Solidaritas dan Stabilitas di era New Normal

Solidaritas dan Stabilitas di era New Normal

- in Narasi
2190
0
Solidaritas dan Stabilitas di era New Normal

Bila momentum puasa harusnya dianggap sebagai langkah guna menghadirkan pelatihan dalam diri, maka mestinya semangat untuk menggedor pintu hati banyak pihak lewat bersolidaritas terhadap sesama harus terus dikumandangkan pula. Terlebih lagi dalam kondisi pandemi virus covid-19 yang hingga kini belum menunjukkan perubahan yang lebih baik.

Penguatan nilai solidaritas dan praktik nyata terhadap sesama menjadi hal yang mendesak untuk tetap hadir. Sebab memasuki periode yang kerap disebut dengan new normal (kenormalan yang baru), sejatinya akan menuntut banyak perubahan gaya hidup. Tentunya hal tersebut akan menimbulkan dampak ke banyak sisi kehidupan yang akhirnya hal demikian sangat mungkin mengikis rasa kemanusiaan yang sebelumnya sangat dijunjung tinggi peradaban bangsa ini.

Persoalan penambahan jumlahan pasien yang terpapar virus covid-19 hingga tetap adanya penambahan korban yang meninggal – jelas tak dapat dianggap sepele, sebab sejatinya mereka semua adalah manusia dan bukan benda. Selain mereka yang telah terpapar, ada pula persoalan yang dihadapi pihak-pihak yang mesti merasakan dampak kondisi yang ada bagi kehidupan mereka masing-masing.

Beberapa dari mereka mesti menerima kenyataan dirumahkan hingga ada pula yang mendapat pemutusan hubungan kerja. Di sejumlah media, Kamar Dagang Indonesia bahkan meyakini angka pengangguran akibat pandemi ini telah melebihi jumlah 10 juta orang. Berangkat dari hal tersebut, jelas keliru bila realitas yang ada hari ini masih tetap disepelekan begitu saja. Sebab kerentanan yang ada jelas semakin menghantui bangsa ini.

Baca Juga : New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid

Tantangan yang ada dihadapan kali ini jelas bukan sebuah hal yang mudah untuk dilewati, sebab boleh dikata negara ini sejatinya tidak cukup siap menghadapi ancaman pandemi seperti ini. Selain itu kenyataan bahwa vaksin pengobatan yang langsung mampu menyembuhkan manusia dari Covid-19 belum jua ditemukan hingga hari ini. Pilihan mengubah prilaku hidup masyarakat bukanlah hal yang gampang diwujudkan. Kesulitan mengubah habitus masyarakat yang telah lama terbina, menjadikan persoalan yang ada semakin terasa berat.

Kemanusiaan masing-masing individu mendapat ujian serius. Akankah keegoisan masih menjadi primadona dalam era new normalini, ataukah masing-masing individu negeri ini mulai berkenan berfikir atas nama kepentingan publik. Dengan kata lain lebih mengutamakan solidaritas berkemanusiaan dengan sesama ketimbang mengutamakan hal-hal personal.

Dalam mengupayakan kemunculan praktik-praktik solidaritas tersebut, nilai-nilai awal yang menjadi pondasi pun mesti menjadi pemahaman bersama terlebih dahulu. Setidaknya dengan pemahaman awal yang kokoh, menghadirkan peluang lebih besar untuk meyakinkan semangat solidaritas tersebut berjalan pada koridornya. Salah satu nilai fundamental yang menjiwai pemahaman solidaritas bisa dirasakan dalam konsepsi altruisme. Altruisme sendiri merupakan sebuah konsepsi yang bertitik tekan pada perasaan mendasar seorang individu yang ingin berbagi terhadap pihak lain.

Salah seorang filsuf besar yang memperkenalkan sekaligus menggunakan konsepsi ini adalah seorang Auguste Comte. Sosiolog Perancis yang familiar dengan pemikiran positivis ini sejak awal memang memberikan penghargaan yang tinggi pada martabat manusia. Ia melihat bahwa sejatinya dalam diri manusia terdapat narasi-narasi mendasar yang menggugah keinginan untuk berbagi dengan sesamanya. Dalam menerjemahkannya, ia melihat bahwa dasar konsepsi tersebut ada dalam gagasan altruisme yang berakar kata dari bahasa Perancis yaitu altrui.Ia melihat penerapan konsepsi mendasar tersebut hadir dalam bentuk “living for others” atau dengan kata lain adalah hidup untuk yang lain (Campbel, 2006).

Dalam pembacaan seorang Robertus Robert terhadap sejumlah gagasan altruisme seorang Comte, terlihat bahwa Comte berupaya menghadirkan pemikiran yang potensial menempatkan manusia pada masyarakat baru (Robert, 2013). Pemikiran yang dimaksud tidak hanya bertumpu pada penghargaan terhadap manusia dengan harkat dan martabatnya yang sejati, namun juga pemikiran yang mendorongkan hadirnya habitus baru yang bertujuan memperhatikan dan mengutamakan kebutuhan pihak lain.

Mencoba membaca kondisi yang ada dan agenda pemerintah melalui kenormalan yang baru dari perspektif di atas, menjadikan kita sadar bahwa agenda kenormalan yang baru bukanlah periode di mana persoalan covid-19 telah berakhir. Justru sebaliknya, semua elemen masyarakat mendapat tuntutan untuk semakin mengupayakan penghargaan terhadap martabat manusia dan menghadirkan kasih melalui sikap saling tolong-menolong. Rasanya untuk menghadirkan wujud nyata sikap saling tolong-menolong, masyarakat kita sudah tidak perlu diarahkan lagi.

Namun bila berbicara mengenai wujud penghargaan terhadap martabat manusia dalam konteks bersolidaritas di era kenormalan baru, rasanya penting untuk mengingatkan kembali hal mendasar namun mendesak untuk dilakukan, yaitu keharusan mematuhi protokol pencegahan dan penanganan covid-19. Sebab, dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang telah diagendakan pemerintah tersebut, sejatinya masing-masing individu tidak hanya berupaya menjaga kehidupan yang dimilikinya melainkan juga hidup dari individu lainnya. Masyarakat Indonesia hari ini memang hidup dalam periode kerentanan yang teramat sangat. Sehingga hanya dengan langkah-langkah bersolidaritas-lah, stabilitas bangsa dalam era kenormalan yang baru masih mungkin terjaga.

Facebook Comments