Separuh pertama bulan Ramadan telah kita tapaki. Kini kita memasuki separuh kedua Ramadan. Masa-masa paling menentukan sebelum Ramadan mencapai puncaknya. Pertanyaannya, sudah berapa banyak amal ibadah kita lakukan? Kebaikan apa yang sudah kita lakukan di bulan mulia ini? Adakah kita sudah melakukan refleksi atas dosa kita di masa lalu? Dan mentransformasikan diri menuju manusia yang lebih baik?
Sederet pertanyaan itu wajar kita ajukan lantaran Ramadan ialah ruang yang memang disediakan untuk manusia berkontemplasi sekaligus bertransformasi. Ramadan menyimpan dimensi transendensi yang kental. Namun, sekaligus juga memiliki nuansa sosial yang kuat. Oleh karena itulah, Ramadan merupakan momentum tepat untuk meneguhkan tonggak kesalehan individual dan sosial.
Saking mulianya Ramadan, ia menyandang setidaknya gelar dalam Al Quran. Yakni Syahrul Quran alias bulan Al Quran. Istilah ini merujuk pada peristiwa Nuzulul Quran yang jatuh pada malam ke-17 bulan Ramadan. Gelar kedua ialah Syahrul Maghfirah alias bulan pengampunan dan ketiga ialah Syahrul Jihad wal Falah alias bulan jihad dan kemenangan. Tentnya jihad yang dipahami sebagai menahan diri dari hawa nafsu negatif dan semua perilaku yang menimbulkan dosa serta mudarat sosial.
Sebagai bulan syahrul Quran, Ramadan merupakan momentum yang tepat untuk menggumuli Al Quran. Tidak hanya dalam konteks verbal-literal seperti membaca dan mengkhatamkan Al Quran berkali-kali selama Ramadan. Tradisi khataman Quran yang telah menjadi budaya masyarakat Islam tentu sangat layak dipertahankan. Namun, jauh lebih penting dari itu ialah memahami subtansi makna yang terkandung di dalamnya.
Al Quran dinobatkan sebagai mukjizat kenabian yang disandang Rasulullah Muhammad, sang Nabi Penutup. Jika nabi dan rasul lain mendapat mukjizat berupa kekuatan supranatural, Nabi Muhammad justru dikaruniai mukjizat berupa kitab suci Al Quran. Lantas, apa maknanya? Menurut penjelasan Quraisy Syihab, Al Quran dijadikan sebagai mukjizat Rasulullah Muhammad karena aspek universalitas dan relevansinya bagi kehidupan umat manusia.
Al Quran ialah kitab suci yang di dalamnya mengandung ajaran moral-keagamaan, cerita sejarah sekaligus fakta sains yang tak pernah lekang oleh dinamika zaman. Al Quran akan terus relevan dengan perkembangan zaman sepanjang ia terus-menerus ditafsirkan ulang sesuai dengan problem zaman yang melingkupinya. Universalitas dan relevansi Al Quran inilah yang menjadi salah satu elemen penting dari gagasan Islam Rahmatan lil Alamin.
Mengutip Ignaz Goldhizer, tidak ada satu teks pun di dunia ini yang bisa menyamai Al Quran dalam konteks detail, kodifikasi, susunan kalimat, ayat demi ayat dan seluruh komponen kebahasaan serta sastra yang dikandungnya. Al Quran menurut Goldhizer mustahil disusun oleh manusia dan membuktikan bahwa klaim kerasulan yang digaungkan Nabi Muhammad ialah benar adanya. Sebagai sebuah teks, Al Quran ialah mahakarya ilahiah yang tidak ada bandingannya di dunia ini.
Dalam lingkup internal Islam, Al Quran memiliki kedudukan mulia. Bagi kaum intelektual, Al Quran ialah sumber rujukan untuk menyusun hukum atau fiqih. Al Quran juga menjadi referensi bagi pengembangan keilmuan Islam. Sedangkan bagi orang Islam awam, Al Quran memberikan keberkahan berupa pahala berlipat bagi yang bersedia mendarasnya. Rasulullah pernah bersabda. Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al Quran), maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan jadi sepuluh. Pada hadis yang lain Rasulullah memerintahkan umatnya untuk membaca AL Quran karena itu akan menjadi jalan pemberi syafaat di hari kiamat.
Menggali Spirit Islam Rahmat dalam Al Quran
Bulan Ramadan yang mengandung nuansa kontemplasi sekaligus transformasi ini merupakan momentum tepat untuk menggali kembali spirit Islam Rahmatan lil Alamin dalam Al Quran. Belakangan ini, kita menyaksikan sendiri bagaimana Al Quran lebih sering disitir untuk menjustifikasi perilaku intoleran dan kekerasan atas nama agama. Makna jihad misalnya, mengalami dekonstruksi makna ke arah negatif, yakni semata dipahami sebagai peperangan. Kita tentu tidak bisa menampik peran kaum konservatif-radikal dalam terjadinya penyimpangan tersebut.
Ramadan ialah momentum untuk mengembalikan spirit Al Quran yang mendorong terciptanya konsep Islam rahmat. Yakni Islam yang mampu menunjukkan sikap toleran dan welas asih pada semua kelompok agama, suku, ras, bangsa dan warna kulit. Perwujudan Islam rahmat sangat membutuhkan kesadaran umat akan pentingnya memahami entitas lain serta mencintai lingkungan dan alam semesta layaknya mencintai diri sendiri.
Gagasan Islam rahmat itu bisa diwujudkan manakala umat Islam mengejawantahkan empat prinsip. Pertama, prinsip tawasuth alias moderatisme yakni sikap tidak ekstrem atau berlebih-lebihan dalam segala hal, utamanya dalam hal keagamaan. Kedua, prinsip tawazzun alias berimbang dalam artian selalu menilai segala sesuatu dengan obyektif, rasional dan memutuskan segala sesuatu berdasar pada akal dan sumber referensial. Ketiga, prinsip I’tidal alias adil yakni sikap yang mengedepankan keadilan sebagai subtansi relasi sosial. Keempat, prinsip tasamuh yakni spirit toleransi dan welas asih terhadap sesama manusia dan alam semesta.
Gagasan Islam rahmat penting untuk kita ejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama di tengah derasnya arus konservatisme dan radikalisme keagamaan belakangan ini. Agama, negara dan bangsa ialah tiga kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya ibarat pilar yang menopang satu bangunan yang sama. Salah satunya rubuh, maka seluruhnya akan hancur. Maka, penting bagi umat Islam untuk memahami Al Quran dan Islam sebagai platform yang menyatukan seluruh entitas bangsa. Hal itu bisa terwujud manakala kita berhasil menggali dan mengembangkan spirit Islam rahmatan lil alamin yang terkandung di dalam Al Quran.