e-Learning dan Nasib Pendidikan Karakter di Indonesia

e-Learning dan Nasib Pendidikan Karakter di Indonesia

- in Narasi
1191
0
e-Learning dan Nasib Pendidikan Karakter di Indonesia

Kemudahan teknologi membuat manusia selalu berinovasi. Mulai dari aspek komunikasi nir kabel, hingga merambah ke dunia pendidikan. Siswa kini tidak perlu bertatap muka dengan guru untuk belajar. Cukup manteng di depan laptop atau gawai, mereka sudah siap untuk menerima pelajaran. Di manapun dan kapapun.

Guru semakin dipermudah, begitu juga dengan siswa. Namun, sadarkah kita, bahwa dalam proses belajar mengajar, yang menjadi tujuan bukan hanya sekedar nilai, tapi juga pembentukan karakter peserta didik.

Fenomena siswa menantang gurunya dewasa ini, sepertinya sudah cukup menjadi contoh, bahwa pendidikan karakter di Indonesia sudah diambang ajal. Dan harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Lalu, apakah e-Learning adalah penanganan bobroknya karakter siswa di Indonesia kini?

Bila kita melihat lebih dalam, e-learning hanya mengacu anak dalam bidang akademik, bukan pendidkan karakter mereka. Sehingga, bisa jadi e-Learning menjadi bom atom yang akan menghancurkan pendidikan karakter bangsa. Sistem pendidikan membunuh pendidikan itu sendiri.

Guru Tidak Siap

Penerapan e-Learning juga tidak memperhatikan sumber daya guru yang ada di Indonesia. Rata-rata dari mereka masih buta akan teknologi. Hal ini berdasarkan data yang dilansir Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bahwa hanya 40 persen guru nonteknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia yang siap dengan teknologi.

Data tersebut menunjukan bahwa, e-Learning menjadi pilihan buruk model pembelajaran di Indonesia. Konsep yang ditawarkan pun, hanya berkutat pada hal teknis, yakni kemudahan mengajar. Bukan hal yang sifatnya fundamen seperti pembentukan karakter siswa.

Sehingga, penerapan e-Learning di Indonesia seakan menjadi “bunuh diri” masal model pendidikan bangsa Indonesia.

Masih Terbelenggu Penjajahan

e-Learning menambah masalah pendidikan Indonesia. Di mana, pendidikan kita sampai saat ini masih terbelenggu dengan model kolonialisme belanda. Yakni model pendidikan yang menciptakan para pekerja, bukan intelektual murni.

Baca juga :Merangkul Teknologi, Menguatkan Karakter

Sehingga, paradigma peserta didik ketika masuk sekolah, bukanlah untuk mencari pengetahuan akan tetapi bagaimana ia bisa kerja di perusahan bonafit dengan gaji besar.

Ki Hajar Dewantara dalam kritiknya pernah berkata, model pendidikan saat itu adalah untuk menunjang para kolonial untuk memperlancar urusan di Indonesia. Padahal, pada dasarnya mereka menjadi budak di negaranya sendiri.

Baca juga :Agar Digitalisasi Pendidikan Tak Menggerus Karakter Keindonesiaan

Sistem pendidikan bercorak Barat di Indonesia, melahirkan sifat berbahaya seperti Intelektualistis, yakni sifat berfikir semata (tahu hanya untuk mengetahui dan tidak untuk diamalkan). Serta Individualistis, yakni mengagungkan hidup diri dan tidak mementingkan hidup bersama. Dan yang paling mengerikan ialah Materialistis, yakni mengutamakan kenikmatan hidup dan tidak menghargai nilai-nilai kebatinan. Lalu, apakah dengan e-Learning hal seperti ini dapat diselesaikan? Apabila tidak bagaimana solusinya?

Belajar Pada Finlandia

Negara dengan sistem pendidikan paling baik di dunia, Finlandia, sepertinya tidak menerapkan sistem e-Learning pada siswa. Terutama pada sekolah Dasar hingga Sekolah menengah. Mereka membuat sistem pendidikan selalu bertatap muka bersama gurunya.

Dalam hal pendidikan dasar, Finlandia sangat serius, mereka bahkan mendatangkan Doktor lulusan terbaik universitas hanya untuk mengajar anak-anak kecil di sekolah. Tentu Finlandia menggaji mereka dengan nominal yang besar.

Finlandia sangat paham, bahwa pendidikan yang diajarkan kepada anak usia dini, akan membekas dan membentuk karakter mereka hingga dewasa. Tidak heran bila negara ini mendatangkan Doktor lulusan terbaik dari universitas untuk mengajar di sekolah dasar.

Intensitas belajar siswa pun tidak terlalu lama, mereka hanya belajar 4-5 jam sehari. Selebihnya mereka belajar di luar kelas (dengan cara bermain). Bahkan, para siswa pun tidak dibebani seabgreg tugas, dan tidak pernah ada ujian nasional. Karena mereka sangat mengerti, pendidikan awal seorang anak bukanlah sebatas nilai, tapi pembentukan karakter.

Facebook Comments