Dua minggu lebih, Indonesia telah menunaikan pesta demokrasi Pemilu serentak 2019. Selama tahun politik, horizon sosial masyarakat Indonesia dicemari polusi ujaran kebencian, hoax, dan cyber bullying yang semuanya dibaluti kepentingan politik baik di dunia nyata ataupun maya. Demi memuaskan nafsu politik, para elite politisi tidak segan untuk menghalalkan segala cara. Akibatnya moralitas publik ditumbalkan dan mereka pun terjebak dalam konflik horizontal.
Ambisi politik yang mempratikkan machiavelisme politik ini tidak berhenti pada tataran sosial. Agama yang hakikatnya mencintai perdamaian pun menjelma sebagai kuda tunggangan kepentingan politik tertentu. Di tahun politik, masjid sebagai basis dakwah rahmatan lil’alamiin, disulap menjadi mimbar-mimbar orasi politik yang sarat intrik dan ujaran kebencian. Dakwah yang seharusnya menyejukkan, di tahun politik ia berubah menjadi orasi politik yang menggerahkan dan menyulut api kebencian.
Ironisnya lagi, para kelompok ekstremis menyebarkan ajaran radikalisme agama dengan berkedok dakwah Islam. Khutbah jum’at yang seharusnya menyuarakan kabar-kabar gembira tentang kemanusiaan dan peringatan malah menjadi praktik doktrinasi. Pada abad 21 ini, agenda penetrasi ajaran radikaslime agama benar-benar tersusun secara sistematis. Tidak cukup di situ, mereka juga memanfaat teknologi untuk menyebarkan ajaran radikalisme lewat dakwah digital di media sosial.
Dewasa ini, tidak sedikit masjid-masjid bersekutu dengan para elite poltisi dan kelompok ekstremis. Dakwah pun dimanipulasi untuk memuluskan agenda ideologi-politik tertentu. Berdasarakan hasil penelitian CSRC UIN Jakarta di masjid-masjid Solo dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa masjid kini menjadi basis poliferasi ideologi radikal dan tunggangan partai politik tertentu. Akibatnya, dakwah Islam yang digemakan di masjid kehilangan ruh kehikmahannya yang sejuk. Dakwah tidak lebih menjelma sebagai penyulut api emosi masyarakat.
Baca juga :Aktualisasi Teologi Rekonsiliasi di Bulan Suci
Hakikatnya, dakwah Islam (QS. As-Saba’: 28) berfungsi untuk menyampaikan risalah berupa berita gembira tentang nilai-nilai kemanusiaan dan peringatan. Firman ini senada dengan misi kerasulan Muhammad yakni sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Oleh karena itu di bulan Ramadan ini merupakan momentum yan tepat untuk membumikan dakwah bil hikmah untuk menyemai perdamaian pasca konfrontasi kepentingan selama Pemilu 2019.
Biasanya, aktivitas dakwah di bulan Ramadan sangat massif dilakukan. Reorientasi dakwah Islam perlu dilakukan agar dakwah tidak lagi dimanipulasi oleh kepentingan ideologi-politik tertentu. Seharusnya, dakwah Islam menyeru umat untuk melakukan kebajikan (humanisasi), mencegah kemunkaran (liberasi), dan transendensi/kepatuhan kepada Allah swt. Idealisme dakwah Islam ini dilakukan dengan dakwah lisan, tulisan, dan perbuatan. Sayangnya, masyarakat Islam dewasa ini sering menyempitkan paradigma dakwah Islam sebatas pada lisan semata.
Nabi Muhammad sebagai teladan umat, selalu mengedepankan akhlak di setiap jejak langkah dakwahnya (dakwah bilhal) yang darinya dapat kita petik sebuah hikmah. Dakwah profetik ini merupakan representasi dari dakwah bil hikmah (QS. An-Nahl: 125). Para dai di era revolusi digital ini harusnya meneladani dakwah hikmah ala Rasulullah saw yang memberi teladan terbaik (QS. Al-Ahzab: 21) bukan dengan mencaci maki, dan menyebarkan ideologi-politik yang menyesatkan.
Fenomena dakwah digital di era revolusi industri 4.0 menjadi suatu tantangan bagi orientasi dakwah Islam sendiri. Tidak sedikit, para dai di media sosial bertujuan untuk mencari popularitas dan berhumor semata. Dengan berbekal pengetahuan keagamaan yang dangkal, mereka mengkoar-koarkan ajaran Islam yang sudah terideologisasi sehingga tidak heran apabila wajah Islam yang dikenalkan adalah wajah Islam yang marah dan tidak ramah.
Memasuki bulan Ramadan, para dai dituntut untuk membumikan kembali dakwah bil hikmah. Aktivitas dakwah Islam dengan hikmah harus digencarkan baik di masjid ataupun pertemuan-pertemuan lainnya seperti hal bi halal. Hikmah di sini diartikan sebagai al-’adl (keadilan), al-haq (kebenaran), al-‘ilm (pengetahuan), dan an-nubuwwah (profetik). Dakwah dengan hikmah diterjemahkan sebagai dakwah yang persuasif dan mampu memberi teladan yang terbaik dalam sikap dan perilaku, dengan mengedepankan sopan santun kepada siapapun.
Dakwah dengan hikmah mampu merealisasikan tujuan dakwah Islam yaitu sebagai kabar gembira dan peringatan (keinsafan). Dakwah dengan metode yang anarkis tidak akan mampu mendedah perasaaan keinsafan para audien. Kebanyakan dakwah Islam hari ini menyiarkan Islam pada sisi kognitif ajaran Islam semata. Dakwah yang dicerna umat Islam hari ini sebatas terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan as-Sunnah semata dan belum sampai pada tataran yang substantif.
Menyitir pernyataan Sujiwo Tejo dakwah harus didegungkan dengan hikmah yang sarat dengan seni, yang lekat dengan keindahan dan kesejukan. Betapa banyak dakwah Islam yang didegungkan dengan gejolak amarah yang berapi-api. Tidak heran, jika output dakwah anarkis ini tidak mampu melahirkan insan-insan agamis yang humanis. Dakwah radikal ini tidak akan mendedah kesadaran kemanusiaan dan keinsafan dan justru membelenggu hati dan pikiran manusia.
Bulan Ramadan sebagai bulan penuh ampunan dan rahmat adalah momentum untuk kita degungkan kembali spirit ukhuwah wathaniah dan islamiah lewat dakwah bil hikmah yang cinta damai. Dakwah profetik ini mengajak bangsa Indonesia ke jalan rekonsiliasi damai dan kerukunan pasca konfrontasi ideologi semasa Pemilu 2019. Dakwah ini akan mendedah perasaan keinsafan akan pentingnya menjaga silaturahmi dan saling memaafkan di bulan Ramadan rangka mewujudkan kerukunan bangsa.
Berpuasa di bulan Ramadan tidak hanya diartikan sebatas menahan lapar dan haus. Orang yang berpuasa khowasul-khowas harus menjaga dengan baik lisan, tangan dan perbuataannya karena ketiganya mengandung nilai dakwah. Mereka yang berpuasa tidak akan mendengungkan dakwah ideologi-politik yang sarat dengan kebencian dan intrik. Di bulan Ramadan adalah momen kita berdakwah dengan hikmah yang tidak hanya direpresengtasikan lewat lisan dan tulisan tetapi dengan memberi tindakan nyata yang berakhlak serta memberi teladan terbaik bagi orang banyak.