Alam demokrasi memberikan ruang kebebasan kepada siapa pun untuk mengekspresikan pendapatnya. Akan tetapi, ruang kebebasan itu sering disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstrem untuk mengeksploitasi demokrasi demi kepentingan mereka.
Tak jarang, pihak-pihak tertentu itu mengutuk demokrasi, menegasikan perbedaan pendapat, dan tidak bersikap ramah terhadap keberagaman, tetapi itu semua dilakukan di bawah alam demokrasi.
Pendek kata, demokrasi mempunyai dua sisi; satu sisi memberikan ruang positif-konstruktif, tetapi di sisi lain, saat yang bersamaan memberikan ruang negatif-destruktif. Pada sisi yang terakhir, demokrasi sering disalahkan sebab memberikan ruang kepada intoleransi.
Dalam konteks inilah terjadi paradoks. Di satu sisi, kita dituntut untuk menghormati, memahami, merangkul, bahkan memberdayakan pihak lain yang berbeda dengan kita. Keragaman harus dirawat, perbedaan harus diruwat. Semuanya atas nama toleransi.
Tetapi di sisi lain, ada pihak-pihak tertentu yang justru dengan sengaja berlindung atas nama toleransi untuk melakukan tindakan negasi, polarisasi, sikap tertutup, mau menang sendiri, tidak menghargai pihak lain, dan sederet tindakan negatif-destruktif lainnya.
Di sinilah kemudian, timbul pertanyaan: Apakah kita harus toleran kepada mereka yang melakukan tindakan intoleransi? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang lumrah diajukan, bahkan para pihak yang melakukan tindakan intoleransi dengan enteng menjawab: “jika kalian mempunyai kebebasan, maka kami juga mempunyai kebebasan.” Di mana batas kebebasan itu?
Asas Perdamaian
Sejatinya, kebebasan itu ada batasnya dan hubungan manusia itu ada standarnya. Batas dan standar itu adalah perdamaian. Semua tindakan dibolehkan dan dijamin selama ia tidak merusak asas perdamaian. Semua perbedaan pendapat absah dan legal, selama ia tidak mencederai perdamaian. Semua bentuk organisasi diberikan ruang, dijamin hak-haknya, tetapi dengan catatan asal tidak mendobrak asas perdamaian.
Baca Juga :Menggugat Atomisme Bahasa
Perdamaian adalah koentji. Semua hubungan manusia harus dibasiskan kepada perdamaian. Perdamaian harus menjadi titik tumpu sekaligus titik tuju manusia dalam konteks hubungan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara.
Negara dalam hal ini harus membuka ruang selebar-lebarnya kepada semua warga untuk mengekspresikan kebebasannya. Tetapi kebebasan itu harus tetap dalam koridor perdamaian.
Perdamaian adalah term sosial. Yang tidak mungkin terjadi bila hanya satu pihak saja yang aktif. Perdamaian adalah kerja kolektif-kolegial. Ia membutuhkan kerja bersama. Sebab ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, syarat objektif, yakni damai itu sendiri. Kondisi, ruang, dan waktu harus diciptakan secara bersama-sama dari lapisan masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat harus dikondisikan menuju kondisi damai. Tidak ada ketakutan, caci maki, eksklusivisme, penegasian, dan merasa paling benar.
Kedua, syarat subjektif. Artinya semua kalangan harus dengan sadar –tanpa paksaan –mau bergerak mewujudkan kondisi objektif tersebut. Jika kondisi damai itu karena ada paksaan, dilakukan dengan cara-cara militeristik, transaksional, maka ia tidak akan bertahan lama. Dan, tidak akan bisa mewujudkan perdamaian yang hakiki.
Kedua syarat ini penting, sebab hanya dengan ini, keberagamaan dan hubungan kemasyarakatan kita bisa harmoni dalam alam demokrasi. Dengan demikian, jika kembali pada pertanyaan judul di atas, apakah salah toleran terhadap intoleransi. Maka jawabannya adalah salah besar. Sebab dalam intoleransi tidak ada perdamaian.
Intoleransi tidak bisa memahami dan menghargai pihak yang berbeda dengan dia. Intoleransi bagaikan duri dalam daging. Hanya mau menang sendiri, benar sendiri, dan merasa paling unggul sendiri.
Untuk itu negara dalam hal ini harus membuat kebijakan agar tindakan-tindakan intoleransi itu bisa diredam. Negara tak perlu segan-segan untuk melakukan tindakan. Jika para pihak yang punya kecenderungan keras itu berdalih atas nama demokrasi dan kebebasan, harus dijawab bahwa apa yang mereka lakukan justru mencederai demokrasi dan kebebasan itu sendiri.
Kebijakan dan penangkalan itu tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dengan mempertimbangkan segala aspek. Jangan sampai juga terjebak pada lingkaran pemaksaan apalagi dilakukan dengan cara-cara militeristik. Negara harus berani mengatakan: Tidak ada ruang intoleransi dalam NKRI!