada dua fungsi pokok yang diemban rumah ibadah dalam aktifitas keagamaan. Masjid, misalnya, dikatakan sebagai Rumah Allah yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan misi dan ajarannya. Dalam konteks inilah, masjid menjadi sarana penyelenggaran aktifitas spiritual keagamaan. Namun, di sisi lain masjid juga mempunyai fungsi sosial menyatukan umat karena sebagai pertemuan individu-individu dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.
Dalam penerapan fungsi sosial inilah, rumah ibadah menjadi tempat tidak hanya pelaksanaan ibadah tetapi sarana menjalin persaudaraan, saling tolong-menolong dan memperkokoh persatuan. Rumah ibadah kayak pula dijadikan sarana untuk musyawarah memecahkan persoalan sosial dan kebangsaan. Karena itulah, rumah ibadah harus menjadi rumah Tuhan yang menaungi kebersamaan tanpa perbedaan yang menyatukan umat.
Problemnya seringkali umat beragama menjadi lalai dalam memperlakukan rumah ibadah sebagaimana mestinya. Karena kepentingan tertentu, rumah ibadah kerap menjadi ajang kontestasi untuk saling berebut pengaruh. Imbasnya, narasi yang muncul di rumah ibadah adalah bukan naras mencerdaskan umat, tetapi memecah belah bahkan tidak jarang provokasi dan narasi kebencian.
Karena itulah, umat beragama dan pengelola rumah ibadah pada khususnya harus menyadari pentingnya mengembalikan fungsi rumah ibadah pada rel dan tujuan pokoknya. Setidaknya ada empat hal yang harus dipertimbangkan.
Baca juga :Mudamudigital : Peningkatan Literasi Digital Dan Cegah Ujaran Kebencian
Pertama, rumah ibadah sebagai sarana edukasi bukan provokasi. Rumah ibadah adalah rumah Tuhan sebagai sarana umat beragama menerima pencerahan tentang Ketuhanan dan keagamaan. Umat beragama berkumpul di rumah ibadah untuk mendapatkan edukasi, bukan provokasi. Karena itulah, khutbah keagamaan dan perbincangan di rumah ibadah harus memiliki kandungan untuk mencerahkan umat dalam aspek keagamaan dan kemasyarakatan, bukan ajakan provokasi yang jauh melenceng dari ajaran keagamaan.
Kedua, rumah ibadah sebagai sarana penyebar kesejukan dan perdamaian bukan kebencian. Sebagai tempat bersama, rumah ibadah menjadi sarana penyebar narasi kesejukan dan perdamaian. Rumah ibadah tidak layak dijadikan ajang untuk menebar suara-suara kebencian apalagi kekerasan. Kerap sekali khutbah-khutbah keagamaan disampaikan dengan nuansa membenci terhadap yang berbeda.
Ketiga, rumah ibadah sebagai sarana silaturrahmi bukan kontestasi. Masjid memiliki fungsi sosial dan politik dalam pengertian kepentingan kebangsaan. Artinya, pembicaraan politik kebangsaan di rumah ibadah tidak berpotensi untuk memecah umat dalam afiliasi dan kontestasi politik. Apalagi menjadikan masjid sebagai sarana kampanye untuk mengumpulkan simpatisan dan pundi-pundi suara. Hal ini tentu saja sangat berbahaya terhadap perpecahan umat.
Keempat, rumah ibadah sebagai sarana persaudaraan bukan perpecahan. Di rumah ibadah semua umat Islam saling merekatkan persaudaraan. Rumah ibadah menjadi tempat berkumpul seluruh umat Islam dalam perbedaan suku, etnis, bahasa dan pandangan politik. Ketika di rumah ibadah atribut sosial, budaya dan etnik melebur menjadi persaudaraan keagamaan. Karena itulah, penting menjadikan rumah ibadah sebagai pengikat persaudaraan bukan semakin meruncing perbedaan yang menjurus pada perpecahan.
Pada akhirnya, umat Islam harus mempunyai kedewasaan dalam menyikapi perbedaan. Rumah ibadah harus ditempatkan kembali menjadi Rumah Tuhan yang menaungi, menyejukkan dan mendamaikan. Rumah ibadah bukan tempat berkontestasi yang dapat merapuhkan persaudaraan. Marilah jadikan masjid sebagai tempat sejuk di mana umat berteduh dalam kesejukan spiritual dan persatuan kebangsaan.