“Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang maha Rahman, yang memberikan berkat dan Mahatinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).
Hadis di atas begitu populer dalam sebuah pengetahuan, namun di ranah penerapan, seolah hadis tersebut tidak bermakna apapun. Tentu saja hal demikian berlaku bagi orang yang gemar melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan berlaku semena-mena terhadap minoritas yang berlainan agama.
Dalam konteks yang demikian itulah, tulisan ini hadir untuk mengupas bahwasannya, agama (Islam-red) melalui ritual puasa Ramadhan, mengajarkan untuk menyayangi dan mengasihi orang atau bahkan seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Jadi, tulisan ini hendak menekankan bahwa tidak ada ajaran di dalam Islam yang menganjurkan bagi pemeluknya melakukan tindakan kekerasan, teror, adu domba, dan sejenisnya.
Sebab, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, agama damai dan kasih sayang. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwasannya, Alhashin bin Salam mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Hai umat manusia…! Tebarlah salam (kedamaian), berilah mereka makan, jalinlah silaturrahim antar mereka, dan lakukan shalat malam saat orang-orang tidur di tengah malam”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Hadis tersebut memberikan panduan bahwasannya, ketika seorang Muslim dengan muslim lainnya berjumpa atau berpisah, maka ucapkanlah salam. Namun, lebih dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Cholil Nafis, salam yang berarti kedamaian adalah ajaran yang harus disebarkan dimana saja dan kepada siapapun itu. Inilah akhlak seorang muslim, yakni selalu membuat orang lain nyaman dan aman.
Bulan Kasih Sayang
Kedamaian dan kasih sayang sangat bertalian dengan Ramadhan. Karena ini, para ulama ada yang mengartikan bahwa Ramadhan bersumber dari ilma huruf. Pertama, ra yang berarti rahmah (kasih sayang). Kedua, mim yang merujuk pada kata maghfirah (ampunan). Ketiga, dha, yang bermakna dhaman lil jannah (jaminan surga). Keempat, alif, yang berarti aman min an-naar (selamat dari api neraka). Kelima, nun, yang berarti nur min al-Allah (cahaya dari Allah).
Berdasarkan pengertian di atas, tanpa ada keraguan sedikitpun, dapat ditegaskan bahwa, dalam konteks sosial, Ramadhan sejatinya telah menuntun kepada pelakunya untuk senantiasa mampu menumbuh-kembangkan semangat cinta kasih dan persaudaraan.
Rasa lapar dan haus karena puasa menjadi terapi yang apik dan efektif untuk menumbuhkan cinta kasih kepada sesama, terutama kepada saudara-saudara yang kurang mampu dan kurang beruntung, serta termarjinalisasi oleh kehidupan yang semakin keras dan kompetitif. Dan yang demikian itu bukanlah terbatas pada orang-orang Islam saja, melainkan semua manusia.
Tentu tak kurang sebuah cerita yang disebutkan dalam Alquran mapun hadis serta para ulama tentang pribadi Nabi Muhammad Saw yang selalu mengajarkan untuk senantiasa menebarkan cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan begitu, melalui ibadah puasa, nuansa perdamaian dan persaudaraan harusnya lebih dikedepankan.
Di bulan suci Ramadhan yang sudah memasuki separuh lebih ini, mari kita renungkan firman Allah berikut ini:
“Andaikan Allah tidak menolak (tindak kekerasan) antar suatu kelompok manusia dengan kelompok lain, niscaya gereja-gereja, Sinagog (rumah ibadah umat Yahudi), rumah ibadah apa pun (Mushollah) dan masjid-masjid yang dan semua rumah ibadah dengan atas nama Allah banyak disebut, itu akan dihancurkan” (Qs. Al-Hajj/22: 40).
Ayat di atas dengan jelas memperingatkan agar kita tidak melakukan tindakan kekerasan di muka bumi. Dan hal ini juga sekaligus membabat habis pendapat kelompok radikalis, bahwasannya inilah bukti shahih bahwa Islam adalah agama yang damai dan anti-kekerasan.
Sikap inilah yang perlu dipupuk di bulan Ramadhan. Dengan harapan, pasca Ramadhan sikap tersebut terus dapat dipertahankan. Peran ini seirama dengan ajaran Islam yang berorientasi pada rahmatan lil alamin. Maksudnya, seseorang beragama itu bukan untuk menakut-nakuti orang lain yang kebetulan berbeda dengan kita, tapi merangkul dan bergandengan tangan dengan semua kalangan untuk memupuk persaudaraan dan perdamaian bersamasama dalam perbedaan (Cholil Nafis, Menyingkap Tabir Ramadhan, 2015: 178).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan reflektif; bahwannya, klimaks dari ajaran puasa adalah apabila seseorang telah berhasil melepaskan mentalitas ke-Aku-an demi solidaritas ke-kita-an. Tentu hal demikian dapat terwujud jika kasih sayang membasi relung kehidupan di seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kasih sayang yang demikian, akan dibalas dengan kasih sayang yang lebih indah dari-Nya. Oleh karena itu, sayangi orang di bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh pemilik bumi ini.