Tanpa bermaksud membuat panik atau meresahkan rakyat, harus diakui dan disadari bahwa corona merupakan masalah serius bagi bangsa ini. Menganggap remeh virus ini—karena ancaman kematiannya rendah—bukanlah cara berpikir yang bijak. Memang, data berkata demikian. Sebut saja di Wuhan, China, dari 81 rb yang positif tertular, ada sekitar 3200 orang yang meninggal (sekitar 4 persen). Kemudian di Italia, ada sekitar 9.9 persen masyarakat yang terpapar meninggal dunia. Apalagi jika menilik di Korea Selatan, korban meninggal akibat corona hanya mencapai 1.1 persen.
Namun, berkaca pada data tersebut lalu menyimpulkan corona sebagai virus yang tak perlu ditakuti dan diwaspadai sejatinya ia sedang merugikan diri sendiri dan orang lain. Mungkin Anda merasa hebat, kuat dan kebal terhadap corona. Kemudian Anda bebas keluar rumah, lalu-lalang di keramaian. Tapi, Anda bisa saja membawa virus ini menular ke orang lain, tanpa Anda sadari. Pikiran individualis ini sungguh merugikan banyak orang.
Dan satu hal yang perlu dicamkan dalam diri setiap kita, bahwa negara-negara yang terpapar corona dalam skala besar seperti China, Korea, Iran dan Italia adalah mereka yang secara kapasitas alat dan ketersediaan komponen medis yang lebih memadai dari Indonesia saja kewalahan dalam membendung penyebaran corona, lantas bagaimana dengan Indonesia?
Tentu saja kita harus belajar pada fenomena saat awal-awal virus ini masuk Indonesia, bagaimana peralatan kesehatan di beberpa daerah jauh dari kata layak. Bayangkan saja, karena tidak memiliki baju atau alat medis berstandar, akhirnya beberapa perawat memakai jas hujan ketika menangani kasus positif corona. Belum lagi ada beberapa tenaga medis kita yang gugur akibat tertular corona dari pasiennya. Situasi yang tak menguntungkan ini seharusnya dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi masyarakat bahwa melawan corona harus secara jamaah (bersama).
Social Distancing sebagai Gerakan Bersama
Setelah ada beberapa kasus positif corona di Indonesia, dan kini jumlah kasus positif corona sudah mencapai 540 orang dan puluhan meninggal dunia, maka pemerintah mengambil langkah cepat dengan memberikan instruksi kepada seluruh masyarakat untuk tetap di rumah, tidak berpergian, apalagi pergi ke tempat keramaian dan ketika terpaksa harus ke luar rumah, maka harus menjaga jarak kepada orang lain (social distancing). Berdasarkan imbauan dari pemerintah, jarak aman yang dimaksud adalah minimal 1 meter.
Baca Juga : Corona dan Egosektoral Kita
Alih-alih melaksanakan instruksi dari pemerintah, justru masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau tau soal virus ini. Mereka masih menjalankan kehidupan layaknya situasi normal. Kesadaran masyarakat ini memang masih rendah. Selain kesadaran yang rendah dan sikap individualitistik yang sulit dienyahkan, sebagian masyarakat Indonesia juga masih memelihara kebiasaan sehari-hari, yakni suka berkumpul, gemar gosip, bahkan juga gemar jalan-jalan ke suatu tempat yang ramai hanya sekedar mencari suasana baru, pergi ke mall hanya sekedar cuci mata.
Yang demikian itu adalah kebiasaan atau budaya yang positif, namun dalam kondisi sekarang ini, kebiasaan tersebut, untuk sementara, harus dihentikan. Ini demi kebaikan bersama, demi keluarga dan kebaikan rumah kita bersama, Indonesia! Menjaga jarak adalah kebijakan yang paling ‘rendah’ dan mudah ketimbang langkah lainnya seperti lockdown. Namun, bukan tidak mungkin lockdownakan ditempuh oleh pemerintah jika rakyat tidak menaati instruksi dari pemerintah seperti social distancing. Maka, dalam hal ini, social distancing harus menjadi gerakan bersama untuk bersama-sama mencegah penularan atau kondisi yang lebih buruk.
Kedisiplinan Menjadi Sebuah Kunci
Apa yang ditempuh oleh pemerintah tentu saja bukan semata-mata diputuskan asal-asalan, tidak memperdulikan masyarakat dan lainnya. Justru intruksi dari pemerintah ini diputuskan dalam rangka untuk mencegah penyebaran virus ke ranah yang lebih luas. Namun, masih saja ada masyarakat yang enggan melakukan apa-apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam konteks pencegahan penularan virus Corona atau Covid-19. Padahal, kedisiplinan menjadi kunci untuk membendung virus yang mematikan ini.
Hasanuddin Abdurrakhman (2020) menegaskan bahwa kunci menghadapi virus Corona adalah dengan menerapkan disiplin. Disiplin. Menentukan berapa lama kita akan berada dalam kondisi krisis. Dan juga menentukan berapa jiwa yang akan melayang. Oleh sebab itu, disiplin harus disadari oleh banyak orang dan sebanyak mungkin orang harus menyadarkan orang lain dalam skala sebanyak dan seluas-luasnya.
Mengikuti protokol pemerintah tentang pengendalian penangangan dan pencegahan Covid-19; seperti menjaga jarak ketika hendak bepergian atau berinteraksi dengan orang lain, bila tidak ada kepentingan yang mendesak dan darurat, maka jangan keluar rumah (silahkan aktivitas atau kerja dri rumah saja), dan jangan menyebar hoax. Bila Anda tidak menerapkan disiplin ini, maka korban akan semakin berjatuhan. Yang rugia bukan Anda saja, melainkan semua rakyat Indonesia. Kata Prof. Iswandi Syahputra (2020), berdiam atau bekerja dari rumah termasuk jihad melawan corona. Oleh sebab itu, dalam jihad ini, kita harus menjadi pemenangnya. Semua ini akan hanya menjadi sebuah kata-kata dan aturan belaka ketika tidak dipahami dan diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sementara ini oleh seluruh elemen masyarakat. Sebab, melawan corona tidak bisa mengandal pemerintah, lembaga tertentu, melainkan dibutuhkan kerja sama antar anak bangsa tanpa terkecuali.