Pasca mencuatnya anjuran Ketua BPIP Yudian Wahyudi untuk mempopulerkan kembali Salam Pancasila, media sosial segera riuh oleh komentar yang bernada merendahkan. Bahkan, beredar sebuah video parodi yang menggambarkan seorang laki-laki tengah mengetuk pintu lalu mengucapkan salam Pancasila. Pembuat video itu mungkin bermaksud melucu. Dan ia telah sepenuhnya gagal, lantaran video itu sama sekali tidak mengandung unsur kelucuan. Apa yang tampak dari video itu ialah kebebalan, atau lebih tepatnya kemalasan berpikir dalam memahami secara utuh gagasan mempopulerkan salam Pancasila sebagaimana disampaikan ketua BPIP.
Barangkali hanya manusia bebal yang berpikir bahwa salam Pancasila diperuntukkan dalam konteks bertamu seperti digambarkan oleh pembuat video tersebut. Pemahaman yang demikian ini sungguh dangkal, dan gagal menangkap esensi dari salam Pancasila yang sesungguhnya. Ketika Sukarno menggagas salam nasional berupa teriakan “Merdeka”, hal itu dimaksudkan untuk membangun semangat dan optimisme di kalangan anak bangsa. Bukan bertujuan untuk menggantikan ucapan salam sebagaimana sudah mentradisi di masyarakat. Demikian pula, ucapan salam Pancasila juga tidak bermaksud menggeser keberadaan ucapan salam yang sebelumnya sudah menjadi bagian dari komunikasi masyarakat.
Selain itu, penggunaan salam Pancasila juga lebih cenderung spesifik, alias tidak bisa diucapkan di sembarang tempat dan waktu. Salam Pancasila akan cocok diucapkan di forum-forum resmi atau semi-resmi yang dihadiri oleh masyarakat yang berasal dari tradisi agama dan budaya yang berbeda. Misalnya, dalam pembukaan sebuah forum publik dimana di dalamnya hadir masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia dan berlatar agama yang berbeda, maka salam Pancasila menjadi relevan dan urgen diucapkan.
Revolusi dalam Sejarah Bangsa
Satu hal yang sebenarnya patut kita elaborasi lebih lanjut ialah apakah anjuran salam Pancasila oleh Ketua BPIP itu efektif meredam berbagai persoalan kebangsaan yang belakangan ini deras menerpa Indonesia? Sebagai sebuah bahasa simbolis, salam Pancasila kiranya mampu menganulir ketegangan sosial yang mungkin timbul akibat perbedaan agama, suku, ras, bahasa dan lain sebagainya. Namun, harus diakui bahwa hal itu hanya akan menyelesaikan persoalan kebangsaan di level permukaan. Persoalan kebangsaan yang kompleks dan kadung mengakar di negeri tentu harus diselesaikan dengan langkah yang lebih konkret dan subtansial. Di titik inilah kita membutuhkan apa yang diistilahkan oleh Yudi Latif sebagai revolusi Pancasila.
Baca Juga : Pancasila Itu Agamis
Dalam bukunya yang berjudul Revolusi Pancasila, Yudi Latif mendefinisikan revolusi Pancasila sebagai suatu ikhtiar perubahan mendasar secara akseleratif pada sistem sosial meliputi ranah material, mental, politikal berlandaskan prinsip-prinsip Pancasila, dalam usaha mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, baik material maupun spiritual.
Revolusi Pancasila, lanjut Latif, memiliki kekhasan yang membuatnya berbeda dengan revolusi-revolusi lain, seperti revolusi Perancis 1978, revolusi Bolshevik Rusia 1917. Revolusi Perancis 1978 merupakan revolusi kaum borjuis yang berlandaskan pada nilai-nilai individualisme dan menghasilkan sebuah republik berbasis sistem kapitalisme. Revolusi Perancis dengan slogannya, liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) menjadi cikal bakal kemunculan sistem demokrasi modern.
Namun, dalam perkembangannya demokrasi yang menjadi agenda revolusi Perancis itu hanya memberi keuntungan pada kelompok borjuis dan di saat yang sama justru mengabaikan hak dan kepentingan masyarakat kelas bawah.
Demikian pula, revolusi Rusia 1917 yang juga dikenal sebagai revolusi kaum sosialis. Revolusi Rusia pada dasarnya merupakan gerakan sosial-politik yang dimotori oleh kaum kelas pekerja dan golongan proletar yang mengagendakan terciptanya masyarakat tanpa kelas dengan melenyapkan kelas borjuis-kapitalis. Tujuan utama revolusi sosialisme Rusia ialah mendirikan kediktaroran proletariat sebagaimana diajarkan oleh aliran filsafat marxisme-leninisme.
