Radikalisme, Bela Negara, dan Semesta Partisipan

Radikalisme, Bela Negara, dan Semesta Partisipan

- in Narasi
442
2
Radikalisme, Bela Negara, dan Semesta Partisipan

Bela negara dalam arti menciptakan keamanan, kedamaian, dan kenyamanan, sejatinya adalah tugas bersama. Bela negara bukan hanya kewajiban eksklusif pemerintah dan militer. Segala yang bisa merusak kedamaian, maka setiap anak bangsa wajib ikut berpartisipasi.

Sekarang ini, salah satu yang merusak kedamaian itu adalah radikalisme beserta segala turunannya. Radikalisme merusak tatanan yang harmoni, hubungan masyarakat yang guyub, menyebabkan polarisasi dan konflik yang menganga.

Radikalisme layak disebut sebagai penghancur kedamaian dan kenyamanan. Perbedaan pendapat, keragaman, dan pluralitas manusia menjadi azab, bukan jadi nikmat.

Kita dengan mudah mendapati fenomena “Menerima kos muslim”, “menerima kos putri muslimah”, “lowongan kerja, syarat: pria/wanita muslim”. Itu adalah fenomena eksklusifitas yang menjamur di kota-kota besar. Ini adalah wujud intoleransi dalam bentuk penegasian terhadap kelompok lain.

Fenomena ini tentu sangan berbahaya jika dibiarkan terus-menerus. Hubungan yang harmonis, saling memahami dan memberdayakan tidak mungkin tercipta jika antar agama tidak saling menerima.

Eksklusifitas, hanya mau menerima agama/kelompoknya sendiri merusak tenun kebangsaan yang sudah lama dirajut oleh para pendahulu kita. Semangat kebangsaan yang mendobrak sekat-sekat primordialisme, baik itu suku, budaya, agama, dan keyakinan.

Baca Juga :Bela Negara Sebagian Daripada Iman

Penegasian terhadap kelompok lain akan menimbulkan saling curiga. Diskriminasi, polarisasi, bahkan dalam level tertentu: konflik –bisa terjadi bila fenomena ini tidak segera ditangani. Untuk itu, merayakan perbedaan dalam bingkai kebinekaan adalah tugas bersama, yang tak bisa ditunda-tunda lagi.

Kompleksitas Radikalisme

Radikalisme sejatinya sangat kompleks, ia tidak bisa direduksi hanya dalam satu aspek, sebab, motif, atau unsur tertentu. Kekompleksan ini bisa dilihat dari aksi-aksi selama ini terjadi. Ada motif ekonomi, ideologi, politik, pemberontakan, bahkan agama.

Radikalisme bisa jadi karena sebab ekonomi. Ketidakadilan terjadi, ketimpangan, dan pilih-kasih pemerintah. Radikalisme ini tentu bisa ditanggulangi dengan membuat kebijakan yang lebih adil, inklusif, dan tidak diskriminatif.

Ada juga radikalisme dalam bentuk politik, Muncul sebab ingin memisahkan dari negara, atau ingin balas dendam sebab kepentingannya tidak bisa diakomodir. Kebijakan akomodatif dan inklusif bisa menjadi jalan solusi.

Radikalisme bentuk ideologi dengan legitimasi agama adalah salah satu bentuk yang paling susah ditanggulangi. Dengan dalil agama, pihak lain dinegasikan, perbedaan dianggap azab, dan pluralitas adalah bencana.

Semua bentuk radikalisme ini tentu bermuara pada satu sikap, yakni intoleransi. Sikap yang tidak mau memahami, bekerjasama, dan memberdayakan pihak lain.

Wabah intoleransi sangat berbahaya dalam hubungan kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara. Sikap intoleran yang tidak mau memahami, berlapang dada, dan memberdayakan pihak lain –bagaikan duri dalam daging. Inilah salah satu ancaman terbesar yang menghantui Indonesia.

Dengan demikian, virus radikalisme –sebagai bagian tak terpisahkan dari intoleransi –bersifat acak, sulit dideteksi lokus, aktor, sebab-musabbanya, ditambah agama sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia sering dibawa-bawa sebagai alat legitimasi.

Semesta Partisipan

Sebab radikalisme kompleks, maka cara menanggulanginya juga harus dengan pendekatan kompleks. Bela negara dalam arti membebaskan diri dari belenggu virus radikalisme, harus ditempuh dengan beragam, multi, inter, dan trans pendekatan dan melibatkan semua kalangan. Inilah yang disebut dengan semesta partisipan. Artinya semua lini, aspek, pendekatan harus berpartisipasi ikut bela negara.

Radikalisme tidak bisa ditangkal hanya sekadar dengan amunisi, tetapi juga harus melibatkan akademisi. Tidak bisa hanya dengan bedil, tetapi juga harus dengan dalil.Tidak bisa hanya dengan otot, tetapi juga harus dengan otak. Tidak bisa hanya dengan laras panjang, tetapi juga harus dengan hati yang lapang.

Bela negara tentu bukan hanya dengan cara militeritik. Bisa juga –bahkan dalam konteks sekarang ini yang paling urgen –dengan cara partisipatif sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Bela negara pendidik dengan mendidik anak bangsa agar tidak terperangkap dalam virus radikalisme. Bela negara tokoh agama, mengampanyekan agam yang damai dan santun. Bela negara mahasiswa mengawal kebijakan agar tidak diskriminatif, bela negara akademisi membuat konsep penanggulangan radikalisme-terorisme. Bela negara ekskutif dengan cara menjalankan amanat undang-undang. Begitu seterusnya. Semuanya ikut berpartisipasi. Bela negara adalah panggilan semesta yang semunya harus hadir dan ikut aktif berpartisipasi.

Facebook Comments