Wabah radikalisme tidak pandang bulu lagi. Ia bisa masuk ke mana dan siapa saja. Tua-muda, laki-perempuan, kaya-miskin terdidik dan tidak terdidik, tidak lepas dari bayang-bayang ancaman virus radikalisme.
Khusus kelompok terakhir, wabah radikalisme menjakiti sebagian mahasiswa, dosen, dan civitas akademika. Berbagai riset menunjukkan, bahwa perguruan tinggi tidak steril dari ancaman radikalisme. Bahkan, ada beberapa yang dengan nyata telah bersemai doktrin radikal.
Radikalisme yang menjangkiti kampus adalah kelompok-kelompok yang menyebarkan ideologi anti-Pancasila dan berambisi mendirikan negara khilafah dan terkait dengan jaringan teror global Negara Islam (ISIS).
“Melawan pemerintah, menolak demokrasi, itulah substansi yang dikenal oleh kelompok radikal kepada generasi muda.” Demikian ungkapan Irfan Idris, selaku Direktur Deradikalisasi BNPT.
Penolakan Ideologi Pancasila, sembari menarik masuknya ideologi radikalisme agama ke dalam kampus, sejatinya menunjukkan, bahwa di dalam kampus terjadi pertarungan ideologi.
Di satu sisi, pemerintah berusaha menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kampus, baik itu dengan seminar, workshop, maupun kegiatan Empat Pilar Goes to Kampus. Akan tetapi, di sisi lain, mahasiswa justru bersentuhan dengan ideologi yang bertolak belakang dengan Pancasila, baik di dapat melalui pengajian, halaqah, maupun kegiatan ekstra di luar kampus.
Radikalisme di Kampus
Azyumardi Azra dalam artikelnya Melindungi Perguruan Tinggi (Kompas, 2018), menyatakan ada beberapa parameter dan indikator radikalisme di kampus.
Pertama, adanya paham dan ideologi trans-nasional yang bertujuan membangun negara Islam atau khilafah islamiyah untuk menggantikan NKRI, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.
Baca Juga :Fundamentalisme Agama, Rekonstruksi Keindonesiaan dan Revitalisasi Pancasila
Radikalisme bentuk ini adalah radikalisme ideologi-politik, yang berkeyakinan bahwa sistem Islam (khilafah/negara Islam) adalah satu-satunya solusi alternatif dalam menyelesaikan segala persoalan. Bagi kelompok ini, khilafah adalah obat dari segala penyakit manusia dalam segala hal.
Kedua, adanya sikap takfiri. Takfiri adalah sikap yang mengkafir-sesakan pihak lain yang tidak sama dengan diri/kelompoknya. Bagi kelompok ini, semua di luar diri/kelompoknya adalah salah.
Sikap menganggap selalu benar mengakibatkan diri selalu tertutup, tidak bisa berdialog, membaur, dan dalam tahap akhir, selalu arogan. Kamilah yang paling benar, lain salah semua. Efeknya, intoleransi dan permusuhan tidak bisa dielakkan.
Ketiga, adanya pengharaman sikap toleran dan bermu’amalah secara baik dengan penganut agama lain. Bagi kelompok ini, agama lain adalah penghalang. Sebab, tidak suka dengan penerapan syariah secara kaffah.
Menegasikan agama lain lahir sebab konflik, konfrontasi, dan permusuhan klasik masih tetap dipelihara. Narasi dan teks yang diambil dari agama itu, hanya teks dan narasi yang bersifat frontal terhadap agama lain.
Arah Kegiatan Ekstra?
Penelitian terakhir menunjukkan, bahwa benih-benih radikalisme dan segala turunannya muncul dari kegiatan-kegiatan ekstra kampus. Sikap intoleran, tidak menghargai keragaman, merasa paling benar dan suci, menganggap pihak lain salah (takfiri), sebagian besar didapat dari kegiatan-kegiatan di luar kampus.
