Pemahaman ihwal relasi agama dan negara dalam Islam banyak memunculkan perdebatan. Perdebatan di kalangan pemikir muslim itu umumnya dilatari oleh perbedaan interpretasi teks al Quran dan hadist yang menjadi rujukan utama dalam Islam. Secara umum, perbedaan pandangan ihwal relasi agama dan negara dalam Islam itu dapat diklasifikasikan ke dalam tiga paham.
Pertama, sekulerisme yang berpandangan bahwa Islam tidak mengaturs masalah kenegaraan. Pandangan sekuler meyakini bahwa Islam adalah seperangkat ajaran spiritual yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah. Para pendukung paham ini meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengatur kehidupan sosial-politiknya. Termasuk menentukan bentuk dan dasar negara sesuai dengan kebutuhan zamannya. Bagi kaum sekuleris, agama adalah wilayah prifat, sementera negara atau politik adalah wilayah publik.
Kedua, islamisme yang meyakini bahwa negara dan agama merupakan satu kesatuan (din wa al daulah) yang tidak dapat dipisahkan. Kaum islamis meyakini bahwa Islam merupakan agama yang tidak hanya mengurusi urusan spiritual, namun juga mengatur wilayah sosial-politik. Bagi kaum islamis, pendirian negara Islam dan penerapan syariah secara formalistic merupakan kewajiban bagi tiap muslim (fardlu ‘ain). Adapun yang dijadikan rujukan ialah negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Paham islamisme ini bisa dibilang merupakan anti-tesis dari paham sekulerisme yang dianggap representasi budaya Barat.
Di tengah perdebatan kedua paham tersebut ini muncul gagasan yang berupaya mencari jalan tengah antara sekulerisme dan islamisme. Gagsan itu lantas disebut sebagai paham moderatisme yang menegaskan bahwa meski di dalam Islam tidak ada aturan pasti tentang bentuk dan dasar negara, namun Islam tetap memiliki prinsip dan nilai dasar yang harus ditegakkan. Kalangan moderat berpandangan, Rasulullah semasa hidupnya tidak menggariskan sistem politik tertentu, namun ia menjadikan al Quran sebagai pedoman untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial politik.
Pancasila; Ijtihad Visioner
Jika dibaca dari tiga tipologi di atas, tampak jelas bahwa Pancasila merupakan jalan tengah antara paham sekulerisme dan islamisme. Meski berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia tidak serta-merta menjadi negara Islam dengan corak teokrasi. Namun demikian, Indonesia juga tidak mengenal pemisahan agama dan negara sebagaimana dipraktikkan oleh negara sekuler. Dalam perspektif NKRI dan Pancasila, agama dan negara adalah dua entitas yang saling melengkapi satu sama lain. Agama di satu sisi dibutuhkan olah negara sebagai sumber ajaran moral dan etika untuk mengatur tatanan sosial-politik. Sedangkan negara di sisi lain, diperlukan oleh agama untuk menaungi keyakinan dan aktivitas peribadatan para penganutnya. Relasi agama dan negara dalam bingkai ideologi Pancasila adalah relasi mutualistik alias saling menguntungkan.
Baca Juga :Reformasi, Kegalauan Ideologi dan Infiltrasi Islamisme
Lahirnya Pancasila sebagai alternatif ketiga di antara sekulerisme dan islamisme harus diakui merupakan terobosan pemikiran yang patut diapresiasi. Hal ini lantaran kedua paham (sekulerisme dan islamisme) tersebut menyimpan semacam cacat bawaan yang sukar diperbaiki. Paham sekulerisme memiliki kelemahan pada tidak adaptifnya negara pada agama. Ketika urusan agama dianggap sebagai urusan privat, maka negara akan cenderung menempatkan komunitas beragama sebagai entitas yang terpisah dari otoritas pemerintah.
Pada titik tertentu, paham sekulerisme berpotensi melahirkan gesekan antara komunitas beragama dan pemerintah. Bahkan, bukan tidak mungkin paham sekulerisme akan berujung pada munculnya sindrom “religio-phobia” yang sikap takut atau anti pada agama. Imbasnya ialah ekspresi keberagamaan di ruang publik akan dibatasi, atau bahkan dilarang sama sekali. Jika sudah demikian, maka pada dasarnya sekulerisme tidak berbeda dengan otoritarianisme.
