Fenomena akhir-akhir ini –terutama di media sosial –adalah adanya gejala yang membenturkan antara negara dengan agama. Tak jarang ada semacam keyakinan, bahwa NKRI ini belum sesuai dengan sumber Islam, yakni Al-Quran. Akibatnya, karena tidak dianggap sesuai, maka upaya untuk membela, menjaga, merawat, dan memajukannya dianggap bukan sebagai sebuah kewajiban.
Pada saat yang sama, karena agama adalah sesuatu yang sakral, tak boleh dihina, maka upaya untuk bela agama adalah suatu kewajiban. Munculnya anggapan bahhwa agama wajib dibela, sementara negara tidak wajib tentu menyalahi ajaran Islam itu sendiri.
Sebab, seperti yang diutarakan para konseptor –seperti Al-Ghazali umpamanya –agama dan negara adalah saudara kembar; agama negara adalah saudara sesuan. Keduanya wajib dijaga dan dirawat. Justru dalam konteks tertentu, perintah bela negara lebih eksplisit dari pada perintah bela agama.
Jika ada tokoh agama yang mempunyai jutaan jumlah followers di medsos yang secara terang-terangan menyatakan, bahwa nasionalisme tidak ada dalilnya, tentu ini sangat berbahaya. Pernyataan ini, selain menyalahi sejarah, juga menyalahi kandungan Al-Quran itu sendiri.
Dalam konteks ini saya kira, penjelasan bagaimana konsep bela negara –sebagai wujud nyata nasionalisme – menurut Al-Quran perlu dibicarakan segara, sebagai wacana tandingan. Untuk itu, bagaimana konsep bela negara menurut Al-Quran?
Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur
Secara eksplisit Al-Quran membicarakan istilah-istilah yang berkaitan dengan negara dan pemerintahan. Dalam hal ini ada tiga istilah yang ditemukan dalam Al-Quran, yakni balad (negeri/tanah air), sya’bun (bangsa), dan ulil amri (pemerintahan).
Baca Juga :Islam, Nasionalisme dan Wawasan Nusantara
Pertama, balad (negeri/tanah air). Dalam konteks kekinian bisa diterjemahkan sebagai negera atau tanah air. Kata balad dan semua derivasinya terdapat dalam Al-Quran sebanyak 19 kali.
Balad yang digambarkan oleh Al-Quran berkaitan dengan negeri atau tanah air yang diimpikan dan didoakan oleh Nabi Ibrahim. Yaitu negeri yang ditempati menjadi aman (Q.S Al-Baqarah [2]: 126; negeri yang baik di bawah ampunan Allah Swt (Q.S Saba’[34]: 15); negeri yang disumpahkan dengan yang dituju adalah Mekkah (QS al-Tin [96]: 3).
Dalam doanya, Nabi Ibrahim menyatakan: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, jadikanlah Negeri ini, negeri yang aman….. dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan… (QS Ibarahim [14]: 35-37).
Dari kata balad, maka konsep bela negara menurut Al-Quran adalah upaya terus-menerus dari segenap penduduknya secara fisik, psikis, dan moril untuk selalu menjaga dan mewujudkan keamanan serta upaya untuk menggapai kesejahteraan, yang dalam Al-Quran disimbolkan dengan buah-buahan.
Ini selaras dengan Pancasila, yakni aman sama dengan mensyaratkan adanya Persatuan Indonesia, rezeki buah-buahan sebagai simbol Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kedua, sya’bun (bangsa). Kata ini disebutkan 1 kali dalam Al-Quran, yakni QS. Al-Hujurat (49): 13. Menurut Ibnu Khaldu dalam karya monumentalnya Muqaddimah, bahwa asal usul negara-bangsa adalah adanya rasa kebersamaan dalam satu kelompok (‘ashabiyah).
Adanya perasaan solidaritas dan satu kelompok tentu prasyarat utama dalam bela negara. Dengan perasaan satu kelompok akan terwujud cinta kasih, tanggung jawab, kesetiakawanan, kerjasama dalam merawat dan melindungi negara, baik itu dari dalam maupun dari luar.
Dari sinilah kemudian istilah hub al-wathan min al-iman, cinta tanah air bagian dari iman, yang pada tahap selanjutnya melahirkan persatuan dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham).
Ketiga, ulil amr (pemerintah). Dalam Islam fungsi pemerintah sangatlah urgent. Tidak tanggung-tanggung, Al-Quran dalam surah al-Nisa’ (4): 59 menyuruh agar pentingnya taat kepada ulil amr, selama tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Yang bisa ditarik dari sini dalam konteks bela negara adalah, bahwa Al-Quran mendorong rakyat –dalam bahasa agama disebut umat –agar terus mendukung pemerintah yang sah secara konstitusional selama masih dalam jalur yang benar. Maka tindakan pemberontakan, aksi terorisme dan pengkhianatan yang merongrong kesatuan negara menyalahi semangat Al-Quran.
Ketiga poin ini menunjukkan bahwa Al-Quran sejak dini sangat mendukung dan menganjurkan tentang bela negara. Ini bukan hanya sebuah konsep, tetapi sudah dilaksanakan oleh para pendahulu bangsa ini dan ulama-ulamanya. Mulai dari Imam Bonjol, Pengeran Diponegoro, Antasari, sampai kepada resolusi jihad Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari.
Bagi nama-nama ini, bela negara adalah sebuah kewajiban. Dengan ini, nasionlisme sebagi perwujudan bela negara dan cinta tanah air sama sekali tidak berseberangan dengan Islam, bahkan sesuai dengan semangat Islam. Dengan demikian, pernyataan tokoh agama seperti disebut di atas tertolak dengan sendirinya.
Penjelasan di atas justru menyatakan sebaliknya, bahwa membela negara mendapat legitimasi dari ajaran agama. Artinya bela negara sama dengan dengan bela agama. Keduanya masuk dalam kategori al-dururiyah al-khamsah (lima prinsip pokok). Jika yang pertama masuk ketegori hifz al-din (melindungi agama), maka yang kedua masuk ketegori hifz al-nasl (melindungi generasi). Tanpa keamanan, kenyamanan, dan kedamaian negara, proses regenerasi anak cucu untuk melanjutkan cita-cita bangsa tak akan terjadi.