Agama pada hakikatnya adalah jalan damai bagi manusia. Di dalamnya terdapat rambu-rambu, pentunjuk, dan aturan bagaimana seharusnya hidup damai. Agama memberikan jawaban sekaligus solusi terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
Agama bukan hanya mengatur bagaimana seharusnya menjadi individu yang baik, melainkan juga bagaimana menjadi warga dan rakyat yang baik. Nilai ideal dan visi progresif yang dimiliki oleh agama, merupakan kekuatan untuk saling memberdayakan antara dan antar pemeluk agama.
Akan tetapi, cita-cita luhur yang dimiliki oleh agama itu, dirusak dan diobrak-abrik oleh sebagian kelompok yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengklaim diri sebagai pembela agama, pembela Islam, tetapi ucapan dan tindak tanduk mereka justru sangat jauh dari nilai ideal yang dimiliki oleh agama.
Agama diperalat demi kepentingan kelompok. Agama dibajak sebagai kenderaan untuk memobilisasi ummat untuk demo. Agama dijadikan sebagai tameng untuk berkata kasar kepada pihak yang bertolak belakang dengan mereka.
Akibatnya, gara-gara ulah segelintir pemeluknya, sebagaian orang mulai muak dengan agama. Agama dicap sebagai perusak persatuan. Agama diklaim sebagai sumber konflik. Agama dituduh mengajarkan intoleransi dan radikalisme.
Antara Fungsi dan Kontestasi
Agama ketika diletakkan sebagai fungsi, ia sangat progresif, dan bisa menjadi jalan damai bagi manusia. Agama (apapun namanya) pada dasarnya memiliki fungsi kohesi, alat perekat. Nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian, dan keadilan, selalu ada dalam agama.
Ketika agama diletakkan dalam fungsinya, ia menjadi sumber perdamaian. Ia mengajarkan toleransi dan penghargaan atas kemanusiaan. Sejarah menunjukkan, kedamaian yang ada di dunia ini lebih lama dan lebih panjang usianya bila dibandingkan dengan kekacauan dan peperangan. Salah satu faktornya adalah kerena adanya agama.
Lain halnya ketika agama diletakkan dalam kontestasi, agama jadi sempit dan berubah menjadi sumber konflik. Ketika agama dijadikan alat untuk menghantam pihak lain, mencaci kelompok lain, bahkan berperang dengan agama lain, maka dalam konteks ini, agama tidak lagi diletakkan dalam fungsinya, tetapi ia diletakkan dalam kontestasi.
Konflik, polarisasi, intoleransi, terorisme, dan peperangan atas nama agama semuanya terjadi ketika agama ditempatkan dalam level konstestasi.
Layaknya kontestasi. Semuanya dibagi menjadi dua. Kawan atau lawan. Kami versus mereka. Dan, agama dijadikan alat untuk merendahkan, menghina, bahkan menghancurkan lawan.
Jika ada pertanyaan, kapan agama menjadi sumber konflik, jawabannya ketika ia diletakkan dalam kontestasi. Sebaliknya, kapan agama menjadi sumber damai, ketika ia diletakkan dalam fungsi.
Jika kita ingin agama menjadi jalan damai, maka kita harus meletakkannya dalan fungsi. Dan segala usaha yang meletakkan agama dalam kontestasi harus dilawan.
Para Pembajak Agama
Salah satu aktor yang meletakkan agama dalam kontestasi dan membuat citra agama jadi buruk adalah para pembajak agama. Pembajakan agama dilakukan dengan cara mengalihkan fungsi agama yang seharusnya mendamaikan, memberi kenyamanan, dan membebaskan, menjadi merusak, membuat ketidaktenangan, dan ketakutan.
Tujuan agama direduksi, makna Islam dipersempit, term-term dalam agama dipelintir, dan semangat keagamaan masyarakat dialihkan kepada tujuan yang lain. Kaum radikalis menjadikan agama sebagai alat legitimasi dalam melakukan aksi-aksi terror.
Agama dieksploitasi demi tercapainya kepentingan pragmatis. Agama disuborninasi, Sunah Nabi dipabrifikasi, sejarah dibelokkan demi dalih ideologis kelompok atau partai.
Aksi teror dan segala turunannya sering dilakukan atas nama agama. Kita melihat bagaimana pengeboman, kekerasan, menyebar ketakutan selalu dijalankan dengan simbol-simbol agama. Teriakan takbir, penggunaan bendera yang berlafazkan kalimat tauhid, serban, dan identitas lainnya, adalah hal lumrah kita lihat di televisi.
Memaksimalkan Fungsi Agama
Tugas kita bersama adalah bagaimana agar fungsi agama itu bisa teraplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Spirit persaudaraan dan kebebasan beragama yang diberikan oleh Nabi ini, jangan sampai hilang di tengah-tengah masyarakat kita.
Hanya sebab alasan beda pilihan politik, beda pandangan soal kebijakan, beda pemahaman keagamaan, kita dengan mudah saling mencaci, memaki, memfitnah, dan menyebar hoax dan ujaran kebencian.
Kita lupa, bahwa kita adalah sama-sama satu bangsa, satu bahasa, dan sama-sama tinggal di bumi yang sama. Indonesia.
Sikap sosial inklusif yang diajarkan oleh agama seharusnya menjadi pegangan kita bersama. Kita harus menempatkan persaudaraan di atas segalanya. Kita boleh berbeda pendapat, beda pilihan politik, beda pemahaman keagamaan, akan tetapi jangan sampai merusak tenun kebangsaan yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini.
Jika kita tidak bisa merawat tenun itu, setidaknya kita jangan merusaknya apalagi mencampakkannya.
Sikap saling memahami, saling menjaga, dan saling memberdayakan harus menjadi prioritas kita bersama dalam membangun hubungan lintas agama. Kita adalah saudara, sekalipun bukan saudara se-akidah, tetapi kita semua adalah saudara sesama anak bangsa.
Sikap saling asah dalam beragama harus diparaktikkan dalam kehidupan beragama. Fungsi substansial dari agama sudah mengajarkan kepada kita, bahwa letakkan persaudaraan di atas segalanya.