Konon, jika terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas di jalanan di Indonesia, akan ada dua kelompok yang meresponsnya secara berbeda. Pertama ialah mereka yang sesegera mungkin memberikan pertolongan. Kedua ialah mereka yang menanyakan identitas pada korban, apa agamanya, apa ideologinya dan apa pilihan politiknya? Jika identitas agama dan politik korban sesuai dengan yang diharapkan, maka mereka akan memberikan pertolongan. Namun, jika tidak mereka pun enggan memberikan pertolongan.
Cerita itu memang hanya anekdot yang menyebar di kalangan masyarakat. Namun, harus diakui cerita itu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Saat ini, spirit komunitarianisme tergeser oleh fanatisme keagamaan. Akibatnya, banyak umat Muslim Indonesia hari ini yang hanya mau bersolidaritas terhadap kelompok sesamanya saja.
Fenomena solidaritas berbasis kesamaan identitas ini tampak misalnya dalam aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan sejumlah ormas Islam dalam merespons isu keagamaan di sejumlah negara. Beberapa waktu lalu, ketika isu penindasan Muslim Rohingya mencuat ke publik, berbagai aksi demo dilakukan oleh sejumlah ormas Islam. Begitu pula ketika isu Muslim Uyghur di China merebak, protes terhadap China dan seruan untuk memboikot produknya gencar disuarakan oleh sejumlah ormas Islam.
Terakhir, konflik sektarian di India juga direspons secara reaktif oleh umat Muslim Indonesia. Sejumlah ormas Islam menggelar demonstrasi disertai ancaman sweeping. Mereka selalu mengklaim aksi tersebut sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan. Klaim ini patut diragukan mengingat kentalnya aroma fanantisme keagamaan di setiap aksi tersebut. Terlebih, mereka justru tidak pernah muncul dalam merespons isu-isu intoleransi atau kekerasan yang dialami kaum minoritas di Indonesia.
Hilangnya Altruisme
Hari-hari belakangan ini, kita kehilangan satu kosakata penting dalam perbendaharaan bahasa kita, yakni altruisme. Kata itu sudah jarang sekali diucapkan, apalagi dipraktikkan. Saat ini, harus diakui kita lebih akrab dengan kata pragmatisme, individualisme, eksklusivisme atau aroganisme, karena istilah-istilah yang kita praktikkan sehari-hari. Apa itu altruisme dan mengapa kata itu harus hadir dan dipraktikkan dalam relasi sosial-keagamaan kita?
Baca Juga : Solidaritas Kemanusiaan yang Keblablasan
Istilah altruisme berakar dari Bahasa Perancis, autruiyang bermakna living for other alias hidup bagi yang lain. Kata ini pertama kali dipopulerkan oleh filosof pendiri aliran positivisme, yakni Auguste Comte. Di ranah filsafat, altruisme dipandang sebagai sebuah sikap tertinggi dalam tahap perjalanan paham humanisme. Altruisme adalah sebuah paham atau cara pandang yang mendorong manusia berbuat baik, bijaksana dan bertanggung jawab tanpa bergantung pada ajaran agama apa pun.
Dalam konteks masyarakat modern-kontemporer, altruisme kerap dimaknai sebagai sebuah sikap tanpa pamrih dalam melakukan kebaikan. Manusia altruis ialah manusia yang berbuat kebaikan tanpa motif apa pun, kecuali kesadaran diri bahwa tindakan baik ialah keharusan, untuk juga mengatakan keniscayaan.
Jika seseorang menolong orang yang mengalami kecelakaan di jalan, maka ia tidak perlu berpikir panjang bahwa hal itu diajarkan oleh agama, apalagi sampai berpikir ihwal kesamaan identitas keagamaan antara dirinya dan si korban. Itulah tindakan altruis dalam pemaknaan yang paling sederhana.
Dalam tradisi filsafat etika, konsep kebijaksanaan (wisdom) mencapai puncaknya pada gagasan altruisme. Aristoteles misalnya, yang dikenal dengan gagasan etika eudomonia-nya meyakini bahwa kebahagiaan manusia yang hakiki bisa diraih ketika manusia mampu berbuat baik dengan tanpa pamrih dan berharap imbalan apa pun.
Sejalan dengan Aristoteles, filosof aliran rasionalisme Immanuel Kant menjelaskan bahwa berbuat kebaikan adalah keniscayaan yang tidak membutuhkan pertimbangan moral apalagi rasional. Berbuat baik yang dilakukan tanpa motif dan tujuan, kata Kant, memiliki nilai yang lebih mulia ketimbang yang dilakukan demi motif tertentu, meski pun hanya demi kepuasan pribadi.
Membuang Fanatisme
Konsep altruisme kiranya relevan dikembangkan di tengah dunia yang sedang dijangkiti virus fanatisme agama dan politik. Di kondisi yang serba segregatif ini, kita sulit membangun sebuah ikatan solidaritas kemanusiaan yang steril dari kepentingan. Aksi solidaritas kemanusiaan hari ini lebih sering diwarnai oleh kepentingan politik dan fanatisme agama.
Padahal, jika kita merujuk pada ajaran universalitas Islam, gagsan solidaritas kemanusiaan sebenarnya tidak mengenal sekat perbedaan. Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa “tidak sempurna iman seseorang, jika ia belum mencitai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Ini artinya, konsep persaudaraan manusia dalam Islam sesungguhnya berlaku secara universal. Konsep solidaritas kemanusiaan universal ini pernah dipraktikkan di kota Madinah, dimana masyarakatnya terdiri atas beragam suku dan agama yang berbeda.
Dengan komitmen penuh masing-masing kelompok, perbedaan suku dan agama itu nyatanya tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Madinah untuk saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain. Solidaritas kemanusiaan berbasis universalitas Islam yang berhasil diwujudkan melalui Piagam Madinah itu menjadi fondasi terbentuknya masyarakat Islam periode awal.
Corak relasi sosial masyarakat Madinah yang pluralis membuktikan bahwa konsep solidaritas dalam Islam tidak mengenal perbedaan. Solidaritas Islam ialah konsep solidaritas kemanusiaan universal yang mampu melampaui sekat-sekat agama, bahasa, suku, ras, warna kulit dan identitas sejenisnya.
Ironisnya, semakin ke sini konsep solidaritas Islam yang bertumpu pada asas kemanusiaan universal itu kian dilupakan. Solidaritas di kalangan umat Muslim hari ini lebih dilandasi oleh fanatisme, sektarianisme dan primordialisme. Sebagian umat Muslim, termasuk di Indonesia cenderung hanya mau bersolidaritas kepada pihak yang diidentifikasi sebagai bagian dari kelompoknya. Kita pun gagal membangun ikatan solidaritas kemanusiaan universal yang kokoh. Imbasnya, umat Muslim terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil yang saling berkonflik satu sama lain.
Penting bagi umat Muslim kontemporer mengembangkan solidaritas kemanusiaan yang bertumpu pada altruisme dan universalitas Islam. Sikap altruis akan menghindarkan kita dari jebakan solidaritas semu yang terkotak-kotak ke dalam mazhab, aliran, ideologi serta pandangan politik. Sedangkan universalitas Islam akan menumbuhkan kesadaran bahwa pada Islam pada dasarnya tunggal. Untuk mewujudkan hal itu, kita tentu harus membuang jauh nalar fanatisme, sektarianisme dan primordialisme untuk kemudian sepenuhnya mengadaptasi paham egalitarianimse dan universalisme. Jika itu terwujud, bisa dipastikan kita akan mampu membangun peradaban yang selangkah lebih maju dari sekarang.