ISIS Hancur, Terorisme Bubar?

ISIS Hancur, Terorisme Bubar?

- in Narasi
1005
1
ISIS Hancur, Terorisme Bubar?

Bila berangkat dari banyak tesis sejumlah akademisi yang menyatakan bahwa Al Qaeda adalah cikal bakal dari organisasi Islamic State of Iraq and Syria atau familiar dengan sebutan ISIS, maka fenomena keruntuhan ISIS pun mestinya mendapat perhatian serius pula. Kita mungkin bisa saja meletakkan sejenak kekhawatiran yang telah membebani pemikiran kita sejak 2014 lalu, karena kumandang pernyataan dari Abu Bakar Al-Baghdadi mengenai pendirian ISIS-dan rekaman video kebrutalan kelompok ini ternyata telah berakhir. Namun sadar kah kita semua bahwa sejatinya akar terorisme dalam bentuk radikalisme sudah banyak menjalar ke banyak tempat dan segala lini kehidupan. Di sini kesadaran akan potensi lahirnya lagi kekuatan yang mampu menghidupakan sel-sel yang sedang tiarap ini, menuntut kita melakukan pengamatan terhadap realitas di akar rumput. Tujuannya sebagai bentuk pembelajaran bagi kita bersama agar dapat bertindak mawas dalam melihat fenomena, dan pada gilirannya tidak ikut larut dalam persoalan. Sebaliknya mampu menjadi agen pencegah lahirnya tragedi kemanusiaan mulai dari lingkungan terkecil di wilayah kita.

Meskipun secara formal kelembagaan-banyak yang yang sepakat bahwa ISIS telah hancur, namun sejatinya kekuatan kelompok ini tidak-lah musnah. Dalam sebuah liputan, Feras Kilani, seorang kontributor BBC news yang selama 5 tahun terakhir meliput aktivitas dari konflik yang dihadirkan ISIS, melihat bahwa kemampuan pemerintah Iraq, Suriah dan sekutunya menguasai kembali daerah mereka, tidak lantas mengindikasikan bahwa pemerintah berhasil membasmi kekuatan kelompok ini secara total. Dalam liputannya, ia melihat bahwa kekuatan ISIS yang ada hanyalah sel-sel yang tengah tiarap untuk sementara dan menunggu kembali waktu yang tepat untuk bangkit lagi. Kilani yang telah melakukan liputan bahkan sejak informasi deklarasi pendirian ISIS dilakukan Abu Bakar Al-Baghdadi mengumandang, memperhatikan kuatnya potensi itu untuk mencuat kembali. Dalam konteks wilayah Iraq dan Syria, ia melihat bahwa keberadaan negara Amerika Serikat yang meninggalkan bekas luka bagi sebagian masyarakat lokal di daerah itu menjadi latar pendukung penting hadirnya pergerakan serupa nantinya. Faktor pendukung tersebut tidak hadir secara soliter, perbedaan mazhab ke-Islaman yang cukup mencolok di wilayah Iraq dan Suriah menambah kuat latar potensi kehadiran konflik yang baru.

Baca juga :Pasca-Isis: Geostrategi Dakwah Vs Diaspora Radikalisme

Selain hal-hal tersebut di atas, terdapat pula faktor pendukung lainnya yang mestinya menjadi perhatian pula. Sebab konflik yang hadir sebagai pernyataan sikap ISIS telah menyebar keseluruh pelosok bumi. Harus diakui bersama bahwa indoktrinasi ideologi Isis yang menyebar melalui sejumlah media cukup bergasil menarik banyak diaspora Muslim di belahan bumi ini untuk terlibat mendukung gerakan mereka. Dukungan tersebut pun hadir dalam beragam bentuk. Dukungan pertama bisa kita lihat dari dukungan fisik berupa keturut-sertaan banyak orang dari segala penjuru negara dalam agenda yang diusung ISIS di wilayah konflik. Dukungan yang kedua hadir dalam bentuk materiil, di mana adanya pihak-pihak seperti di wilayah jazirah Arab yang juga menjadi penyokong eksistensi dari kelompok ini sejak awal. Lalu yang ketiga berupa dukungan moril serta do’a. Mungkin bagi sebagian besar pihak, hal ini sepertinya tidak terlalu mendapat perhatian. Sebab bila kita perhatikan secara sekilas, efek yang hadir seolah sangat sederhana bila membandingkannya dengan dua dukungan di atas. Namun sadarkah kita semua bahwa sebenarnya keikut-sertaan dukungan moril, menunjukkan bahwa ideologi tersebut sejatinya telah memperoleh tempat di hati para pendukungnya.

Lalu bila hal demikian kita fokuskan dalam konteks negara kita, maka sepertinya terlampau sulit mengambil kesimpulan bahwa Indonesia sungguh bebas dari bibit ideologi yang demikian. Melalui pernyataan BNPT mengenai aktivitas sel-sel terorisme Indonesia yang terkait dengan sel di luar negeri, lalu beberapa contoh penolakan terhadap keberagaman, sejumlah aksi intoleran terhadap minoritas yang terjadi selama ini, serta adanya aksi teror bom di beberapa wilayah jelas menunjukkan kerentanan kita sangatlah besar. Bahkan bila kita mengingat pada kejadian 2014 yang lalu, di mana secara gamblang kita bisa melihat ada beberapa deklarasi yang dibuat beberapa pihak mengenai dukungannya terhadap ISIS di Indonesia, membuat kita malah patut mawas akan terjadinya potensi yang serupa di Indonesia.

Setidaknya para pemikir ilmu Hubungan Internasional, seperti Ernst Haas telah menunjukkan dengan gamblang mengenai relasi politik internasional dan kekuatan aktornya yang kerap menuntut perubahan. Bagi Haas yang merupakan pemikir realis, keberlanjutan fenomena munculnya kekuatan baru akan selalu hadir dan menantang kekuatan yang lebih dominan. Dalam rekaman sejarah mengenai perang dunia, perang dingin hingga hadirnya Al Qaeda dan ISIS telah menjelaskan bahwa keseimbangan kekuatan (power) akan terus hadir dalam beragam bentuk. Yang sudah barang tentu akan menghadirkan dinamika tersendiri bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat global. Sehingga bila berkaca dari realitas hari ini dan konsepsi dari Haas tersebut, maka kewajiban untuk membentangkan kewaspadaan mesti segera dilakukan. Kita memang belum tahu apa wujud kekuatan baru yang memungkinkan bangunnya sel-sel yang tengah tiarap tersebut, namun bila hal tersebut terjadi maka bencana kemanusiaan akan kembali terulang.

Kita tentu tidak mengharapkan hal tersebut terjadi. Kita pastinya lebih berharap agar sel-sel yang tengah tiarap itu berangsur berubah menuju pemikiran yang moderat dan berpihak pada kemanusiaan serta menjaga keberagaman.

Facebook Comments