Sebagaimana judul tulisan di atas yang diakhiri dengan tanda tanya, isi tulisan ini pun akan lebih banyak mengajak kita bertanya, lebih tepatnya melakukan refleksi ke dalam diri sendiri. Barangkali memang benar bahwa sebagian besar dari kita beragama karena keturunan. Saya menjadi muslim lebih karena orang tua saya muslim. Orang tua saya muslim karena kakek-nenek saya seorang muslim. Sesederahana itulah identitas agama melekat di diri saya. Jutaan umat beragama mengalami pengalaman keberagamaan yang demikian itu. Dan, tentunya hal itu tidak sepenuhnya salah. Pakar studi agama, John Hick menyebut fenomena ini dengan istilah “fortuity of birth”, yakni identitas keagamaan seseorang yang ditentukan oleh faktor keturunan (keluarga), lingkungan sosial dan geografis dimana ia lahir dan berkembang.
Meski sebagian umat beragama menemukan identitas keagamaannya karen faktor fortuity of birth, namun agama tetap menjadi salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Agama tidak hanya menjadi sarana menjalin hubungan dengan ilahi (divine relation), namun juga telah menjadi identitas yang meneguhkan jatidiri seseorang. Agama tidak hanya menjadi seperangkat keyakinan atas nilai ketuhanan dan spiritualitas. Lebih dari itu, agama telah menjadi simbol yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Di titik ini, tidak mengherankan jika agama kerap memiliki wajah ganda. Di satu sisi, agama kerap tampil dalam wajah yang sejuk, damai dan menentramkan. Di sisi lain, tidak jarang agama tampil dalam wajahnya yang garang dan menggelisahkan.
Dualitas agama itu juga mewujud pada karakter agama yang di satu sisi potensial menjadi sumber nilai moral dan etika sosial. Dalam konteks ini, agama bisa menjadi fondasi bagi terciptanya persatuan umat manusia. Namun, di sisi lain agama juga potensial sebagai sumber konflik sosial. Karakter agama yang sarat dengan klaim kebenaran teologis serta cenderung menonjolkan aspek ritual dan simbol kerap kali melahirkan gesekan bahkan benturan sosial. Sejarah mencatat bagaimana perbedaan agama melatari pecahnya konflik sosial antarsesama manusia. Di tengah dinamika keberagamaan yang kerapkali melahirkan perpecahan sosial itu, umat beragam ditantang untuk merefleksikan identitas keagamaannya. Sebagai umat beragama kita wajib memaknai ulang keagamaan kita, terutama di tengah realitas yang plural dan penuh dinamika ini.
Pentingnya Evolusi dan Transformasi Keberagamaan
Beragama hendaknya merupakan sebuah proses yang terus-menerus berevolusi dan bertransformasi. Dalam kultur keberagamaan yang homogen, istilah dan konsep kemajemukan beragama itu barangkali tidak populer dan memang tidak dibutuhkan. Namun, dalam situasi keberagamaan yang pluralistik, paradigma kemajemukan beragama menjadi unsur yang sangat vital. Realitas keberagamaan yang plural inilah yang saat ini kita hadapi, baik dalam konteks lokal maupun global. Kondisi inipun bukan tidak menyisakan persoalan.
Salah satu persoalan umum yang kerap terjadi ialah terjadinya konflik etika komunal dengan etika publik dan konflik antara ideologi agama dan ideologi negara. Hal ini jelas membutuhkan jalan keluar yang mengakomodasi semua kepentingan. Di Indonesia, tarik menarik kepentingan antara etika komunal (agama) dengan etika publik serta pertentangan antara ideologi agama dan ideologi negara ini mampu dijembatani dengan konsep Pancasila. Pancasila ialah titik temu sekaligus jalan tengah yang berusaha mengakomodasi kepentingan agama di satu sisi dan kepentingan negara (publik) di sisi lain.
Maka, dalam konteks Indonesia relasi agama dan negara bukanlah saling bertentangan sebagaimana dipraktikkan dalam konteks negara sekuler. Relasi agama dan negara dalam konteks Pancasila bersifat mutualistik, alias saling membutuhkan dan menguntungkan. Dengan relasi yang mutualistik ini, diharapkan agama dapat memberikan sumbangan nyata pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Yakni menjadi fondasi sekaligus pilar yang memperkuat komitmen kebangsaan dan kemanusiaan. Selain Pancasila, dan konstitusi UUD 1945, agama ialah elemen penting ketiga yang menjadi penopang kebinekaan Indonesia. Bahkan, sejak era kolonialisme agama telah menyumbangkan perannya dalam perjuangan meraih kemerdekaan.
Pembacaan sejarah ini penting untuk menjawab pertanyaan di atas, yakni apakah agama itu sumber perpecahan atau alat pemersatu? Jika kita melihat perjalanan sejarah bangsa dari era kolonial sampai zaman Reformasi ini, maka jawabannya jelas; agama ialah alat pemersatu. Berkali-kali bangsa ini diuji dengan berbagai persoalan, krisis, konflik dan bencana alam. Satu hal yang membuat kita masih bertahan hingga saat ini ialah tingkat relijiusitas dan kepercayaan pada agama yang tinggi di masyarakat. Tanpa agama, barangkali kita hanya menjadi sekumpulan manusia yang kehilangan arah dan tujuan. Maka, di era sekarang spirit agama sebagai alat pemersatu inilah yang harus kita jaga, rawat dan senantiasa kita aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjaga Spirit Agama Sebagai Alat Pemersatu
Spirit agama sebagai alat pemersatu itu niscaya terjaga manakala setiap umat beragama mampu memahami empat domain keberagamaan, yakni domain pribadi, komunitas, masyarakat dan negara. Umat beragama harus paham bahwa empat domain itu memiliki karakter yang berbeda satu sama lain, bahkan acapkali saling berseberangan. Di wilayah pribadi, seseorang tentu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan dan keberagamaannya. Namun, di ranah komunal, ekspresi itu dibatasi oleh aturan moral dan etika yang telah disepakati oleh lingkup komunitas (agama) tertentu. Artinya, di ranah komunal ini, kebebasan individu dalam mengekspresikan keyakinan agamanya menjadi tidak lagi absolut.
Demikian pula ketika memasuki domain masyarakat, komunitas agama satu niscaya akan bertemu komunitas agama lain. Perjumpaan antaragama di ruang publik ini tidak pelak akan menimbulkan semacam kontestasi. Ada komunitas agama tertentu (biasanya mayoritas) yang merasa berhak mendominasi dan menghegemoni ruang publik dengan ajaran agamanya. Disinilah letak pentingnya konsensus bersama serta aturan hukum yang tegas untuk mengelola ruang publik agar tetap bebas dan terbuka serta tidak diintimidasi oleh kekuatan agama tertentu.
Terakhir, dalam konteks kenegaraan, agama hendaknya bisa menempatkan diri sebagai mitra-kritis pemerintah. Agama tidak harus menjadi bagian dari kekuasaan politik, namun agama juga tidak boleh menjauh apalagi apatis pada isu-isu politik kekuasaan. Kehidupan keberagamaan dalam lingkup kenegaraan bisa dimanifestasikan ke dalam sikap sebagai warganegara yang aktif-partisipatif. Di satu sisi, agama harus menjadi pilar yang menopang ketahanan negara, terutama ketika menghadapi berbagai ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Di sisi lain, agama harus mampu menjadi sumber inspirasi moral dan etika yang berguna bagi mekanisme pengelolaan negara.