Selama ini, pihak kampus dalam beberapa hal lebih concern mengurus bagian dalam kampus, mulai kelas mengajar, proteksi dosen yang dicurigai berpaham radikal, membuat kurikulum yang lebih inklusif, sampai kepada acara-cara seminar, workshop, dan sejenisnya.
Sementara kegiatan-kegiatan ekstra kampus dalam beberapa kasus, justru terabaikan. Banyak mahasiswa di ruang kelas bersikap dan bertindak seperti biasanya, tetapi karena pengaruh komunitas, organisasi dan pengajian yang berafiliasi dengan ideologi radikal yang dia ikuti di luar kampus menjadikan dia bertindak di luar batas.
Kegiatan ekstra kampus tentu bukan satu-satunya jalan yang membuat seorang mahasiswa menjadi radikal atau ekstrem. Kedua penyakit ini adalah permasalahan kompleks yang sampai sekarang di setiap negara belum mendapat solusi yang manjur. Upaya yang dilakukan hanya sebatas meminimalisir, sementara menyelesaikan sepenuhnya butuh cara dan kerja keras dari semua pihak.
Sekalipun kegiatan ekstra kampus bukan satunya-satunya, akan tetapi sebagai pihak yang ikut menyumbang terjadinya radikalisme dan ekstremisne, ini perlu mendapat perhatian dari pihak kampus, pemerintah juga masyarakat, baik dalam bentuk regulasi, sanksi, maupun controlling dari warga.
Jalan Keluar
Menyelatkan kampus dari penetrasi ideologi radikal tidak ada cara lain selain membudayakan nalar kritis. Kritis terhadap apapun, tak terkecuali paham keagamaan. Budaya kritis bisa menggunakan kerangka Kemanusiaan, Keindonesiaan, dan Kebhinekaan sebagai tolak ukur. Jika ada yang berseberangan dengan ketiga nilai ini, maka harus ditolak.
Kemanusiaan adalah realitas filosofis yang menuntut manusia untuk saling menghormati dan menghargai sesama layaknya manusia. Keindonesiaan adalah realitas historis, rumah kita bersama yang wajib kita jaga dan kita lindungi. Kebhinekaan adalah realitas sosial, di mana manusia-manusia di dalamnya secara aktual memang berbeda-beda, yang wajib kita rawat.
Menjadikan ketiga nilai ini sebagai tolak ukur dalam nalar kritis akan bisa menghalau virus-virus radikalisme berupa intoleransi, takfirisme, dan sikap mau benar sendiri. Apa pun yang bertolak belakang dari ketiga nilai itu harus ditolak dan dilawan.
Intelektual sebagai manusia terdidik dan mempunyai daya kritis harus kebal dari bahaya kedua penyakit ini. Maka yang paling mendesak dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan daya kritisisme mahasiswa.
Selain membudayakan daya kritisisme kaum intelektual millennial, membumikan nilai-nilai juga perlu mendapat perhatian yang serius. Upaya ini tentu sudah dilakukan oleh Pemerintah dengan mensosialisasikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tuggal Ika. Dalam beberapa kegiatan acara ini mendapat respons yang serius dan antusias dari mahasiswa sebagai calon intelektual. Ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang berbondong-bondong mengikuti acara ini.
Sekalipun demikian, ajaran yang didapat mahasiswa di kegiatan ekstra dan luar kampus justru lebih efektif dan lebih berpengaruh terhadap pola pikir, bertindak dan bersikap dari mahasiswa. Ini terjadi, selain waktu yang mereka dapat di kampus lebih sedikit ketimbang di kegiatan ekstra kampus, juga materi yang didapat di luar/ekstra kampus lebih banyak ketimbang di dalam ruangan kelas.
Tentu apapun itu, radikalisme dan ekstremisne tentu merupakan musuh bersama, bukan hanya pihak kampus, apalagi hanya dibebankan kepada pejabat kampus dan dosen. Kedua penyakit ini adalah musuh dunia. Dibutuhkan kerja kolektif dan gandengan tangan untuk menghalau dan mengusir paham yang membawa kepada ekstremisne dan radikalisme yang mewujud dalam sikap intoleran dan takfirisme.