Menggugat Atomisme Bahasa

Menggugat Atomisme Bahasa

- in Narasi
573
1
Menggugat Atomisme Bahasa

Beberapa hari yang lalu publik dikejutkan oleh “himbauan” MUI Jawa Timur perihal untuk tak menggunakan salam dari berbagai agama sebagaimana yang selama ini kerap terdengar di forum-forum resmi yang bersifat non-keagamaan. Himbauan itu sepertinya khusus ditujukan pada para pejabat publik agar, seperti logika klasik, memberi teladan pada rakyatnya.

Pada forum-forum resmi kenegaraan umumnya para pejabat kita mengucapkan salam dengan mengambil salam dari berbagai agama yang diakui di republik ini: Assalamu’alaikum wr. Wb, Salam sejahtera, Syalom, Om swastiastu, Namo Buddhaya, Salam kebajikan, dan—barangkali—juga Rahayu.

Tapi saya tak akan menyoroti masalah ini dari sudut pandang agama. Saya pribadi, sepertinya, mengapresiasi langkah MUI tersebut. Bagaimana mungkin para ahli agama sampai semaju itu dalam menguasai dan menerapkan sebuah gerakan filsafat Barat: atomisme logis? Rupanya, MUI kita hari ini, tak sekedar menguasai kitab-kitab agama belaka. Mereka sudah sedemikian ampuh dengan menggunakan wacana-wacana kritis dari dunia filsafat untuk menunjukkan eksistensinya sebagai para ulama.

Dalah khazanah filsafat, atomisme logis berkaitan dengan prinsip yang menyatakan bahwa bahasa itu ibarat atom yang bersifat terpisah dan otonom. Atomisme logis merupakan genre khusus dalam filsafat analitik yang berfungsi untuk memeriksa penggunaan kata-kata. Sebab, tak selamanya kita kritis terhadap kata-kata yang kita ucapkan. Kerap kita menerima kata-kata itu secara apa adanya. Akibatnya, banyak silang-sengkarut, campur-baur, yang menyebabkan sesat pikir dan epistemologis.

Baca Juga :Memerdekakan NKRI dari Intoleransi Beragama

Taruhlah penggunaan beberapa istilah yang tampak semena-mena, meski sifat bahasa itu sudah dengan sendirinya semena-mena: “dekonstruksi.” Dalam dunia filsafat dan kritik sastra dekonstruksi merupakan salah satu cara dalam menghadapi teks. Ia membutuhkan langkah-langkah metodologis tertentu yang tak semua orang dapat melakukannya. Tapi kini istilah itu sudah mewabah dan kehilangan konteks awalnya. Orang dengan gampangnya mendamik sikap kritis atas isu tertentu sebagai sebentuk dekonstruksi yang terkadang orang-orang filsafat ataupun orang-orang kajian budaya geli mendengar kesewenang-wenangan pemakaian istilah itu—segeli ungkapan dagelan: “Cintaku mengalami turbulensi.”

Perkembangan lebih lanjut dari atomisme logis, yang mendekati rekan kontinentalnya semisal posstrukturalisme, adalah pendekatan Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953). Filosof yang tetap melajang sampai tuanya ini mengetengahkan penemuannya tentang “language games.” Secara sederhana, hal ini bermakna bahwa masing-masing sistem bahasa memiliki parameternya sendiri-sendiri di mana ketika satu parameter diterapkan pada sistem lainnya akan menyebabkan kerancuan dan goyahnya system itu sendiri, dan secara politis dapat dimaknai sebagai sebentuk “kekerasan” (violence). Di sini kita mesti ingat bahwa bahasa adalah cermin dunia. Dengan kata lain, bahwa sebuah budaya dapat ditentukan oleh bahasanya.

Ungkapan “Assalamu’alaikum,” dari sudut pandang di atas, jelas tak dapat disepadankan dengan, misalnya, ungkapan “Namo Buddhaya.” Dan alasan MUI Jawa Timur untuk tak mencampurkan ungkapan-ungkapan itu saya kira tepat: perbedaan teologis. “Assalamu’alaikum” —selain sapaan—adalah juga sebentuk doa: “keselamatan buat kalian.” Adapun “Namo Buddhaya” adalah sebentuk ungkapan untuk memuji Buddha: “terpujilah Buddha.”

Merujuk pada Wittgenstein, tentu saja dua ungkapan yang berasal dari dua tradisi yang berbeda secara diametral tersebut tak dapat disejajarkan. Ungkapan yang pertama berasal dari rumpun agama abrahamik yang percaya pada Tuhan yang personal. Sementara yang kedua berakar pada agama-agama non-abrahamik yang umumnya percaya pada Tuhan yang impersonal. Konsekuensi atas dua konsep ketuhanan ini jelas berbeda. Andaikata berpijak pada konsepsi Tuhan yang personal, maka kadar transendensi Tuhan lebih besar daripada imanensiNya, yang otomatis seperti ada “campur-tangan”-Nya pada setiap kejadian. Karena itulah dalam tradisi agama-agama abrahamik Tuhan acap dimaknai sebagai sang Pencipta.

Tapi bagi agama-agama non-abrahamik, khususnya Buddhisme, Tuhan itu bersifat impersonal. Terhadap hal-hal teologis semacam ini, konon, sang Buddha hanya bersabda: “Blowing out of the candle.” Dengan kata lain, seperti parabel yang kerap terdengar, bagi seorang yang sedang terkena anak panah pada betisnya sungguh tak peduli dari siapa atau dari manakah arah panah itu. Baginya, yang lebih mendesak, bahwa rasa sakit pada betisnya itu segera hilang.

Tapi bukankah konsekuensi etis dari atomisme semacam ini adalah terisolasinya kedua tradisi tersebut, di mana masing-masing seolah tertutup dan enggan berbagi ruang yang otomatis mengenyahkan pula keberagaman? Dan apakah hal itu mungkin di hari ini di mana interaksi manusia sudah tak lagi dapat dibatasi? Ataukah, untuk mengolah keberagaman itu, negara ini mesti menjadi sekular di mana ekspresi-ekspresi keagamaan mesti dibatasi di ruang-ruang publik? Dan bukankah himbauan MUI Jawa Timur itu justru seperti menginginkan opsi yang terakhir?

Sebagaimana posstrukturalisme, tampaknya pemikiran Wittgenstein menghadapi pula apa yang disebut sebagai problem pasca-modernitas: penguatan identitas dan radikalisme. Ketika segala sesuatu tak lagi dapat disepadankan, maka yang tersisa hanyalah klaim kebenaran. Ruang untuk dialog tertutup dan kebersamaan pun terancam (Memandang Cara Pandang Gus Dur, Heru Harjo Hutomo, http://www.gusdurian.net). Dengan demikian, rasanya kita perlu sadar bahwa agama apapun pada dasarnya juga memiliki dimensi yang terkadang meretas batas identitas. Dan kita, manusia, adakalanya layaknya seorang yang terkena anak panah pada betisnya di atas.

Facebook Comments