Hajatan demokrasi berupa Pemilu Serentak 2019 telah mencapai tahap anti klimaks. Yaitu rekapitulasi perhitungan suara yang dijadwalkan selesai pada 22 Mei 2019 mendatang. Namun, dinamika sosial politik masih pada posisi klimaks. Ketegangan masih terjadi. Bipolarisasi belum usai.
Di tengah kondisi ini, umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini menjalankan ibadah puasa Ramadan. Momentum datangnya bulan suci ini menjadi tepat guna meredakan ketagangan berbasis rekonsilisasi sosial politik nasional. Siapapun yang menang dan kalah, keduanya secara kstaria kembali berangkulan bersama membangun bangsa. Upaya hukum mesti tetap ditegakkan dan dihormati. Saling kritik bahkan menjadi keniscayaan yang dibutuhkan. Namun semuanya mesti dibingkai dalam spirit rekonsiliasi.
Teologi Rekonsiliasi
Rekonsilisasi merupakan manifestasi budaya saling memaafkan atau permaafan. Teologi Islam sangat menganjurkan pelaksanaan budaya tersebut. Sikap mudah memaafkan bukan berarti mengurangi ketegasan dan penegakan hukum. Namun rekonsiliasi merupakan jalan memutus budaya saling dendam yang berkepanjangan dan menjadi warisan yang rantainya sulit diprediksi hingga kapan.
Baca juga :Puasa: Memupuk Solidaritas di Dunia Maya
Pondasi teologi memaafkan banyak dijumpai dalam teks Al-Quran maupun Hadits. Antara lain firman Allah SWT, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf : 199). Selanjutnya juga pada firman, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah : 263). Ada lagi, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy-Syura : 43). Ayat lain dapat dijumpai misalnya pada QS. Al-Imran: 133-134, QS. An-Nisa : 149, QS. An-Naml : 46, QS. Hud : 3, dan lainnya.
Hadits pun banyak menyebutkan dalil memaafkan melalui Sabda Nabi SAW. Ada cerita yang masyhur terkait keutamaan saling memaafkan melalui hadits yang diriwayatkan Abu ya’la Al Maushili. Anas ra berkata : “Pada saat itu Rasulullah SAW sedang duduk bersama kami, tiba-tiba Beliau tersenyum hingga terlihat gigi serinya, kemudian sahabat Umar bertanya : ”Apakah yang menyebabkan engkau tertawa Ya Rasulullah ?”
Beliau menjawab: ”Ada dua orang berlutut di hadapan Allah SWT. Lalu yang satu berkata: ”Aku menuntut hakku yang dianiaya oleh saudaraku itu.” Maka Allah menyuruh orang yang menganiaya :”Kembalikan haknya”. Orang itu menjawab: ”Tiada sesuatupun kebaikanku dariku ini”.
Maka berkatalah orang yang menuntut itu: ”Suruhlah ia menanggung dosaku”. Kemudian Rasulullah SAW menangis dan bersabda: ” Sesungguhnya hari itu sangatlah mengerikan (hari akhirat), hari dimana semua orang menginginkan orang lain menanggung dosa-dosanya.
Lalu Allah SWT berfirman kepada yang menuntut tadi: “Lihatlah keatas kepalamu, perhatikanlah surga-surga itu. Maka ia mengangkat kepalanya lalu berkata: “Ya Tuhan, aku melihat gedung-gedung dari emas yang bertaburkan mutiara, untuk Nabi yang manakah?”
Allah menjawab: ”Itu untuk siapa saja yang membayar harganya.” Ia bertanya: “Siapakah yang dapat membayar harganya itu?” Allah menjawab: ” Engkau mempunyai harganya.” Ia berkata: “Apakah itu Ya Tuhan?” Allah menjawab: ” Memaafkan kawanmu itu.” Lansung ia berkata: “Aku memaafkan dia “
Maka Allah berfirman: ”Peganglah tangan kawanmu itu dan masuklah kalian berdua ke surga“. Kemudian Rasulullah SAW membaca “Fattaqullaaha wa ashlihuu dzaata bainikum, sebab Allah memperbaiki atau mendamaikan antara kaum mukminin dihari akhirat “.
Strategi Aktualisasi
Politik adalah jalan seleksi demokrasi guna membagi dan menjalankan konsep kekuasaan. Intinya menuju pada kemaslahatan dan pembangunan bangsa. Untuk itu kurang tepat jika dijalankan dengan suasana berpecahbelah hingga konflik sosial.
Elit politik mesti menjadi teladan dan meredam akar rumputnya. Capres dan cawapres mesti berada di garda depan upaya rekonsiliasi ini. Lepas dari menang atau kalah dan langkah hukum yang ditempuhnya. Politisi juga mesti mengikuti dengan upaya pendidikan politik kepada simpatisannya.
Publik mesti melek politik dan berpartisipasi secara proporsional. Partisipasi dilakukan secara damai dan demi bakti untuk negeri. Jangan sampai mudah tersulut dan termanfaatkan guna menjalankan praktik berdemokrasi yang kontra produktif.
Pemilu 2019 menjadi barometer kualitas demokrasi Indonesia. Salah satu aspeknya adalah berjalannya seluruh tahapan hingga pasca nanti secara berkedamaian. Rekonsiliasi menjadi tahap penting dalam tahap pasca nanti setelah pengumuman resmi KPU dan setelah selesainya gugatan sengketa hasil.
Momentum Ramadan ini menjadi waktu yang tepat bagi bangsa ini untuk menghentikan proses-proses politik yang tidak mencerdaskan dengan cara membangun rekonsliasi pasca kontestasi. Ramadan mengajarkan untuk mengendalikan emosi dan amarah untuk membangun kondisi yang lebih baik.