Perbedaan merupakan lahan empuk penyebaran virus radikalisme. Perbedaan bisa jadi berupa pandangan (pemikiran) atau bentuk fisik. Dalam hal penanganan corona virus disease 2019 (covid-19), sering kali ada perbedaan pendapat antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain. Kerap juga kebijakan pemerintah dianggap tidak sesuai dengan pandangan sekelompok masyarakat ataupun individu.
Perbedaan sejatinya tidak menjadi masalah utama dalam kehidupan. Yang menjadi masalah ketika perbedaan sudah diradikalisasi sehingga berbuntut pada perpecahan bahkan permusuhan antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dan (bahkan) “musibah” besama ini pun tak luput dari upaya radikalisasi kelompok masyarakat untuk memuaskan nafsu egoism diri dan kelompoknya. Beragam pandangan dalam rangka upaya penyelesaian covid-19 selalu dicela. Ketika penanganan lamban atau tidak membuahkan hasil memuaskan dicela karena tidak kompeten. Ketika upaya yang dilakukan dimungkinkan ada hasil selalu dicari kesalahan dengan cara ditabrakkan dengan pemahaman keagamaan atau sejenis.
Kondisi akan semakin parah manakala pendapat yang meradikalisasi upaya kelompok lain termasuk umara dan ulama (yang sah) ini terus disiarkan secara massif melalui media. Akibatnya, masyarakat umum yang “polos” akan dengan mudah mengikuti pandangan-pandangan kaku yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menarik diikuti masyarakat. Masyarakat pun berbondong-bondong mengikuti kelompok radikalis dengan cara mengiyakan pesan yang disampaikan serta menyebarkannya kepada seluruh kolega yang kontaknya tersimpan di memori handphone.
Bermula dari sinilah masyarakat mesti mendapat edukasi (yang secara massif dan kreatif pula) akan pentingnya sikap moderat dalam menyikapi perbedaan. Dengan adanya moderasi, maka segala macam perbedaan akan dapat dikelola dengan baik sehingga menjadi modal sosial yang besar dalam rangka pembangunan masyarakat bersama-sama. Karena, perbedaan sejatinya akan menjadi kekuatan besar manakala diorganisasi dengan baik dan akan menjadi petaka manakala titik beda dipertentangkan.
Baca Juga : Merawat Kebhinekaan di Era Digital
Dalam pada itulah, pondok pesantren tradisional telah memberikan teladan baik akan sikap wasatiyah(moderat) terhadap perbedaan pendapat. Pondok pesantren tradisional tidak saja mengajarkan doktrin agama yang saklek terkait tauhid dan ibadah mahdhah, namun juga mengajarkan sikap toleran terhadap sesame dalam menghadapi perbedaan. Di dalam pondok pesantren tradisional ada wadah belajar yang bernama bahtsul masail (musyawarah).
Dalam bahtsul masail, para santri diajarkan untuk menyikapi satu permasalahan dengan berdasarkan pada kitab rujukan yang shahih. Permasalahan kontemporer sering kali tidak secara langsung dapat ditemukan jawabannya di kitab-kitab klasik yang shahih. Dalam pada itulah, para santri berusaha memeras otak antara satu dengan yang lainnya sehingga satu permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan ketentuan dalam agama.
Dalam rangka upaya menggali kedekatan masalah dengan hukum yang tercantum dalam kitab-kitab klasik karangan ulama terkemuka, sering kali para santri mengundang para pakar di bidangnya. Jika masalahnya adalah terkait dengan kesehatan maka ia akan mengajak tenaga medis yang kompeten untuk menjelaskan masalah tersebut ditinjau dari ilmu medis. Begitu juga jika permasalahan tersebut berkaitan dengan teknologi, sosial, ekonomi, politik, atau sejenis, maka para santri akan mengundang orang yang pakar di bidangnya. Semua ini dilakukan dalam rangka mencari kebenaran sebagaimana yang ditetapkan oleh Tuhan.
Ketika para santri ini telah membahas masalah sesuai dengan paparan para ahli dan dikupas dengan kitab-kitab klasik. Sering lali dalam proses musyawarah terjadi ketegangan antara satu santri dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan masing-masing memiliki rujukan pendapat yang paling kuat. Namun demikian, ketegangan ini akan mereda manalaka dalam perjalanannya terdapat pendapat yang dianggap paling tepat berdasarkan referensi yang kompeten. Musyawarah ini pun akan ditarik kesimpilan yang dianggap paling mendekati kebenaran.
Setelah selesai musyawarah, antara satu santri yang bersitegang dengan santri lainnya tersebut pun melepas lelah dengan ngopi bersama sembali ngobrol santai. Tidak ada dendam dalam diri mereka, justru keakraban di luar “gelanggang” musyawarah akan semakin kuat. Dan terhadap hasil musyawarah yang telah diupayakan dengan maksimal, para santri tidak mengharuskan umat muslim sedunia mengikutinya. Hasil musyawarah cukup disampaikan kepada masyarakat luas termasuk rujukan-rujukan yang menjadi pertimbangan hasil musyawarah. Setelah umat muslim memahaminya, dipersilakan untuk mengikuti hasil musyawarah yang ada ataupun (jika ada) pendapat lain.Wallahu a’lam.