New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid

New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid

- in Narasi
1938
3
New Normal Pasca Ramadan; Tetap Produktif, Aman dari Covid

Seharusnya saat ini kita tengah menikmati libur panjang lebaran. Tempat hiburan, arena wisata, mal, rumah makan dan tempat publik lainnya seharusnya sesak pengunjung. Aliran uang pun seharusnya berputar deras menjadi stimulus bagi pertumbuhan nasional. Namun, imajinasi itu sirna oleh mewabahnya Covid-19.

Di awal penyebaran Covid-19, pemerintah melakukan social/physical distancing dan mengharuskan masyarakat tinggal di rumah. Selanjutnya, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lebih spesifik dalam konteks Ramadan dan Idul Fitri, pemerintah mengajurkan umat Islam menjalani sholat tarawih dan Id di rumah, serta melarang mudik. Idul Fitri pun dirayakan secara virtual.

Pandemi Covid-19 selama nyaris tiga bulan ini tidak pelak telah membuat ekonomi nyaris lumpuh. Aktivitas ekonomi yakni produksi, distribusi dan konsumsi tersendat akibat pandemi. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tidak terelakkan. Jika kondisi ini terus berlanjut, tentu berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Ancaman kesehatan oleh Covid-19 tentu merupakan persoalan serius. Namun, ancaman krisis ekonomi akibat pandemi juga tidak bisa disepelekan. Padahal, selama vaksin dan anti-virus belum ditemukan, bisa dipastikan Covid-19 akan tetap ada.

Menghadapi dilema itu, pemerintah mewacanakan new normal, yakni pelonggaran pembatasan sosial dengan mengijinkan aktivitas bisnis dan pelayanan publik kembali beroperasi dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Wacana new normal dilatari oleh asumsi bahwa pandemi Covid-19 tidak boleh melumpuhkan kehidupan manusia serta asumsi bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Berdasar asumsi itulah, pemerintah mencangkan new normal yang akan dimulai pada awal Juni mendatang. Secara simbolis, Presiden Joko Widodo tempo hari telah meninjau kesiapan sejumlah sarana publik menyambut new normal di masa pandemi.

Bersiap Hadapai New Normal di Masa Pandemi

Mempraktikan new normal tentu bukan perkara mudah. Di satu sisi, data menunjukkan jumlah orang terkonfirmasi Covid-19 secara nasioal masih terus bertambah. Di sisi lain, perlambatan ekonomi juga mengarah pada kondisi yang kian parah. New normal ialah jalan tengah agar kita tetap bisa produktif, namun tetap aman dari Covid-19. New normal tidak hanya diterapkan di Indonesia, namun hampir seluruh negara di dunia. Situasi pandemi memang menuntut semua negara beradaptasi dengan normal baru agar tetap bisa bertahan.

Baca Juga : Pasca-Puasa, New Normal dan Aktualisasi Kesalehan Transformatif

Di Indonesia, new normal di masa pandemi bersamaan dengan berakhirnya Ramadan. Momentum ini tentu patut kita maknai lebih jauh. Bagi umat Islam, Ramadan telah menjadi semacam pintu antara masa lalu dan masa depan. Banyak umat Islam melakukan pertaubatan di bulan Ramadan; dari abai pada agama menjadi taat pada perintah agama. Ramadan ialah bulan refleksi sekaligus transformasi diri.

Spirit refleksi dan transformasi itu kiranya bisa diimplementasikan ke dalam new normal di masa pandemi ini. New normal di tengah pandemi membutuhkan adaptasi manusia. Kunci keberhasilan new normal di masa pandemi ialah kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat menaati protokol kesehatan Covid-19. Di lapangan, kita akan dipaksa beradaptasi dengan cara dan gaya hidup baru yang barangkali asing bagi kita.

Lantas, siapkah kita menjalani semua itu?

Mula pertama yang harus kita lakukan ialah memahami secara komprehensif apa itu new normal. Satu hal penting ialah bahwanew normal berbeda dengan herd immunity. New normal, berorientasi pada kepentingan untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus kebutuhan menjaga masyarakat dari ancaman Covid-19. Sedangkan herd immunity merupakan strategi menaggulangi pandemi dengan jalan membiarkan sebagian besar populasi terinfeksi virus sehingga muncul kekebalan alamiah. Metode herd immunity riskan memakan banyak korban karena layanan kesehatan akan lumpuh jika terlalu banyak orang terinfeksi virus.

