Mengenang Jasa Syafruddin Prawiranegara dan PDRI

Mengenang Jasa Syafruddin Prawiranegara dan PDRI

- in Narasi
749
1
Mengenang Jasa Syafruddin Prawiranegara dan PDRI

Indonesia pada 19 Desember 1948 berada dalam situasi genting dan mencekam. Kala itu, Yogyakarta sebagai ibu kota negara dibekuk oleh Agresi Militer II Belanda. Presiden Soekarno tertangkap, dan tidak lama kemudian, wakil presiden Mohammad Hatta juga mengalami hal serupa.

Beruntung, sebelum Bung Hatta ditangkap tentara Belanda, ia sempat mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemamuran RI, yang waktu itu sedang berada di Bukittinggi. Hatta menginstruksikan kepada kawan seperjuangannya ini agar memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia ke depan, setelah ia dan Bung Karno ditangkap paksa oleh penjajah Belanda.

Akmal Nasery Basral menulis buku Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia (2011), yang di dalamnya merekam detik-detik situasi genting yang mengancam eksistensi RI pada tahun 1948 tersebut. Di buku ini, Akmal menarasikan bukti-bukti sejarah—semula berupa dokumen atau manuskrip-manuskrip kearsipan—yang menunjukkan pada peralihan kekuasaan sementara, yang dikenal dengan sebutan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Pembentukan PDRI melewati rapat koordinasi yang sangat alot di antara menteri-menteri lain, seperti Mr. Sutan Mohama Rasyid, Menteri Keamanan yang merangkap sebagai Menteri Sosial serta Menteri Pembangunan dan Pemuda; Mr. Teuku Mohammad Hasan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama; dan Letnan Jenderal Sudirman, sebagai panglima perang. Bukan semata-mata memperebutkan jabatan kekuasaan, tapi lebih memikirkan nasib dan masa depan bangsa yang berdiri tegak baru seumur jagung.

Situasi politik kian tak menentu. Pemerintahan nyaris lumpuh. Daerah teritorial RI juga terancam diambilalih kembali oleh penjajah. Hanya ada tiga daerah: Yogyakarta, Bukittinggi, dan Aceh, yang tidak merupakan bagian negara federal bentukan Van Mook. Tiga tempat ini adalah benteng terakhir dalam mempertahankan Republik.

Kuding, sapaan akrab Syafruddin waktu itu masih berusia 37 tahun. Namun garis wajahnya konon seakan-akan 10 tahun lebih tua dari umur sebenarnya. Ia memiliki gelar Mr. (Meester in de Rechten), sarjana hukum, yang dilihat rakyat sebagai salah satu pekerjaan yang banyak mengandalkan kemampuan bicara. Pembawaannya selalu serius dan tegas. Tapi ia bukan tipe pejuang orator seperti Bung Karno. Justru ia cenderung pendiam, untuk seorang sarjana hukum.

Baca Juga :Jihad Membingkai Nasionalisme di Era Digital

Yang menarik, proses pemilihan presiden pengganti Soekarno-Hatta—walau hanya sementara, berkisar 270 hari—tidaklah diperebutkan sebagaimana terjadi pada era kekinian. Teuku Mohammad Hasan dan Syafruddin sama-sama menolak ketika peserta rapat koordinasi itu mengusulkan agar salah satu di antara mereka menjadi semacam ‘presiden’ sementara.

Syafruddin lebih memilih Teuku Mohammad Hasan, karena ia paling senior di antara pejuang-pejuang lain, dan ditambah pula mempunyai pengalaman politik yang cukup banyak sejak menjadi anggota PI di Belanda. Sebaliknya, Teuku Mohammad Hasan lebih setuju jika jabatan presiden sementara diamanahkan kepada Syafruddin, sebab ia adalah anggota kabinet dan pejabat dengan posisi tertinggi. Di samping itu, Syafruddin merupakan orang kepercayaan Bung Hatta.

“Saya percaya, Bung Hatta pun sudah membahas soal itu dengan presiden Soekarno sebelum menunjuk Pak Syaf. Jadi, secara tersirat Bung Karno juga sudah setuju akan kemampuan Pak Syaf dalam menangani problem di sini (Sumatera). Dari sisi tata negara, ada dasar legal yang sangat kukuh bahwa jika para anggota kabinet sudah tak efektif lagi di Yogyakarta, satu-satunya alternatif adalah dengan menunjuk anggota kabinet yang masih bebas, dan sulit dijangkau pemerintah Belanda. Dan orang yang cocok memenuhi syarat itu adalah Pak Syaf”, tutur Teuku Mohammad Hasan bersemangat (Basral, 2011: 131).

Akhirnya, forum bersepakat Syafruddin Ketua PDRI, dan Teuku Mohammad Hasan sebagai wakilnya. Istilah ‘Ketua’ ini oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai ‘Presiden’, tapi atas usul Syafruddin, baiknya menggunakan istilah ‘Ketua’ daripada ‘Presiden’, sebab khawatir dituduh makar. Yang pasti, di tangan segelintir orang inilah, roda pemerintahan RI tetap dijalankan.

Strategi yang digunakan dengan mengendalikan pemerintahan dari jarak jauh. Mereka menyebar ke sudut-sudut daerah terpencil, yang lokasi namanya asing bagi Belanda. Tujuannya, tentu saja agar tidak terdeteksi dan sulit dijangkau oleh Belanda. Siaran radio menjadi alat komunikasi utama untuk membangun opini publik tentang situasi nasional Republik.

Kepada Syafruddin, kita, sebagai bangsa berhutang budi. Syafruddin berkontribusi dan berjasa dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Facebook Comments