Namun, nyaris sama dengan revolusi Perancis, revolusi Rusia pun gagal mewujudkan agendanya. Masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan pun tampaknya hanya utopia belaka. Sebaliknya, pemerintahan sosialis yang mengatasnamakan kepentingan proletariat justru mengarah pada watak otoritarianisme, abai pada prinsip demokrasi dan mengekang kebebasan rakyat. Revolusi Pancasila, berusaha lepas dari jebakan ideologi dan paham materialisme sebagaimana menjadi penopang revolusi Perancis dan revolusi Rusia.
Semangat Revolusi Pancasila
Berbeda dari revolusi Perancis dan Rusia, tujuan dan agenda revolusi Pancasila dapat dipetakan ke dalam setidaknya lima komponen pokok. Pertama, revolusi nasional yang bertujuan untuk membebaskan bangsa dari segala bentuk imperalisme dan kolonialisme dalam rangka membentuk sebuah bangsa yang benar-benar merdeka, berdaulat dan mandiri.
Kedua, revolusi politik yang bertujuan melakukan perombakan mendasar terhadap sistem politik demokratis kerakyatan secara terpimpin oleh hikmat dan kebijaksaan atau dilandasi dengan nilai serta prinsip Pancasila.
Ketiga, revolusi ekonomi yang bertujuan untuk menghapuskan sistem ekonomi kapitalistik-kolonialistik, menjadi sistem ekonomi nasional yang merdeka, berkeadilan dan berkemakmuran.
Keempat, revolusi sosial yang bertujuan untuk mengubah struktur sosial masyarakat feodalistik dan kapitalistik yang bersifat diskriminatif menjadi struktur masyarakat Pancasilais yang bersifat egaliter dengan semangat persatuan nasional yang mengatasi kepentingan perseorangan dan golongan.
Kelima, revolusi budaya yang bertujuan untuk menghapus berbagai bentuk sisa-sisa kebudayaan feodalistik dan kapitalistik-imperialistik, untuk digantikan dengan kebudayaan baru yang lebih emansipatif. Revolusi kebudayan ialah revolusi yang memunculkan kebudayaan yang berkarakter progresif yang sesuai dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia.
Revolusi Pancasila tentu bukan revolusi berdarah yang diwarnai penggulingan pemerintahan yang sah. Revolusi Pancasila ialah proses perubahan yang radikal, namun dilakukan dengan pendekatan sosial, politik dan budaya yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Untuk itulah, wacana revolusi Pancasila harus dieksekusi ke dalam kebijakan nyata pemerintah.
Tahapan revolusi Pancasila dimulai dari yang aspek sosial-budaya keagamaan. Aspek ini dipilih sebagai tahap pertama bukan tanpa alasan. Selama ini, nyaris seluruh paradigma, cara pandang dan perilaku masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya dan agama.
Di bidang kebudayaan, kita memerlukan sebuah gerakan yang mampu mengikis mental feodalistik-kolonialistik dan mental inferior (inferiority complex). Revolusi di bidang kebudayaan harus berani membuang budaya lama yang buruk dan berani mengadaptasi nilai-nilai baru yang sesuai dengan kepribadian dan jati-diri bangsa serta sejalan dengan prinsip Pancasila.
Di bidang sosial, revolusi Pancasila idealnya mampu memperkuat kohesi sosial dalam bingkai Pancasila. Untuk itu, revolusi Pancasila harus diarahkan untuk melahirkan masyarakat yang egaliter, dimana semua kelompok agama dan budaya memiliki posisi dan kedudukan yang setara. Revolusi Pancasila di bidang sosial ditempuh melalui pembentukan kesadaran masyarakat akan pentingnya tata kehidupan sosial yang menghargai sesama. Terakhir, di bidang keagamaan, revolusi Pancasila diharapkan mampu membumikan konsep keberagamaan bercorak inklusif. Inklusivisme keberagamaan merupakan cara pandang yang menempatkan kelompok agama yang berbeda sebagai mitra, alih-alih musuh yang harus dinegasikan. Revolusi Pancasila di bidang keagamaan bertujuan untuk menghapus fenomena konservatisme dan radikalisme agama yang belakangan ini mengancam ikatan kebangsaan kita.