Langkah selanjutnya ialah mencari informasi valid tentang prosedur menjalani new normal. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis edaran pedoman menjalani new normal di masa pandemi untuk berbagai sektor. Edaran Kemenkes itu merupakan rujukan kita menjalani new normal selama pandemi belum berakhir. Tidak hanya memahami, masyarakat juga dituntut kesadaran dan kedisiplinannya dalam menaati protokol Covid-19. Kesadaran bersama inilah yang menjadi kunci sukses berjalannya kehidupan normal baru di masa pandemi.

Terakhir, namun tidak kalah penting ialah kita harus mempersiapan kondisi psikologis dalam menjalani new normal. Perubahan drastis dan tiba-tiba dalam kehidupan bukan hal yang mudah dijalani, dan potensial menimbulkan depresi. Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk tetap berpikir positif dan optimis bahwa kita bisa melalui pandemi ini dengan tetap mengedepankan kebersamaan serta solidaritas. Bagi umat Islam, new normal di masa pandemi yang dimulai bertepatan dengan berakhirnya Ramadan ini bisa menjadi momentum awal untuk memulai kehidupan ke arah yang lebih baik.

Pergeseran Paradigma dariOld Normal ke New Normal

New normalpasca Ramadan di masa pandemi ialah perubahan paradigma (the shifting of paradigm), alih-alih sebuah propaganda. Dalam tradisi filsafat, perubahan paradigma sebagaimana dikemukakan oleh filosof Thomas Kuhn mensyaratkan adanya perombakan (deconstruction) tatanan normal lama (old normal) dan digantikan dengan tatanan normal baru (new normal). Menurut Kuhn, pergeseran paradigma meniscayakan munculnya muncul anomali. Yakni suatu keadaan yang menyimpang dari idealitas yang diharapkan.

Situasi anomalistik inilah yang membutuhkan mitigasi sesegera mungkin agar tidak berdampak lebih luas dan mengganggu jalannya normalitas baru. Dalam konteks normal baru di masa pandemi, anomali bisa muncul ketika masyarakat tidak disiplin menjalani protokol kesehatan dan pemerintah tidak tegas dalam menertibkan para pelanggar protokol kesehatan tersebut. Ketika itu terjadi, maka agenda untuk memulihkan perekonomian sekaligus menekan angka penularan Covid-19 akan sulit dicapai.

Untuk menganulir munculnya anomali itu, dibutuhkan sinergi masyarakat dan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah wajib memberikan sosialisasi dan edukasi terkait penerapan protokol kesehatan Covid-19. Di sisi lain, pemerintah juga harus tegas menindak masyarakat yang melanggar prosedur new normal di masa pandemi. Ketidaktegasan pemerintah akan ditafsirkan sebagai pembiaran yang tentunya akan memberikan pesan negatif pada masyarakat. Di saat yang sama, masyarakat diharapkan mampu membangun kesadaran kolektif untuk disiplin dalam mentaati protokol kesehatan.

Ihwal kesadaran kolektif ini, kita (umat Islam) patut belajar dari nilai kejujuran dan keikhlasan selama menjalani ibadah puasa Ramadan. Di bulan Ramadan, kita berusaha taat menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, meski sebenarnya kita bisa melanggarnya tanpa ketahuan orang lain. Misalnya saja, kita bisa mengaku puasa di hadapan orang lain, lalu diam-diam makan atau minum tanpa ketahuan. Namun, sebagian besar dari kita memilih untuk jujur pada diri sendiri dengan tetap menjalani ibadah puasa, tanpa perlu mencitrakan diri di depan orang lain. Spirit kesadaran individual dan kolektif inilah yang idealnya kita praktikkan selama menjalani kehidupan normal baru di masa pandemi. Kesadaran untuk memakai masker, menjaga jarak fisik, mencuci tangan dengan sabun, menjaga imunitas tubuh dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar kiranya harus ditanamkan secara alamiah tanpa perlu pengawasan berlebih. Ketaatan kita menjalani prosedur dan protokol kesehatan Covid-19 selama pandemi hendaknya bukan karena paksaan, melainkan kesadaran untuk menjaga diri dan orang lain agar kita tetap bisa produktif, namun tetap aman dari Covid.

Facebook Comments