Demikian pula paham islamisme yang dalam banyak hal memiliki sisi kelemahan, terutama jika diterapkan dalam konteks era modern yang berkarakter multikulturalistik. Dalam konteks zaman modern yang dinamis, terbuka dan plural konsep negara Islam jelas akan berhadapan dengan gagasan-gagasan modernisme seperti penghargaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan beragama, kesetaraan gender, demokrasi dan gagasan sejenisnya. Terlebih jika model negara Islam yang dijadikan contoh ideal adalah negara Madinah semasa Rasulullah yang konteks sosio-historisnya terpaut belasan abad dengan era modern-kontemporer.
Kondisi itu agaknya dipikirkan betul oleh para pendiri bangsa. Seperti kita ketahui, Indonesia terdiri atas entitas agama, budaya, suku dan ras yang beragam. Tentu akan menjadi problematis jika Indonesia mengambil bentuk sebagai negara Islam yang memberlakukan syariah secara formalistik. Namun, pilihan menjadi negara sekuler juga bukan alternatif yang menjanjikan mengingat masyarakat Indonesia sejak era Nusantara dikenal sebagai bangsa yang relijius. Dipilihnya negara berbentuk republik dengan dasar ideologi Islam adalah sebuah ijtihad para pendiri bangsa yang visioner.
Mengahalau Para Penumpang Gelap
Kini setelah NKRI dan Pancasila berusia 74 tahun, upaya-upaya untuk membuka kembali perdebatan mengenai dasar negara nyatanya masih mengemuka. Adagium “NKRI Harga Mati” mulai digugat kembali. Tarikan-tarikan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan syariah Islam kembali menguat. Anasir-anasir radikal itu berhasil memanfaatkan ruang kebebasan yang dihadirkan oleh Reformasi untuk memasarkan gagasan-gagasan yang justru bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Lebih ironis lagi, para pengusung gerakan radikal Islam itu adalah organisasi-organisasi keislaaman trans-nasional yang sebenarnya tidak memiliki andil dan peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka bisa dibilang organisasi-organisasi Islam yang gencar mengampanyekan negara Islam itu adalah penumpang gelap yang keberadaannya tidak dikehendaki. Mereka masuk ke Indonesia tanpa ijin, dan lebih parah lagi berupaya mengacak-acak tatanan yang sekian lama dibangun dengan keringat bahkan darah. Mereka tidak ikut berperang melawan kolonialis, namun mereka berupaya membajak kemerdekaan Indonesia demi kepentingan pragmatisnya.
Menghalau para penumpang gelap yang menyebarkan paham radikal keagamaan tentu tidak cukup melalui pendekatan hukum. Meski pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kaum pengasong paham khilafah, namun pada kenyataannya ideologi radikalisme tetap tumbuh subur di bumi pertiwi. Membubarkan organisasi barangkali adalah perkara mudah. Namun memberangus ideologi adalah hal lain yang perlu ikhtiar lebih besar. Untuk itulah, diperlukan sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk menjaga NKRI dan Pancasila dari ancaman kelompok radikal.
Salah satu strategi untuk menghalau kaum radikal yang berniat mengganti ideologi negara ialah dengan mengembangkan Islam kultural. Yakni corak Islam yang tidak berwatak ideologis-politis melainkan Islam yang adaptif pada nilai-nilai tradisi keindonesiaan. Dengan mengembangkan corak Islam kultural, diharapkan energi umat akan terfokus pada pemberdayaan sosial seperti mengurusi pendidikan, kesehatan, ekonomi dan pengembangan umat pada umumnya. Dengan mengembankgan Islam kultural, secara tidak langsung kita juga tengah mempromosikan wajah Islam yang ramah pada dunia internasional.
Corak Islam kultural inilah yang idealnya menjadi identitas keberagamaan muslim Indonesia dan menjadi unsur yang membedakan kita dengan muslim di kawasan Timur Tengah. Melalui penguatan Islam kultural, niscaya akan terwujud cita-cita Islam tentang keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan sekaligus tetap adaptif pada nilai-nilai modernitas. Untuk itulah, gerakan Islam kultural harus terus-menerus digelorakan oleh umat muslim, organisasi-organisasi keislaman dan tentunya pemerintah.