Masihkah Memimpikan Khilafah seperti ISIS?

Masihkah Memimpikan Khilafah seperti ISIS?

- in Narasi
1043
1
Masihkah Memimpikan Khilafah seperti ISIS?

Masjid Agung Al-Nuri, Mosul, Irak, menjadi saksi kecongkakan Abu Bakar al-Baghdadi. Pada 29 Juni 2014, di masjid tersebut, dideklarasikan kekhalifahan dan Abu Bakar mengangkat diri sebagai tertingginya. Wilayah mereka membentang dari Provinsi Diyala di Irak Timur hingga Aleppo di Suriah Utara. Siapapun bisa menilai, peristiwa ini merupakan salah satu lelucon terbesar yang hadir dalam peradaban manusia. Seseorang yang bukan siapa-siapa, tiba-tiba merasa punya hak untuk mengatur kehidupan kaum Muslim di seluruh dunia. Termasuk mimpi di siang bolong yang ingin menyatukan seluruh wilayah Muslim dalam naungan khilafah. Ironisnya, banyak orang yang terbius oleh racun khilafah model ISIS ini. Tidak hanya mereka yang berasal dari daerah sekitar saja yang akhirnya melakukan baiat, melainkan orang-orang yang berasal dari negeri yang sangat jauh. Termasuk warga negara Indonesia.

ISIS sendiri didirikan sekitar 15 bulan sebelum deklarasi khilafah. Yaitu pada 8 April 2013. Mereka kemudian menjadikan Raqqa di Suriah sebagai ibu kota kekhalifahan. Empat tahun setelahnya, tahun 2017, Raqqa berhasil direbut oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Dengan jatuhnya wilayah yang diklaim sebagai ibu kota mereka, maka gerakan ISIS semakin melemah. Meskipun daya taring mereka semakin tumpul, tetapi karena racun ideologi negara Islam ISIS telah menyebar di berbagai negara, kerap terjadi peristiwa teror yang berhubungan dengan mereka. Selain itu, ada juga organisasi-organisi teroris yang kemudian mengakui eksistensi ISIS. Sebut saja Boko Haram di Nigeria. Organisasi ini akhirnya menjadi kekuatan ISIS di wilayah Afrika Barat.

Baca juga :ISIS Hancur, Terorisme Bubar?

Indonesia pun tidak terbebas dari pengaruh ISIS. Beberapa organisasi, dengan klaim sebagai kelompok Muslim, justru mengambil gerakan ISIS sebagai imam mereka. Sebut saja kelompok Mujahidi Indonesia Timur (MIT) yang digerakkan oleh Santoso. Ada juga kelompok Maman Abdurrahman yang membentuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Jaringan-jaringan ini sering terlibat aksi-aksi kekerasan yang memakan korban warga yang tidak bersalah. Seperti teror bom di Jalan MH Thamrin, peledakan di Gereja Oikumene Samarinda, bom panci di Cicendo, Bandung, dsb. Kelompok teroris ini menjadikan Indonesia sebagai daerah untuk melakukan amaliah jahatnya. Ideologi kekerasan dipercayai dengan sepenuh hati kemudian diterapkan begitu saja di Indonesia. Akibatnya, ketentraman dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat pun menjadi pupus. Kekhawatiran menjadi korban aksi teror selalu membayangi.

Tetapi kini, masyarakat dunia -termasuk Indonesia- bisa sedikit bernafas lega. Pada Maret 2019, benteng terakhir ISIS di tepi sungai Eufrat, Baghouz, semakin tersudut oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Hingga akhirnya, wilayah tersebut bisa direbut dari cengkraman ISIS. Secara de jure, ISIS memang telah kalah. Tetapi secara de facto, mereka masih terus bergerak. Salah satunya melalukan ideologi kekerasan yang terus-menerus menyebar tanpa henti. ISIS pun masih memiliki sel-sel tidur yang sewaktu-waktu bisa digerakkan kembali. Maka, kekalahan ISIS ini mestinya perlu benar-benar dikawal agar bisa menekan efek negatif yang bisa hadir setelahnya. Jangan terlena dengan kekalahan ISIS hingga melupakan kewaspadaan kita terhadap gerakan-gerakan mereka. Apalagi, kelompok terosis seperti ISIS bergerak dengan cara yang sulit untuk diprediksi. Upaya pencegahan ideologi teror yang selama ini telah dilakukan perlu dijaga. Bahkan ditingkatkan. Seperti pengawasan terhadap pendatang, ronda rutin kampung, pelaporan jika ada hal yang mencurigakan, dsb.

Terhadap para pengikut ISIS, baik bergabung secara sengaja maupun tidak, yang ingin melakukan pertaubatan maka perlu dilayani dengan tangan terbuka. Bisa jadi, mereka selama ini mengidolakan ISIS karena ketidaktahuan atau iming-iming berlebihan (seperti dijanjikan surga, harta, dsb). Sungguh, sama sekali tidak ada manfaatnya mengikuti jejak kelompok yang hobinya menyebarkan ketakutan dan kekerasan. Termasuk perempuan dan anak-anak, yang merupakan keluarga dari anggota ISIS, perlu dilakukan pendampingan secara maksimal. Sebab, mereka hakekatnya adalah korban sehingga harus diperlakukan secara berbeda dibanding para pelakunya. Terakhir, kita berharap Indonesia benar-benar bebas dari pengaruh ideologi radikal dan kekerasan seperti ISIS. Hingga masyarakat dapat hidup rukun dan damai dalam negara Indonesia.

Facebook Comments